Minggu, 02 November 2014

Dua Butir kurma yang Menghalangi

Abu Ishaq Ibrahim bin Adham bin Manshur adalah seorang sufi, yang sebelumnya adalah putera seorang penguasa (Raja) di wilayah Balkh, termasuk wilayah Khurasan, Persia. Setelah memutuskan untuk meninggalkan kemewahan hidupnya di Balkh, ia memilih hidup zuhud dan berjalan kaki mengarungi padang sahara menuju Makkah. Ia tinggal di sana beberapa waktu lamanya bersama Sufyan Tsauri dan Fudhail bin Iyadh, dan akhirnya pindah ke Syam (Syria) hingga wafatnya pada tahun 161 H atau 778 M.
Ketika tinggal di Makkah, setiap tahunnya Ibrahim bin Adham mempunyai ‘kebiasaan’ berziarah ke Masjidil Aqsha untuk berkhalwat, dan i’tikaf semalaman di ruangan atau bagian masjid yang disebut Qubbatus Shahra. Menurut riwayat, Qubbatus Shahra ini adalah batu besar yang dijadikan pijakan Nabi SAW dan malaikat Jibril ketika akan naik ke langit melakukan Mi’raj. Batu besar (Shahra=batu karang atau batu besar yang keras) tersebut sempat ikut ‘terbang’ dan naik mengikuti mereka berdua, tetapi kemudian diketahui oleh malaikat Jibril dan diperintahkan turun kembali. Dengan terpaksa sang batu turun kembali, tetapi ia ‘ngambek’ tidak mau menyentuh tanah dan ‘menggantung’ beberapa meter tingginya. Setelah berlalunya waktu, dibangunlah sebuah penyangga sehingga batu besar itu menjadi semacam kubah di Masjidil Aqsha tersebut. Wallahu A’lam.
Suatu ketika ia berangkat ke Masjidil Aqsha seperti kebiasaannya. Saat itu ada peraturan bahwa di malam hari tidak boleh ada yang tinggal atau menginap di dalam masjid, karena malam hari menjadi ‘bagian’ dari para malaikat untuk beribadah di dalamnya. Karena itu Abdullah bin Adham harus sembunyi-sembunyi agar tidak dikeluarkan oleh petugas, dan bisa melakukan amalan istiqomah tahunannya, yakni i’tikaf di Qubbatus Shahra di malam hari.
Malam telah larut dan Ibrahim telah lolos dari pengawasan petugas, ia mulai melaksanakan amalan-amalannya untuk mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah. Para malaikat mulai datang, dan salah satunya berkata, “Ternyata di dalam masjid ini masih ada manusia!!”
Tidak ada penjelasan apakah Ibrahim bin Adham melihat kehadiran para malaikat itu, tetapi ia bisa mendengar pembicaraannya. Malaikat lainnya berkata, “Ya benar, dia adalah Ibrahim bin Adham, seorang ahli ibadah yang berasal dari kota Khurasan…”
Malaikat lainnya berkata, “Ya, dia adalah seorang ahli ibadah yang semua amal ibadahnya langsung naik ke langit dan diterima setiap harinya!!”
Salah malaikat lainnya langsung menyahuti, “Ya, memang benar seperti itu, tetapi dalam setahun ini amal ibadahnya terhenti dan tertahan di langit. Begitu juga dengan doa-doanya, kini tertunda pengabulannya hanya karena dua biji kurma yang pernah dimakannya sekitar satu tahun yang lalu!!”
Ibrahim langsung tersentak kaget dengan perkataan malaikat yang terakhir itu. Konsentrasi dan fokus amalannya langsung buyar, ia berfikir keras dan mencoba mengingat-ingat tentang dua butir kurma itu. Kurma bisa dikatakan sebagai makanan pokok sehari-hari di Makkah dan daerah jazirah Arabia lainnya saat itu, sehingga ia agak kesulitan untuk mengingat dua butir kurma mana yang menjadi ‘penghalang’ diterimanya amal ibadah dan doa-doanya dalam setahun ini.
Setelah lama berfikir ia mulai ingat, suatu kali ia membeli kurma dari seorang lelaki yang sudah sangat tua. Ketika proses berlangsung dan sudah ‘deal’ harganya, akad jual-beli juga sudah diucapkan, ada dua butir kurma jatuh di dekat kakinya. Tanpa berfikir panjang Ibrahim mengambil dan memakannya, karena ia merasa kurma itu bagian dari yang telah dibeli dan kemudian dibayarnya. Ia berkata dalam hatinya, “Tentulah dua butir kurma itu yang dimaksudkan oleh malaikat tersebut!! Aku harus meminta ridho (kerelaan) dari pemiliknya…”
Keesokan harinya Ibrahim bin Adham langsung kembali ke Makkah. Setelah berhari-hari berjalan kaki mengarungi padang pasir, ia sampai di Makkah dan langsung ke tempat penjual kurma yang dimaksudkan. Tetapi lelaki tua yang menjual kurma itu tidak ada, digantikan oleh seorang pemuda. Ibrahim berkata, “Sekitar setahun yang lalu, ada seorang penjual kurma yang sudah tua di sini, tolong beritahu aku dimana dia sekarang berada?”
Sang pemuda berkata, “Dia adalah ayahku, beliau telah meninggal dunia!!”
Tampak kesedihan yang amat dalam di wajah Ibrahim, melihat reaksinya itu, sang pemuda berkata, “Apakah yang telah terjadi antara tuan dengan ayahku sehingga tuan begitu bersedih!!”
Ibrahim menceritakan peristiwa dua butir kurma yang terjadi setahun yang lalu, dan ia meminta kehalalannya karena telah terlanjur dimakannya. Sang pemuda tampaknya juga merasa kaget sekaligus heran dengan sikap Abdullah bin Adham tersebut. Hanya karena dua butir kurma itu, dampaknya begitu ‘luar biasa’, ia berkata, “Baiklah, saya memberi ridha (kehalalan) pada tuan atas dua butir kurma itu. Hanya saja, bukan hanya saya saja ahli waris dari ayah, tetapi ada ibu dan saudara perempuan saya. Mungkin tuan ingin juga meminta kehalalan dari mereka berdua!!”
“Baiklah, “ Kata Ibrahim.
Setelah memperoleh informasi tempat tinggalnya, Ibrahim bin Adham segera menemui mereka, yang tentu saja tidak berkeberatan menghalalkan dua butir kurma yang terlanjur dimakan olehnya. Setelah itu Ibrahim bin Adham kembali mengarungi padang pasir menuju Baitul Maqdis, ia i’tikaf lagi di Qubbatus Shahra, walau dengan sembunyi-sembunyi seperti sebelumnya. Saat malam telah larut dan malaikat mulai berdatangan, ia mendengar percakapan mereka. Salah satunya berkata, “Ternyata di dalam masjid ini masih ada manusia!!”
Malaikat lainnya berkata, “Dia adalah Ibrahim bin Adham, amal ibadahnya yang setahun itu tertahan di langit, dan doa-doanya yang tertunda pengabulannya, kini telah diterima oleh Allah karena ia telah meminta kehalalan dari dua butir kurma yang telah dimakannya dengan cara tidak benar!!”
Mendengar pembicaraan itu Ibrahim langsung sujud syukur, ia sampai menangis karena gembiranya. Sejak saat itu ia sangat berhati-hati ketika akan makan, dan itupun dilakukannya hanya sekali dalam seminggu.

Perjalanan Umar RA ke Baitul Maqdis

Walaupun setiap zaman selalu saja ada sosok pemimpin yang mempunyai jiwa pengabdian dan perhatian yang besar kepada orang-orang kecil, tetapi tidak ada yang bisa menandingi ‘kebesaran’ Umar bin Khaththab RA dalam hal ini, tentunya selain Nabi SAW dan para Rasul Allah lainnya. Banyak sekali peristiwa luar biasa yang menunjukkan keadilan dan kerendah-hatian Khulafaur Rasyidin yang kedua ini, salah satunya adalah ketika kaum muslimin berhasil menaklukan dan menguasai Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsha.   
Pada tahun 16 hijriah pasukan muslim mengepung kota al Quds, kota tempat Baitul Maqdis berada, yang termasuk wilayah kekuasaan Romawi. Setelah beberapa waktu lamanya dalam pengepungan, akhirnya gubernur al Quds, Beatrice Sofernius menyerah. Ia bersedia menyerahkan kota tersebut, termasuk Baitul Maqdis, tetapi ia mensyaratkan akan menyerahkan langsung kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab. Karena itu komandan pasukan mengirim surat untuk meminta kehadiran Umar ke sana.
Umar langsung memenuhi permintaan tersebut. Tidak seperti umumnya seorang pejabat yang menerima penyerahan kota karena suatu kemenangan, ia berangkat ke Al Quds hanya dengan seorang pembantunya dan hanya dengan satu tunggangan (kuda atau onta), karena memang hanya itu yang dimiliki Umar. Walau sebagai seorang ‘kepala negara’, Umar tidak mau menggunakan kekayaan negara yang dalam penguasaannya, termasuk kendaraan/tunggangan, karena ia merasa bahwa ia harus mempertanggung-jawabkan hal itu di akhirat kelak. Ia meyakini, bahwa akan lebih mudah dan lebih selamat baginya di yaumul hisab, jika sesedikit mungkin menggunakan ‘fasilitas’ negara (baitul maal).
Ketika memulai perjalanan dan sampai di luar kota Madinah, Umar berkata kepada pembantunya, “Wahai Ghulam, kita berdua hanya memiliki satu tunggangan. Jika saya naik dan engkau berjalan kaki, artinya aku menzhalimimu. Jika engkau naik dan aku berjalan kaki, engkau yang menzhalimiku. Jika kita berdua naik, kita menzhalimi tunggangan kita…”
“Kalau begitu bagaimana sebaiknya, ya Amirul Mukminin?” Kata pembantunya itu.
Umar berkata, “Marilah kita bagi tiga periode waktu, pertama aku yang menaikinya, kedua engkau yang menaikinya, dan ketiga, biarlah tunggangan kita melenggang tanpa beban, sekalian untuk waktu istirahatnya tanpa menunda waktu.”
Pelayannya tersebut menyetujuinya. Umar memperoleh giliran pertama menaikinya, setelah waktu yang disepakati habis, ganti sang pelayan yang menaikinya, dan setelah waktunya habis, mereka berdua membiarkan tunggangannya bebas. Begitulah giliran itu bergulir terus, ketika telah memasuki pintu kota al Quds, ternyata bertepatan dengan selesainya giliran Umar, dan ia turun sambil berkata kepada pembantunya, “Kini giliranmu, naiklah!!”
Sang pembantu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, engkau jangan turun dan saya tidak mungkin naik. Kita telah sampai di kota tujuan, di sana ada peradaban, kemajuan dan berbagai pemandangan modern. Jika kita datang dengan keadaan ini, saya naik sedang engkau menuntun, tentu mereka akan merendahkan dan mentertawakan kita. Dan itu akan mempengaruhi kemenangan kita!!”
Tetapi dengan tegas Umar berkata, “Naiklah, ini giliranmu. Demi Allah, kalau memang waktunya giliranku, aku tidak akan turun dan engkau tidak perlu naik!!”
Inilah memang ciri khas Umar bin Khaththab ketika menjadi khalifah, ia selalu takut berlaku zhalim dan bersikap tidak adil, walau terhadap rakyat kecil. Kalau ia harus tetap naik tunggangan hanya karena telah memasuki kota al Quds, ia yakin Allah akan ‘mempertanyakan’ dan meminta pertanggung-jawabannya di yaumul hisab kelak..
Ketika masyarakat kota yang menyambut mereka di Babul (pintu kota) Damaskus melihatnya, mereka langsung mengelu-elukan sang pembantu yang menunggang dan mengabaikan Umar yang menuntun tunggangan. Memang, dalam penampilan dan baju yang dikenakan, Umar tidaklah jauh berbeda dengan pembantunya tersebut. Bahkan ada beberapa orang yang melakukan penghormatan dengan sujud, sehingga pembantu itu memukulnya dengan tongkatnya, sambil berkata, “Celaka kalian, angkatlah muka kalian, sungguh tidak boleh bersujud kecuali kepada Allah semata..!!”
Ketika tiba di hadapan gubernur Beatrice Sofernicus dan pasukan muslimin, mereka baru mengetahui kalau Amirul Mukminin Umar bin Khaththab itu adalah yang berjalan menuntun tunggangan, karena mereka menyapa dan menyalaminya.
Setelah melakukan serah terima kota al Quds, Beatrice mengajak Umar untuk meninjau Gereja Kiamah, dan Umar memenuhi permintaannya itu. Di tengah peninjuan itu tiba waktu shalat, maka Umar berkata, “Di mana saya bisa shalat?”
Beatrice menunjuk salah satu ruangan di dekatnya berdiri, maka Umar-pun berkata, “Umar tidak mungkin shalat di gereja Kiamah ini. Nanti di kemudian, kaum muslimin akan berkata : Di sini Umar pernah menjalankan shalat. Maka mereka akan menghancurkan gereja ini dan membangun masjid di reruntuhannya…!!”
            Kemudian Umar keluar dari gereja dan mendirikan shalat di tempat terbuka, sejauh jarak lemparan batu, diikuti oleh pasukan muslimin yang hadir. Di kemudian hari, kaum muslimin mendirikan masjid di tempat itu, yang diberi nama Masjid Umar bin Khaththab, berdiri megah tidak jauh dari gereja Kiamah tersebut. 

Rabu, 04 Juni 2014

Ketika Takut Kepada Allah

Ibrahim bin Ahmad bin Ismail, nama kunyahnya Abu Ishaq, atau lebih dikenal dengan Ibrahim al Khawwas, adalah seorang tokoh sufi yang sezaman dengan Junaid al Baghdadi dan Abul Husain an Nuri. Beliau sangat kuat dalam tawakal dan sangat gencar dalam riyadhah, beliau wafat karena sakit perut ketika riyadhahnya, pada tahun 291 H (atau 904 M) di Ar Ray. Salah satu nasehat beliau adalah tentang obat hati yang lima, yang sekarang ini banyak dijadikan bahan lagu pujian, tembang dan lagu-lagu rohaniah (Islam tentunya).
Suatu ketika Ibrahim al Khawwash sedang dalam suatu perjalanan atau perantauan bersama beberapa orang lainnya. Menjelang malam di dekat suatu hutan, mereka beristirahat dan bersiap tidur, tetapi tiba-tiba datang seekor harimau yang duduk bersimpuh di dekat mereka. Tentu saja mereka lari menyelamatkan diri dengan naik ke sebuah pohon yang tidak jauh letaknya. Mereka duduk, mungkin juga sampai tertidur di cabang pohon itu hingga pagi tiba, tetapi anehnya, Ibrahim bin Khawwash dengan tenangnya tidur tanpa perasaan takut dan khawatir akan ancaman harimau itu.
Ketika fajar menjelang, sang harimau meninggalkan tempat itu begitu saja, tanpa ada insiden penyerangan. Setelah melaksanakan shalat subuh, mereka melanjutkan perjalanan. Pada malam harinya, mereka tiba di suatu masjid dan bermalam di sana. Tengah malam, ketika semua orang sedang asyiknya tertidur, tiba-tiba terdengar teriakan Ibrahim bin Khawwash, semacam teriakan ketakutan yang membangunkan semua orang di masjid itu. Salah seorang bertanya, “Wahai Abu Ishaq, apa yang terjadi dengan dirimu?”
Ibrahim berkata, “Seekor kepinding jatuh tepat di wajahku, yang membuatku terkejut dan ketakutan!!”
Mereka berkata, “Sungguh ajaib, kemarin engkau tidur bersebelahan dengan harimau tetapi engkau tenang-tenang saja, tertidur tanpa terganggu. Tetapi hanya karena seekor kepinding, kali ini engkau berteriak membangunkan orang semasjid!!”
Ibrahim berkata, “Kemarin itu aku sedang diliputi perasaan takut kepada Allah dan bergantung kepadanya, sehingga aku ‘terambil’ dari diriku sendiri. Kali ini aku dikembalikan kepada diriku sehingga aku merasa takut walau hanya terhadap kepinding!!”         

Note:asq124rq604

Melihat Kesalahan Diri Sendiri (Introspeksi)

Di masa sebelum diutusnya Rasulullah SAW, ada seorang lelaki saleh dari Bani Israil yang mempunyai amalan yang sungguh luar biasa. Telah tujuhpuluh tahun lamanya ia berpuasa dan hanya berbuka setiap tujuh hari sekali. Dalam beberapa waktu terakhir, ia selalu berdoa kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya bagaimana cara syaitan menyesatkan manusia. Ia berharap, dengan mengetahui hal itu ia bisa menghindari jalan dan cara yang digunakan syaitan tersebut.
Beberapa waktu lamanya berdoa, bahkan ia menambah beberapa aktivitas ibadahnya tetapi Allah belum juga mengabulkannya. Sebagai seorang yang saleh, ia menyadari bahwa ada yang salah dengan dirinya, yakni sikap batinnya dalam berdoa, maka ia berkata kepada dirinya sendiri, “Jika saja aku bisa melihat dosa dan kesalahan antara aku dan Tuhanku, tentulah hal itu lebih baik daripada apa yang aku minta (yakni melihat syaitan)…!!”
Kemudian Allah SWT mengutus salah satu malaikat, dan sang malaikat berkatanya, “Sesungguhnya Allah mengutus aku kepadamu, dan Allah berfirman : Sesungguhnya perkataan (terakhir) yang engkau katakan itu jauh lebih baik daripada seluruh ibadah yang telah engkau lakukan di masa lalu….”
Malaikat itu melanjutkan, “Karena hal itulah Allah mengijinkanmu untuk melihat, maka sekarang lihatlah apa yang engkau inginkan….!!”
Lelaki Bani Israil itu melihat bagaimana tentara-tentara iblis mengitari bumi, bergerak antara langit dan bumi dengan bebas dan cepatnya. Tidak ada seorang manusiapun kecuali setan-setan itu mengitarinya untuk menggelincirkannya, layaknya sekelompok serigala yang mengitari seekor kambing untuk disantap menjadi makanannya. Ia berkata seperti putus asa, “Wahai Tuhanku, siapakah yang bisa selamat dari semua itu?”
Allah berfirman, “Yang bisa selamat adalah orang-orang yang wara’ dan bersikap lemah lembut kepada sesamanya!!”
Makna wara’ sangat luas, tetapi secara ringkas bisa dikatakan sebagai sikap waspada dan hati-hati, berusaha menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan yang bisa membuatnya jatuh ke dalam dosa.

Note:iu4-19

Kamis, 24 April 2014

Kasih Sayang Allah pada Yaumul Hisab (2)

Pada yaumul hisab kelak, setelah menghadapi pengadilan dan mizan (penimbangan amal) di hadapan Allah, seorang lelaki diperintahkan untuk berjalan ke arah neraka. Walau ia seorang muslim, tetapi timbangan kebaikannya tidak bisa mengalahkan (lebih berat daripada) amal-amal keburukannya, dan Allah SWT tidak atau belum berkenan untuk memberikan ampunan kepadanya.
Lelaki itupun berjalan ke arah neraka, tetapi pada jarak sepertiganya ia berhenti sebentar dan menoleh ke belakang, setelah itu berjalan lagi. Pada jarak setengahnya, ia berhenti lagi dan menoleh ke belakang, tetapi tidak lama berselang ia berjalan lagi. Pada jarak dua pertiganya, atau sepertiga lagi akan sampai di pintu neraka, dan ia mulai merasakan panasnya yang membara, lagi-lagi lelaki itu berhenti dan menoleh ke belakang, tetapi tidak lama ia telah berjalan lagi menuju ke neraka.
Melihat perilaku aneh lelaki itu, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, Allah memerintahkan seorang malaikat untuk membawa lelaki itu kembali ke hadapan-Nya. Setelah dibawa kembali, Allah berfirman kepadanya, “Wahai Fulan, mengapa engkau sampai menoleh tiga?”
Lelaki itu berkata, “Ya Allah, setelah hamba sampai di sepertiga jarak ke neraka, hamba teringat akan firman-Mu : Warabbukal ghafuuru dzur-rahmah (QS al Kahfi 58, artinya : Dan Tuhanmu Maha Pengampun lagi penuh rahmah/kasih sayang). Maka hamba berhenti dan menoleh, sangat berharap akan datangnya ampunan dan rahmat-Mu. Tetapi karena tidak muncul juga, hamba meneruskan perjalanan…”
Lelaki itu meneruskan, “Pada jarak setengah perjalanan, hamba teringat akan firman-Mu : Wa man yaghfirudz dzunuuba illallaah (QS Ali Imran 135, artinya : Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah?), maka besarlah harapan hamba akan ampunan-Mu, karena sesungguhnya hamba telah berputus asa dari siapapun kecuali hanya Engkau. Tetapi karena tidak juga terlihat wujudnya harapan itu, hamba berjalan lagi…”
Ia meneruskan, “Ketika sampai pada jarak dua pertiga, hamba teringat akan Firman-Mu : Qul yaa ‘ibaadiyal-ladziina asrafuu ‘alaa anfusihim laa taqnathuu min rahmatillah (QS Az Zumar 53, yang artinya : Katakanlah, hai hamba-hamba-Ku yang melewati batas (dholim) kepada dirinya sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah). Maka bertambahlah harapan hamba atas maghfirah dan rahmat-Mu, ya Allah, tetapi karena tidak juga ada panggilan-Mu, hamba berjalan lagi, hingga salah seorang malaikat-Mu membawa hamba kembali ke sini!!”
            Setelah penjelasannya itu, Allah berfirman, “Pergilah engkau (ke surga), sesungguhnya Aku telah mengampuni engkau!!”

Note:ahq102

Kematian Seolah di depan Mata

Suatu senja Banan al Mishri sedang duduk santai di suatu tempat di Makkah, setelah ia menyelesaikan prosesi ibadahnya (haji atau umrah). Ia melihat seorang pemuda yang tampak miskin duduk tidak jauh dari tempatnya. Tiba-tiba datang seorang lelaki meletakkan sekantong uang dirham di hadapannya, pemuda itu berkata, “Saya tidak butuh dengan uang ini!!”
Lelaki itu berkata, “Kalau begitu, bagikanlah uang ini kepada orang-orang miskin yang membutuhkannya!!”
“Baiklah!!” Kata pemuda itu, kemudian ia beranjak pergi membawa kantong uang itu.
Ketika malam tiba, Banan kembali melihat pemuda itu di suatu lembah, tetapi tampaknya ia sedang mencari-cari sesuatu untuk makan malamnya. Banan menghampirinya dan berkata, “Andai saja engkau menyisihkan uang yang kamu terima tadi untuk kebutuhanmu!!”
Sejenak pemuda itu memandang tajam kepada Banan, kemudian berkata, “Saya tidak tahu bahwa saya masih hidup sampai saat ini…”
Peristiwa yang hampir serupa pernah terjadi pada Ummul Mukminin, Aisyah RA. Suatu ketika beliau memperoleh hadiah dua karung uang yang masing-masing berisi 100.000 dirham, dan langsung membagi-bagikannya kepada fakir miskin dari pagi sampai sore harinya, sehingga tidak tersisa sama sekali.
Hari itu Aisyah sedang berpuasa, saat masuk waktu maghrib, pembantunya datang membawa makanan untuk berbuka berupa sepotong roti dan minyak zaitun. Ia berkata kepada Aisyah, "Seandainya engkau tadi menyisakan satu dirham, tentu aku bisa menyediakan sepotong daging untuk menu berbuka."      
"Mengapa engkau baru mengatakannya sekarang," Kata Aisyah, "Andai tadi engkau mengatakannya, tentu kusisakan satu dirham untukmu."

Note:rq408

Senin, 24 Maret 2014

Makna Sebuah Tawakkal

Ahmad bin Isa al Kharraz, atau lebih dikenal dengan nama kunyahnya Abu Said al Kharraz adalah seorang sufi yang tinggal di Baghdad pada abad 3 hijriah, wafat pada tahun 277 H atau 890 M. Suatu ketika ia melakukan perjalanan melintasi padang pasir, dan tiba di kota Kufah dalam keadaan lapar. Seketika ia teringat temannya di kota itu bernama Al Jarari, yang mempunyai kedai makanan. Langsung saja ia melangkahkan kaki menuju ke rumahnya, tetapi ternyata Al Jarari sedang keluar. Tidak jauh dari kedai itu ada sebuah surau, maka Abu Said memutuskan untuk menunggu temannya di sana.
Ketika melangkah masuk ke dalam surau itu, ia berkata : Bismillaahirrahmaanirrahiim, Alhamdulillaahi rabbil ‘alamiin, wa salaamun ‘alainaa wa’alaa ‘ibaadillahil mutawakkiliin
Makna dari ucapannya itu adalah : Dengan nama Allah yang Maha pengasih dan Maha Penyayang, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, salam sejahtera atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang bertawakkal
Setelah shalat seperlunya, ia duduk berdzikir sambil sesekali menengok ke kedai kalau-kalau Al Jarari telah datang. Tetapi tidak lama kemudian datang seseorang yang tidak dikenalnya masuk ke surau dengan berkata, “Alhamdulillaahi rabbil ‘alamiin, Subhaana man akhlil ardhi minal mutawakiliin, wa salaamun ‘alainaa wa’alaa jamii’il kaadzibiin…”
Makna dari ucapannya itu adalah : Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Maha Suci (Allah) yang telah mengosongkan bumi dari orang-orang yang bertawakkal, salam sejahtera atas kami dan atas orang-orang yang berdusta.
Tentu saja Abu Said terkejut dengan ucapannya itu, yang jelas-jelas menyindir dirinya. Tetapi belum sempat ia berkata apa-apa, lelaki itu berkata lagi, “Wahai Abu Said yang mengaku tawakkal, tawakkal itu apabila engkau berada di padang pasir atau di bukit dan pegunungan, bukan di dalam kota sambil menanti datangnya Al Jarari…”
Abu Said berusaha menengok  untuk melihat lebih jelas siapa lelaki itu, tetapi ternyata ia tidak mendapati seorangpun di dalam surau itu kecuali dirinya sendiri. Segera saja ia tersadar kalau ia telah melakukan kesalahan saat pertama kali memasuki surau itu, dan ia menangis penuh penyesalan sambil mulutnya tidak lepas dari ucapan istighfar kepada Allah.

Note:ahq120

Tiga Pesan dalam Tiga Batu Nisan

            Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Bani Umayyah, yakni pada tahun 70-80 an hijriah, ada seorang sufi pengembara bernama bernama Shidqah bin Mirdas al Bakri. Ia sering menjelajahi negeri-negeri Islam yang saat itu wilayahnya telah sangat luas, untuk mendapat hikmah dan pengajaran dari berbagai orang di berbagai macam tempat. 
Dalam pengembaraannya di wilayah Antokiah, termasuk wilayah Romawi saat itu, atau (mungkin) di Turki saat ini, ia melihat tiga buah makam yang tidak seperti umumnya di atas sebuah bukit. Pada masing-masing batu nisan yang cukup besar itu tertulis kalimat yang panjang lebar berisi sebuah pesan berharga, padahal biasanya hanya berisi nama dan terkadang ditambah tanggal kematiannya. Shidqah berusaha mencari tahu tentang masalah itu, dan ia dipertemukan dengan seorang syech yang cukup terkenal dan disegani di perkampungan itu. Setelah mendengar pertanyaannya, syech itu berkata, “Sesungguhnya kisah tentang mereka yang dimakamkan lebih menakjubkan daripada yang engkau lihat!!”
Kemudian sang syech menceritakan bahwa di masa lalu hidup tiga orang bersaudara, mereka memiliki aktivitas dan perilaku yang sangat berbeda, tetapi tetap saling menyayangi satu sama lainnya. Yang pertama adalah seorang gubernur, yang sibuk dengan urusan pemerintahan, khususnya di bidang kemiliteran. Yang kedua seorang pedagang yang sukses, yang sibuk dengan aktivitasnya untuk menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya. Sedangkan yang ketiga dan paling muda seorang pemuda yang saleh dan zuhud, ia lebih suka menyendiri untuk menyucikan dirinya (jiwanya) dengan banyak beribadah kepada Allah.
Suatu ketika sang adik termuda itu sakit dan kelihatannya telah dekat waktu kematiannya. Kedua kakaknya yang menungguinya berkata, “Wahai adik, adakah sesuatu yang perlu engkau wasiatkan kepada kami berdua?”
Sang adik berkata, “Tidak, demi Allah aku tidak memiliki harta sedikitpun yang menjadi sebab aku harus berwasiat!!”
Sang kakak berkata, “Wahai adikku, katakan saja apapun yang engkau harapkan. Hartaku ini adalah untukmu, berwasiatlah dengannya apapun yang engkau inginkan. Aku berjanji akan melaksanakannya!!”
Kakak satunya lagi juga menegaskan komitmen yang sama. Sang adik berkata, “Baiklah, aku akan berpesan kepada kalian dan janganlah kalian mengingkari pesan itu!!"
Sebagai seorang yang saleh dan zuhud, sang adik sama sekali tidak ‘menyinggung’ harta dan jabatan kakaknya yang melimpah ruah itu dalam wasiatnya. Ia hanya berpesan, kalau ia telah meninggal, hendaknya mereka berdua yang memandikan dan mengkafaninya, kemudian ia ingin dimakamkan di tempat (dataran) yang tinggi, dan di batu nisannya hendaknya dituliskan pesannya, yakni : Bagaimana bisa hidup berfoya-foya bagi orang yang mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Pencipta akan meminta pertanggung-jawabannya, dituntut kedzalimannya kepada orang lain, dan akan diberi balasan kebaikan bagi orang yang berbuat baik!!
Setelah pemuda itu meninggal, dua kakaknya itu melaksanakan wasiatnya. Beberapa waktu berselang, sang Gubernur bersama pasukan yang dibawanya melewati bukit tempat adiknya dimakamkan. Ia menyempatkan untuk men-ziarahinya, dan ketika ia membaca tulisan yang tertulis di nisannya itu ia menangis tersedu-sedu, padahal sebelumnya ia tidak pernah menangis. Kesedihannya begitu mendalam, entah apa sebabnya? Apa karena teringat adiknya yang begitu disayanginya, atau karena pesan yang tertulis itu?
Pada kesempatan lainnya, ia melalui tempat itu lagi dan men-ziarahinya, dan lagi-lagi ia mengalami kesedihan yang membuatnya menangis tersedu-sedu. Tetapi ketika akan meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar suatu suara nyaring dari makam adiknya itu. Suara itu begitu menghentak dan seolah membelah dadanya sehingga ia merasa ketakutan, karena itu ia segera meninggalkan tempat itu. Pada malam harinya ia bermimpi bertemu dengan adik bungsunya dan seolah-olah nyata saja, maka ia bertanya, “Apa yang kudengar dari dalam kuburmu itu, wahai adikku?”
Sang adik berkata, “Itu adalah suara nyaring yang akan memecahkan kepalamu, sebab engkau melihat suatu kedzaliman tetapi engkau tidak menghentikannya walau engkau mampu!!”
Sang gubernur sangat ketakutan mendengarnya, dan ia terbangun dengan keringat dingin bercucuran. Perasaan gundah, sedih dan takut bercampur baur dalam dirinya, dan ketika pagi menjelang, ia mendatangi adiknya yang menjadi saudagar dan berkata, “Tidak ada yang lebih bisa memahami pesan adik kita di nisannya itu kecuali aku ini…”
Kemudian ia menceritakan apa yang dialaminya, termasuk mimpinya itu, dan ia menyatakan akan berhenti sebagai gubernur. Setelah menyampaikan pengunduran dirinya kepada khalifah Abdul Malik bin Marwan, ia meninggalkan segala kemewahan hidupnya selama ini dan tinggal menyepi dan menyendiri di atas gunung. Tidak ada yang dilakukannya kecuali hanya bertaubat dan beribadah kepada Allah, sebagaimana pernah dilakukan oleh adik bungsunya. Tidak ada yang menemaninya kecuali seorang pengembala bersama ternak-ternaknya.
Ketika ia dalam keadaan sakit parah yang membawanya kepada ajal, sang penggembala mendatangi sang adik yang menjadi saudagar untuk mengabarkan hal itu. Ketika menungguinya di saat-saat terakhir, adiknya berkata, “Wahai kakakku, apakah engkau tidak berwasiat kepadaku?”
Sang kakak berkata, “Dengan apa aku harus berwasiat? Aku tidak memiliki apapun yang menyebabkan aku harus berwasiat!! Tetapi aku hanya berpesan kepadamu, agar aku dimakamkan di sisi adik kita yang telah mendahului kita. Kemudian pada nisanku, hendaklah engkau tuliskan pesan ini : Bagaimana bisa hidup berfoya-foya bagi orang yakin, bahwa kematian akan menjemput dengan tiba-tiba. Kekuasaan yang besar dan megah, istana dan keluarganya akan segera tercabut dari dirinya!!”
Wasiat itu diulanginya sampai tiga kali sembari ia mendoakan adiknya itu agar Allah akan senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepadanya. Setelah kakaknya wafat, sang adik segera mengurus jenazahnya dan melaksanakan wasiatnya tersebut.
Pada hari ketiga ia berziarah ke makam dua saudaranya itu dengan perasaan sedih dan gulana. Rasanya masih belum lama berlalu ketika mereka bertiga saling mengasihi dan menjaga, walau dalam keadaan yang sangat berbeda. Ketika ia akan beranjak pulang, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari dalam kubur, yang membuat hatinya begitu miris dan akalnya nyaris hilang. Ia bergegas pulang dengan rasa takut sekaligus bingung, seperti orang yang linglung.
Pada malam harinya ia bermimpi tentang kakaknya, seolah-olah ada seorang lelaki yang berkata untuk menyampaikan pesan kakaknya itu, “Jika saja aku bertemu saudaraku, akan kulemparkan dia!!”
Tentu saja sang saudagar merasa kaget dengan perkataan lelaki itu, ia berkata, “Dimanakah saudara-saudaraku? Bukankah aku selalu menziarahinya?”
Lelaki itu berkata, “Jauh sekali, tetapi mereka dalam keadaan tentram di tempat kami!!”
Tampaknya belum puas dengan jawaban seperti itu, ia berkata lagi, “Dimana saudaraku? Bagaimanakah keadaannya?”
Lelaki itu berkata, “Baik sekali keadaannya, sesungguhnya taubat itu tidak berkumpul kecuali dengan kebaikan!!”
Ia masih bertanya lagi, “Bagaimana keberadaannya?”
Lelaki itu berkata, “Mereka bersama dengan para pemimpin yang baik-baik!!”
Sebenarnya sang saudagar itu ingin agar ia ‘bertemu’ langsung dengan kakak dan adiknya dalam impiannya itu, setelah peristiwa mengejutkan yang dialaminya ketika ia menziarahi makam mereka. Tetapi tampaknya lelaki itu tidak memberinya kesempatan untuk bertemu, kecuali hanya mengabarkan keadaan mereka. Ia jadi merasa tersisihkan, padahal ia sangat ingin berkumpul bersama dengan akrabnya, sebagaimana ketika mereka masih hidup dahulu.
Dengan perasaan gundah gulana, ia berkata, “Apakah ada yang ingin engkau pesankan (nasehatkan) pada diriku?”
Lelaki itu berkata, “Barang siapa yang meninggalkan sedikit saja dari kekayaan dunia (yakni, setelah sebagian besarnya disedekahkan), maka ia akan mendapatinya hasilnya di akhirat. Karena itu jagalah (manfaatkanlah) kekayaanmu sebelum miskinmu!!”
Setelah itu sang saudagar terbangun dari mimpinya dengan perasaan rindu yang amat menggumpal kepada saudara-saudaranya yang telah meninggal. Mimpi yang amat berkesan itu membuat sikapnya berubah, ia segera meninggalkan kesibukan perniagaannya dan mengisi hari-harinya dengan ibadah kepada Allah. Hampir sepertiga hartanya disedekahkan di jalan Allah, urusan perniagaan diserahkan kepada putranya, dan hanya menyisakan sedikit untuk dirinya, sekedar untuk bekal beribadah kepada Allah.
Saudagar itu memilih untuk hidup menyendiri, jauh dari keriuhan dan kesibukan dunia sebagaimana pernah dilakukan kakaknya. Secara rutin dalam beberapa hari sekali, anaknya menjenguk dirinya di tempat terpencil itu, hingga suatu ketika mendapati dirinya dalam keadaan sakit yang amat parah. Mungkin waktu kematiannya telah dekat. Anaknya berkata, “Wahai ayahku, apakah engkau tidak ingin berwasiat kepadaku?”
Ia berkata, “Demi Allah, wahai putraku, aku tidak memiliki apapun yang menyebabkan aku harus berwasiat kepadamu. Tetapi aku berpesan kepadamu, jika aku telah meninggal, kuburkanlah aku di dekat makam paman-pamanmu, lalu tulislah di nisan makamku dua bait kalimat ini : ‘Bagaimana bisa hidup berfoya-foya, orang yang menyadari ia akan berakhir di kuburan? Masa muda yang dijalaninya akan diuji, keindahan wajahnya yang sempurna akan sirna, dan tubuhnya akan usang dan hancur!!’ Jika wasiatku itu telah engkau laksanakan, berjanjilah kepada dirimu sendiri sebanyak tiga kali, bahwa engkau akan selalu mendoakanku!!”
Tak lama berselang ayahnya meninggal, dan putranya itu merawat jenazahnya, kemudian membawanya ke atas bukit untuk memakamkannya di dekat kuburan paman-pamannya. Ia juga mengerjakan semua wasiat ayahnya itu. Pada hari ke tiga ia berziarah ke makam ayahnya, sesaat ketika ia meninggalkan makam itu, terdengar suara keras dari arah makam tersebut, suara yang begitu menggetarkan jiwanya, wajahnya menjadi pucat pasi dan kulitnya serasa mengelupas semua. Ia segera pulang dengan tubuh yang panas dingin karena ketakutan.
Pada malam harinya ia bermimpi didatangi ayahnya, yang berkata, “Wahai putraku, kau akan segera berada di sisiku, segera menyusulku, bahkan kematian itu lebih dekat daripada itu. Karena itu bersiaplah untuk perjalanan panjangmu, bawalah bekal yang diperlukan di tempat barumu nanti. Janganlah engkau tertipu, sebagaimana orang-orang yang tertipu dengan angan-angan panjang mereka, sehingga mereka tidak mempunyai bekal di tempat kembalinya (akhirat). Menjelang kematiannya mereka menyesal telah menyia-nyiakan umurnya, dan penyesalan itu tidak ada artinya lagi. Dan lebih parah lagi, mereka yang menyesal ketika di akhirat baru menyadari kalau mereka orang yang merugi…Wahai putraku, bergegaslah, bergegaslah, bergegaslah …!!”
Sang syech menutup ceritanya kepada Shidqah bin Mirdas dengan berkata, “… setelah impiannya tersebut, sang pemuda menutup usahanya. Semua hutang-hutang dilunasinya, harta dan uang yang masih ada di orang lain dihalalkannya. Dan sisa harta yang masih dimilikinya terus disedekahkannya. Pada hari ketiga setelah mimpinya itu, tiba-tiba ia berpamitan kepada orang-orang di sekitarnya, meminta maaf dan mohon kehalalan jika masih ada kekhilafannya. Setelah itu ia menghadap kiblat dengan air mata yang terus menetes, kemudian ia bersyahadat dan meninggal dunia…”

Note:cms65