Senin, 31 Desember 2012

Seorang Yahudi yang Merindukan Rasulullah SAW

             Hari Sabat, atau hari sabtu saat ini, adalah hari besar dimana para pengikuti ajaran Nabi Musa AS (pada masa Nabi SAW dikenal sebagai kaum Yahudi) dilarang melakukan aktivitas apapun kecuali untuk beribadah, berdzikir atau mempelajari kitab Taurat.
            Suatu ketika, seorang lelaki Yahudi yang tinggal di Syam mengisi hari sabatnya untuk mempelajari kitab Taurat. Ia menemukan dalam Taurat tersebut ayat-ayat yang menyebutkan tentang sifat dan keadaan Nabi Muhammad SAW, nabi yang diramalkan akan turun sebagai penutup para Nabi-nabi, sebanyak empat halaman. Ia segera memotong empat halaman Taurat tersebut dan membakarnya.
            Saat itu memang Nabi SAW telah diutus dan telah tinggal di Madinah. Sementara itu, beberapa orang pemuka dan pendeta Yahudi melakukan "indoktrinasi" kepada jamaahnya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang  pendusta. Jika ditemukan sifat dan cerita tentang dirinya dalam Taurat, mereka harus memotong dan membakarnya karena itu merupakan ayat-ayat tambahan dalam Taurat yang tidak benar. Lelaki Yahudi dari Syam tersebut adalah satu anggota jamaah sekte ini.
            Pada hari sabtu berikutnya, ia juga mengisi harinya dengan melakukan kajian terhadap Taurat, dan ia menemukan delapan halaman yang menyebutkan tentang keadaan dan sifat-sifat Nabi SAW. Seperti kejadian sebelumnya, ia memotong delapan halaman tersebut dan membakarnya.
            Pada hari sabtu berikutnya lagi, ia masih melakukan kajian terhadap Taurat, dan kali ini ia menemukan hal yang sama, bahkan ditambah dengan cerita tentang beberapa  orang sahabat di sekitar beliau, dan ia menemukannya dalam 12 halaman. Kali ini ia tidak langsung memotongnya, tetapi ia berfikir dan berkata dalam hatinya, "Jika aku selalu memotong bagian seperti ini, bisa-bisa Taurat ini seluruhnya akan menyebutkan tentang sifat sifat dan keadaan Muhammad..!!"
Tentunya kita tidak tahu pasti, apakah memang kandungan Taurat seperti itu? Atau memang Allah SWT telah menggiring lelaki Yahudi  kepada hidayah-Nya, sehingga setiap kali dipotong, akan muncul secara ajaib (mu'jizat) pada halaman lainnya, lebih banyak dan lebih lengkap tentang keadaan Nabi Muhammad SAW.
            Tetapi, tiga kali pengalaman kajiannya tersebut telah memunculkan rasa penasaran dan keingin-tahuannya yang besar kepada Nabi SAW. Bahkan dengan tiga kali kajiannya tersebut, seakan-akan sifat-sifat dan keadaan beliau telah lekat di kepalanya, dan seperti mengenal beliau sangat akrab.
            Ia datang kepada kawan-kawan Yahudinya dan berkata, "Siapakah Muhammad ini?"
            "Ia seorang pembohong besar (yang tinggal di Madinah)," Kata salah seorang temannya, "Lebih baik engkau tidak melihatnya, dan dia tidak perlu melihat engkau!!"
            Tetapi lelaki Yahudi yang telah "melihat" dengan "ilmul yakin" tentang keadaan Nabi SAW ini, tampaknya tidak mudah begitu saja dipengaruhi teman-temannya. Seakan ada kerinduan menggumpal kepada sosok Muhammad yang belum pernah dikenal dan ditemuinya itu. Kerinduan yang memunculkan kegelisahan, yang tidak akan bisa  hilang kecuali bertemu langsung dengan sosok imajinasi dalam pikirannya tersebut. Ia berkata dengan tegas, "Demi kebenaran Taurat Musa, janganlah kalian menghalangi aku untuk mengunjungi Muhammad…!!"
            Dengan tekad yang begitu kuatnya, teman-temannya itu tak mampu lagi menghalangi langkahnya untuk bertemu dengan Nabi SAW di Madinah. Lelaki Yahudi ini mempersiapkan kendaraan dan perbekalannya dan langsung memacunya mengarungi padang pasir tanpa menunda-nundanya lagi. Beberapa hari berjalan, siang dan malam terus saja berjalan, hingga akhirnya ia memasuki kota Madinah.
            Orang pertama yang bertemu dengannya adalah Sahabat Salman al Farisi. Karena Salman berwajah tampan, dan mirip gambaran yang diperolehnya dalam Taurat, ia berkata, "Apakah engkau Muhammad?"
            Salman tidak segera menjawab, bahkan segera saja ia menangis mendapat pertanyaan tersebut, sehingga  membuat lelaki Yahudi ini terheran-heran. Kemudian Salman berkata, "Saya adalah pesuruhnya!"
            Memang, hari itu telah tiga hari Nabi SAW wafat dan jenazah beliau baru dimakamkan kemarin malamnya, sehingga pertanyaan seperti itu mengingatkannya kepada beliau dan membuat Salman menangis. Kemudian lelaki Yahudi itu berkata, "Dimanakah Muhammad?"
            Salman berfikir cepat, kalau ia berkata jujur bahwa Nabi SAW telah wafat, mungkin lelaki ini akan pulang, tetapi kalau ia berkata masih hidup, maka ia berbohong. Salman-pun berkata, "Marilah aku antar engkau kepada sahabat-sahabat beliau!"
            Salman membawa lelaki Yahudi tersebut ke Masjid, di sana para sahabat tengah berkumpul dalam keadaan sedih. Ketika tiba di pintu masjid, lelaki Yahudi ini berseru agak keras, "Assalamu'alaika, ya Muhammad!"
            Ia mengira Nabi SAW ada di antara kumpulan para sahabat tersebut, tetapi sekali lagi ia melihat reaksi yang mengherankan. Beberapa orang pecah tangisnya, beberapa lainnya makin sesenggukan dan kesedihan makin meliputi wajah-wajah mereka. Salah seorang sahabat berkata, "Wahai orang asing, siapakah engkau ini? Sungguh engkau telah memperbaharui luka hati kami! Apakah kamu belum tahu bahwa beliau telah wafat tiga hari yang lalu?"
            Seketika lelaki Yahudi tersebut berteriak penuh kesedihan, "Betapa sedih hariku, betapa sia-sia perjalananku! Aduhai, andai saja ibuku tidak pernah melahirkan aku, andai saja aku tidak pernah membaca Taurat dan mengkajinya, andai saja dalam membaca dan mengkaji Taurat aku tidak pernah menemukan ayat-ayat yang menyebutkan sifat-sifat dan keadaannya, andai saja aku bertemu dengannya setelah aku menemukan ayat-ayat Taurat tersebut….(tentu tidak akan sesedih ini keadaanku)!"
            Lelaki Yahudi tersebut menangis tersedu, tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Seakan teringat sesuatu, tiba-tiba ia berkata, "Apakah Ali berada di sini, sehingga ia bisa menyebutkan sifat-sifatnya kepadaku!"
            "Ada," Kata Ali bin Abi Thalib sambil mendekat kepada lelaki Yahudi tersebut.
            "Aku menemukan namamu dalam kitab Taurat bersama Muhammad. Tolong engkau ceritakan padaku ciri- ciri beliau!"
            Ali bin Abi Thalib berkata, "Rasulullah SAW itu tidak tinggi dan tidak pendek, kepalanya bulat, dahinya lebar, kedua matanya tajam, kedua alisnya tebal. Bila beliau tertawa, keluar cahaya dari sela-sela giginya, dadanya berbulu, telapak tangannya berisi, telapak kakinya cekung, lebar langkahnya, dan di antara dua belikat beliau ada tanda khatamun nubuwwah!!"
            "Engkau benar, wahai Ali," Kata lelaki Yahudi tersebut, "Seperti itulah ciri-ciri Nabi Muhammad yang disebutkan dalam Kitab Taurat. Apakah masih ada sisa baju beliau sehingga aku bisa menciumnya?"
            "Masih!" Kata Ali, kemudian ia meminta tolong kepada Salman untuk mengambil jubah Rasulullah SAW yang disimpan Fathimah az Zahrah, istrinya dan putri kesayangan Nabi SAW.
            Salman segera bangkit menuju tempat kediaman Fathimah. Di depan pintu rumahnya, ia mendengar tangisan Hasan dan Husain, cucu kecintaan Rasulullah SAW. Sambil mengetuk pintu, Salman berkata, "Wahai tempat kebanggaan para nabi, wahai tempat hiasan para wali!!"
            "Siapakah yang mengetuk pintu orang yatim!" Fathimah menyahut dari dalam.
            "Saya, Salman…" Kata Salman, kemudian ia menyebutkan maksud kedatangannya sesuai yang dipesankan oleh Ali.
            "Siapakah yang akan memakai jubah ayahku?" Kata Fathimah sambil menangis.
            Salman menceritakan peristiwa berkaitan dengan lelaki Yahudi tersebut, lalu Fathimah mengeluarkan jubah Rasulullah SAW, yang terdapat tujuh tambalan dengan tali serat kurma, dan menyerahkannya kepada Salman, yang langsung membawanya ke masjid. Setelah menerima jubah tersebut dari Salman, Ali menciumnya diiringi haru dan tangis, hingga sembab matanya. Jubah Rasulullah SAW tersebut beredar dari satu sahabat ke sahabat lainnya yang hadir, mereka menciumnya dan banyak yang menangis karena haru dan rindu kepada Nabi SAW, dan terakhir jatuh ke tangan lelaki Yahudi tersebut.
            Lelaki Yahudi ini mencium dan mendekap erat jubah Nabi SAW dan berkata, "Betapa harumnya jubah ini…!!"
            Dengan tetap mendekap jubah tersebut, lelaki Yahudi ini mendekat ke makam Rasulullah SAW, kemudian menengadahkan kepalanya ke langit dan berkata, "Wahai Tuhanku, saya bersaksi bahwa Engkau adalah Dzat yang Esa, Tunggal dan tempat bergantung (Ash  Shomad). Dan saya bersaksi bahwa orang yang berada di kubur ini adalah Rasul-Mu dan kekasih-Mu. Saya membenarkan segala apa yang ia ajarkan! Wahai Allah, jika Engkau menerima keislamanku, maka cabutlah nyawaku sekarang juga..!!"
            Tak lama kemudian lelaki Yahudi tersebut terkulai jatuh dan meninggal dunia. Ali dan para sahabat lainnya ikut terharu dan sedih melihat keadaan si Yahudi tersebut. Mereka segera memandikan dan mengurus jenazah lelaki Yahudi, yang telah menjadi muslim tersebut, dan memakamkannya di Baqi'.
            Lelaki Yahudi ini bukanlah termasuk sahabat Nabi SAW, bahkan dalam keislamannya tersebut belum satupun shalat atau kefardhuan lain yang dilakukannya, tetapi kecintaan dan kerinduannya kepada Nabi  SAW membuatnya pantas kalau ia dimakamkan di Baqi' disandingkan dengan para sahabat beliau lainnya.

Note:tg

Tersembunyinya Kekasih Allah

            Abdullah bin Mubarak, salah seorang ulama di masa tabi’in, setelah melaksanakan ibadah haji atau umrah, ia tinggal beberapa waktu lamanya di Makkah. Ketika itu terjadi masa paceklik karena telah beberapa bulan lamanya tidak terjadi hujan. Maka orang-orang datang ke suatu lapangan luas untuk melaksanakan shalat istisqo’ (shalat meminta hujan), Abdullah bin Mubarak ikut serta dalam jamaah shalat tersebut.
            Usai shalat dan memanjatkan doa kepada Allah, tidak terlihat tanda-tanda bahwa hujan akan turun. Hingga malam menjelang tidak ada awan tebal yang datang membawa air untuk menyirami wilayah Makkah dan sekitarnya. Keesokan harinya, mereka mengulang lagi shalat istisqo’ tersebut, tetapi masih juga tidak ada pertanda akan turunnya hujan, termasuk ketika mereka melakukannya untuk ke tiga kalinya pada hari berikutnya.
            Setelah berjamaah shalat Istisqo’ pada hari ketiga itu, Ibnul Mubarak berkata dalam hati, “Aku akan keluar memisahkan diri dari orang-orang ini dan berdoa kepada Allah, mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nya dan mengabulkan doaku sehingga hujan bisa turun!!”
            Ia berjalan diam-diam menuju perbukitan di sekitar Makkah, dan masuk salah satu gua yang berada di sana. Tetapi belum sempat ia berbuat apa-apa, tiba-tiba masuklah ke dalam gua itu seorang lelaki berkulit hitam, yang tampaknya seorang budak. Entah tidak tahu, pura-pura tidak tahu atau merasa minder melihat ‘penampilan’ Ibnul Mubarak yang layaknya seorang ulama khusyu dan ‘khos’, budak berkulit hitam itu tidak menyapa atau memberi salam kepadanya.
            Lelaki hitam itu langsung shalat dua rakaat yang tampaknya sederhana dan ringkas. Setelah mengucap salam, ia meletakkan kepalanya di tanah dan berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba-Mu, mereka telah melaksanakan shalat Istisqo’ selama tiga hari, tetapi Engkau belum berkenan juga menurunkan hujan. Maka demi Keagungan dan Kemuliaan-Mu, aku tidak akan mengangkat kepalaku hingga Engkau menurunkan hujan kepada kami!!”
            Beberapa waktu lamanya ia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba datang awan hitam bergulung-gulung, kemudian hujan turun dengan derasnya. Lelaki itu segera mengangkat kepalanya dan keluar gua, berjalan menembus hujan tanpa berkata apa-apa.
            Sejenak Ibnul Mubarak tertegun melihat pemandangan itu, dan segera setelah tersadar ia berjalan mengikuti lelaki hitam itu menembus hujan. Ia terus membuntutinya hingga memasuki sebuah perkampungan, dan lelaki hitam itu memasuki sebuah rumah yang cukup bagus. Ia duduk diam di depan rumah itu beberapa waktu lamanya, sampai seseorang keluar. Ibnul Mubarak berkata, “Rumah siapakah ini?”
            Lelaki itu berkata, “Rumah Tuan Fulan bin Fulan!!”
            “Bisakah saya membeli budak dari dirinya?” Kata Ibnul Mubarak lagi.
            Lelaki itu berkata, “Bisa dan silahkan masuk!!”
            Ibnul Mubarak dipersilahkan duduk dan lelaki itu segera memanggil tuannya. Sang pemilik rumah menemui Ibnul Mubarak sambil membawa seorang budak yang bagus wajahnya dan tampak cekatan, tetapi ia berkata, “Aku tidak menginginkan orang ini, apakah engkau mempunyai budak lainnya??”
            “Baiklah!!” Kata sang pemilik rumah, sambil memerintahkan untuk memanggil budak lainnya.
            Satu atau dua orang budak lagi ditunjukkan, tetapi Ibnul Mubarak berkata, “Aku menginginkan yang lainnya, apakah engkau masih memilikinya?”
            Tujuan utama Abdullah bin Mubarak adalah lelaki hitam yang ditemuinya di dalam gua itu. Orang itu berkata, “Saya memang masih memiliki satu orang lagi budak, tetapi ia sangat tidak pantas bagi tuan!!”
            “Mengapa?” Tanya Ibnul Mubarak.
            Orang itu berkata, “Karena dia seorang yang pemalas, tuan tidak akan memperoleh manfaat apa-apa dari dirinya.”
            Ibnul Mubarak berkata, “Bawalah dia kemari, aku ingin melihatnya.”
            Budak itu segera didatangkan, dan memang lelaki hitam yang ditemuinya di dalam gua tersebut. Tampak kegembiraan di matanya dan segera ia berkata, “Aku ridha dengan orang ini, berapa engkau ingin menjualnya!!”
            Orang itu berkata, “Saya dahulu membelinya duapuluh dinar, tetapi sekarang tidak laku walau hanya sepuluh dinar!!”
            “Saya akan membelinya seharga sepuluh dinar darimu!!” Kata Abdullah bin Mubarak, yang langsung mengeluarkan uang sepuluh dinar dan memberikannya kepada orang itu.
            Ibnul Mubarak membawa budak hitam itu ke tempat tinggalnya. Budak hitam yang selama itu hanya diam saja, tiba-tiba berkata, “Wahai Ibnul Mubarak, mengapa engkau membeli aku, aku tidak akan mengabdi dan melayani dirimu!!”
            Walau sempat menduga sebelumnya karena peristiwa di dalam gua itu, masih juga Ibnul Mubarak terkejut karena budak itu mengetahui dan menyebut namanya. Padahal ia belum pernah memperkenalkan diri, termasuk kepada pemilik sebelumnya. Tetapi justru hal itu memperkuat dugaannya sebelumnya, segera saja Ibnul Mubarak berkata, “Bukan seperti itu, justru aku yang akan melayani kamu, siapakah namamu??”
            Budak hitam itu berkata, “Para kekasih Allah tentu mengenal kekasih-Nya!!”
            Ketika lelaki hitam itu akan beranjak untuk berwudhu, Ibnul Mubarak segera mengambil air untuknya dan mempersiapkan sandal, serta menunjukkan kamar untuk dirinya. Di dalam kamar lelaki hitam itu shalat dua rakaat. Ibnul Mubarak yang memang sengaja menguping itu, mendengar dia berdoa setelah shalatnya, layaknya sedang bersyair (berpuisi), “Wahai Tuhan Pemilik Rahasia, rahasia telah menjadi nyata (terbuka), saya tidak lagi menginginkan kehidupan ini, setelah rahasia hidupku diketahui….!!”
            Beberapa waktu lamanya Ibnul Mubarak menunggu, tetapi ia tidak mendengar suara atau gerakan apapun, maka ia masuk ke dalam kamar dan mendapati lelaki hitam itu telah meninggal. Ia segera mengurus jenazahnya dengan penuh takdzim, hingga memakamkannya. Hanya sedikit orang saja yang membantu dan mengiringi jenazahnya karena hanya seorang budak hitam yang tampak sangat sepele. Hal itu justru menggembirakan bagi Ibnul Mubarak karena ia sendiri yang akhirnya banyak berperan dalam mengurus jenazah ‘kekasih Allah’ tersebut.
            Malam harinya, Ibnul Mubarak bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Di sisi kanan beliau ada seorang tua (syaikh) yang wajahnya tampak bersinar, dan budak hitam itu berada di sisi kiri beliau. Nabi SAW bersabda dalam mimpinya itu, “Mudah-mudahan Allah membalas engkau dengan kebaikan yang berlimpah karena apa yang telah engkau lakukan itu. Aku tidak melihat adanya bahaya dan kesulitan yang akan engkau hadapi karena engkau telah berbuat kebaikan kepada kekasihku ini!!”
            Beliau menunjuk lelaki hitam tersebut, dan Ibnul Mubarak berkata, “Ya Rasulullah, apakah dia itu kekasihmu?”
            “Benar,” Kata Nabi SAW, “Dan dia juga kekasih Khalilul Rahman, Ibrahim AS!!”
            Beliau menunjuk lelaki tua di sisi kanan beliau. Dan Ibnul Mubarak tersentak bangun dari tidurnya. Ia segera bangkit berwudhu dan shalat dua rakaat, kemudian berdoa yang lebih banyak diisinya dengan ucapan syukur kepada Allah.

Note:dn513514

Senin, 26 November 2012

Berkah Shadaqah di Hari Asyura

            Seorang pedagang kurma di Mesir bernama Athiyah bin Khalaf mengalami kesuksesan dan harta bendanya melimpah ruah. Namun dalam kekayaannya itu ia tetap tekun beribadah dan makin banyak bersedekah di jalan Allah. Karunia Allah yang diterimanya tidaklah menambah kecuali ketakwaannya, kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah SAW juga makin meningkat.
            Tetapi sepertinya Allah ingin menguji keimanan dan ketakwaan Athiyah lebih lanjut, tiba-tiba saja usahanya mengalami kemunduran, pelan tetapi pasti ia menjadi bangkrut sehingga tidak memiliki apapun kecuali rumah dan sekedar pakaian yang dipakainya itu. Untuk makan sehari-harinya ia harus berusaha pada hari itu juga, bahkan tidak jarang ia tidak memperoleh apapun untuk dimakan. Namun dalam keadaan yang seperti itu, ia tetap bersyukur kepada Allah, karena dengan tidak adanya kesibukan mengurus perniagaannya, ia mempunyai waktu lebih banyak untuk beribadah kepada Allah.
            Pada suatu hari Asyura, yakni tanggal 10 Muharam, setelah mengerjakan shalat subuh Athiyah langsung beri’tikaf di masjid Amr bin Ash, salah satu masjid bersejarah di Mesir yang dibangun oleh sahabat Nabi SAW, Amr bin Ash ketika ia menjadi gubernur di sana. Pada hari-hari biasa masjid ini tidak pernah (tidak boleh) dimasuki oleh kaum wanita (untuk saat itu), tetapi khusus pada hari Asyura mereka (kaum wanita) diijinkan i’tikaf di sana untuk bisa berdoa dan memperoleh kebaikan (pahala) pada hari mustajabah tersebut. Athiyah mengambil jarak agak jauh dengan para wanita tersebut.
            Setelah merasa cukup i’tikaf dan berdoa, ia keluar dari masjid untuk pulang. Tetapi belum jauh berjalan, ia dihampiri seorang ibu dengan beberapa anaknya yang juga baru keluar dari masjid. Sang ibu berkata, “Wahai tuan, saya meminta atas nama Allah, tolonglah untuk bisa memberi makanan pada anak-anak yatim ini. Saya ini seorang syarifah yang belum lama ditinggal wafat suami saya tanpa meninggalkan harta apapun. Sudah tujuh hari saya berada di sini tanpa mengenal siapapun, dan baru hari ini saya keluar untuk mencari makanan bagi putra-putra saya ini…!!”
            Mendengar permintaan wanita syarifah (keturunan Nabi SAW) itu, Athiyah berkata di dalam hatinya, “Aku tidak mempunyai apapun yang bisa kuberikan kepada wanita ini, kecuali pakaian yang kupakai ini. Sekiranya aku buka disini untuk kuberikan, maka akan terbuka auratku, tetapi jika aku menolak permintaannya, bagaimana aku akan mempertanggung-jawabkan sikapku ini kelak di hadapan Rasulullah SAW??”
            Sejenak tenggelam dalam kebimbangan, akhirnya Athiyah berkata, “Marilah ikut ke rumahku dan saya akan memberi sesuatu kepada kalian!!”
            Mereka berjalan beriringan, dan ketika sampai di depan rumahnya, ia meminta wanita itu menunggu sesaat di depan pintu rumahnya. Setelah masuk rumah, ia melepas semua pakaian yang dipakainya dan memberikannya kepada waniat syarifah tersebut dari balik pintu, yakni dengan membuka sedikit pintunya dan mengulurkan tangannya. Ia berkata, “Juallah pakaian ini, dan gunakan uangnya untuk membeli makanan bagi anak-anakmu!!”
            Wanita itu sangat bergembira dengan pemberiannya itu, dan serta merta berdoa, “Semoga Allah memberikan kepada tuan pakaian dan perhiasan dari surga, dan semoga setelah hari ini, tuan tidak lagi berhajat (memerlukan) kepada orang lain!!”
            Athiyah sangat gembira dengan doa wanita tersebut dan mengaminkannya. Ia mencari kain sekedarnya yang masih ada di rumahnya, walau mungkin tidak sepenuhnya bisa menutup auratnya sehingga ia tidak mungkin keluar rumah lagi. Ia hanya berdzikir dan shalat di dalam rumahnya, dan menutup pintunya untuk tidak menerima tamu dengan keadaannya seperti itu.
Pada malam harinya, ketika ia tertidur karena terlalu larut dalam dzikirnya, ia bermimpi didatangi oleh seorang wanita yang sangat cantik layaknya seorang bidadari, tidak pernah ia bertemu dengan wanita secantik itu. Wanita itu, yang ternyata memang seorang bidadari, membawa sebuah apel, yang kemudian menyerahkan kepadanya. Setelah Athiyah membuka (membelah)-nya, ternyata keluar pakaian dan perhiasan yang sangat indah dari dalamnya. Sang bidadari memakaikan pakaian dan perhiasan itu kepada Athiyah kemudian ia duduk di pangkuannya.
Antara kaget dan senang, Athiyah bertanya, “Siapakah engkau ini??”
Bidadari itu berkata, “Aku adalah Asyura’, istrimu kelak di surga!!”
Athiyah berkata lagi, “Sepertinya aku tidak mempunyai amalan yang istimewa, dengan amalan apakah aku memperoleh karunia yang sebesar ini??”
Bidadari itu berkata, “Berkat doa dari wanita janda dan anak-anak yatimnya yang engkau tolong kemarin itu!!”
Seketika itu Athiyah terbangun, ia masih di dalam rumahnya yang gelap dan pakaian (kain)-nya yang seadanya, tetapi bau harum pakaian dan bidadari dari surga itu masih menyebar di sekelilingnya. Ia sangat gembira dengan mimpi yang begitu nyata dirasakannya. Ia segera berwudhu dan shalat dua rakaat, kemudian berdoa, “Ya Allah, bila mimpiku itu memang benar dari sisi-Mu, dan Asyuraa’ itu memang istriku di surga, maka segerakanlah kematianku, ambillah ruhku sekarang juga!!”
Usai berdoa itu, tubuhnya jatuh terkulai ke atas sajadahnya, dan ruhnya terbang ke hadirat Allah SWT dengan mulut tersungging senyum.

Note:ii343

Penampilan Kebaikan yang Bisa Mencelakakan

            Seorang guru dan ulama bernama Hariri selalu menjaga akhlak dan tingkah lakunya agar menjadi teladan bagi murid-murid dan orang-orang di sekitarnya. Hal itu menjadikan dirinya terkenal dan dianggap sebagai orang yang terpercaya. Tetapi tanpa disadarinya, sikap ‘jaim’ Hariri agar menjadi teladan masyarakat itu hampir saja mencelakakan dirinya.
            Suatu ketika ada seorang pedagang yang akan bepergian jauh. Ia mempunyai budak wanita sangat cantik yang sangat disayanginya, karena khawatir akan keselamatan budaknya itu jika diajak serta dalam perjalanannya, ia menitipkan pada ‘pondoknya’ Hariri. Ia beranggapan, dibawah pengawasan dan penjagaan Hariri yang begitu baik akhlaknya, budak kesayangannya itu akan selamat hingga ia kembali lagi.
            Tetapi namanya bersama-sama dengan wanita yang begitu rupawannya, sedikit demi sedikit muncul perasaan cinta pada diri Hariri. Dalam pepatah Jawa dikatakan : Rasa cinta itu muncul karena sering bertemu dan bersama (Trisno jalaran saka kulino), hal inilah yang terjadi pada diri Hariri. Terjadi pertentangan dalam jiwanya, antara menuruti gairah cinta yang muncul, atau menjaga akhlak dan sikap amanat yang telah dipupuknya selama ini.
            Ketika pertentangan jiwanya makin memuncak, Hariri mendatangi gurunya di bidang sufi, syaikh al Haddad. Setelah menceritakan semua yang dialaminya, Al Haddad hanya berkata, “Pergilah kamu menghadap Yusuf bin Husein!!”
            Berbeda dengan dirinya yang mempunyai nama harum dan terjaga, nama Yusuf bin Husein mempunyai ‘cacat’ di masyarakat. Tetapi karena gurunya yang memerintahkan, Hariri tetap berangkat ke tempat tinggalnya. Orang-orang yang bertemu dengannya selalu mengucap salam penuh hormat dan menanyakan kepergiannya. Begitu dijawab kalau ia mencari Yusuf bin Husein, mereka selalu berkata, “Wahai orang yang saleh, janganlah engkau mendekati Ibnu Husein, karena ia orang yang sangat nista. Ia orang yang suka membuat bid’ah dan minum anggur (khamr)…!!”
            Walau mengucapkan terima kasih atas nasehat mereka itu, Hariri tetap menuju rumahnya. Tetapi ketika ia telah berdiri di pintu rumahnya, dan melihat Yusuf bin Husein tengah duduk dengan seorang pemuda menghadapi sebotol anggur di meja, ia berkata keras, “Apakah artinya tingkah lakumu ini??”
            Hariri lupa bahwa maksud kedatangannya adalah atas perintah gurunya, Al Haddad karena permasalahan yang tengah dihadapinya. Perasaannya sebagai teladan dan tokoh masyarakat langsung mengemuka ketika melihat ‘kemaksiatan’ di depan matanya. Tetapi Yusuf bin Husein tetap tenang dan hanya memandangnya sesaat, kemudian berkata, “Sengaja aku memilih sikap yang seperti ini, sehingga orang-orang tidak akan pernah mengamanatkan budak-budaknya yang cantik rupawan kepadaku!!”
            Hariri tersentak kaget, ia belum menceritakan apapun, dan tidak mungkin gurunya Al Haddad telah menceritakan keadaan jiwanya kepada Ibnu Husein karena ia langsung berangkat setelah dari rumah gurunya itu. Sadarlah ia kalau Yusuf bin Husein ini bukan orang sembarangan, hanya saja ia ‘menyembunyikan’ hakikat dirinya dari masyarakat umum. Segera saja Hariri meminta maaf, dan meminta nasehat lebih lanjut tentang permasalahannya.
            Setelah pertemuannya dengan Ibnu Husein tersebut, Hariri tidak lagi menyibukkan diri menjaga nama dan image dirinya. Tetapi ia lebih memfokuskan diri untuk melatih dan menjaga hawa nafsunya agar tidak terjebak dalam perangkap dan tipuan syaitan terkutuk, khususnya atas nama ketinggian akhlak dan kebaikan amal-amal ibadahnya.

Note:HdT125

Selasa, 20 November 2012

Karunia Allah di Akhirat

Ada seorang lelaki ahli ibadah (abid) telah menghabiskan waktunya selama empatpuluh tahun hanya beribadah kepada Allah tanpa sedikitpun melakukan kemaksiatan. Bahkan ia tidak pernah berfikir meminta sesuatu kepada Allah dengan ibadahnya itu, karena ia melaksanakannya benar-benar ikhlas karena Allah. Tetapi di suatu malam, tiba-tiba saja muncul suatu keinginan untuk meminta, dan ia langsung berkata dalam munajatnya, “Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku bidadari yang telah Engkau sediakan (janjikan) untukku di akhirat kelak!!”
Tiba-tiba dinding mihrabnya (tempat ibadahnya) terbelah dan muncul seorang wanita yang sangat cantik memikat, begitu cantiknya sehingga akan menjadi fitnah jika wanita ini (yang sebenarnya adalah bidadari) muncul di tengah-tengah masyarakat manusia di dunia ini. Tiba-tiba wanita itu berkata, “Wahai hamba Allah, engkau mengeluh kepada Tuhanmu sedangkan Dia telah mengetahui keluhanmu (tanpa engkau mengucapkannya). Dan Tuhanmu telah memenuhi harapanmu dan menghalaukan ujian-ujian untukmu. Dan Allah mengutusku menemuimu untuk menjinakkan hatimu. Tahukah engkau, bahwa setiap harinya sepanjang malam engkau beribadah, aku berbisik kepadamu. Jika saja engkau bisa mendengar bisikanku, pastilah malam-malammu menjadi lebih mengasyikkan!!”
Lelaki ahli ibadah itu berkata, “Wahai wanita, siapakah engkau ini??”
Wanita itu berkata, “Aku adalah bidadari yang disediakan Allah untukmu di akhirat kelak!!”
Lelaki itu berkata lagi, “Berapa banyak istriku yang seperti engkau ini??”
“Seratus orang, dan setiap orangnya mempunyai seratus pelayan….!!”
Tampak sekali lelaki ahli ibadah itu terkagum-kagum, kemudian berkata, “Apakah ada orang yang diberi lebih banyak daripada aku ini??”
Bidadari itu tersenyum dan berkata, “Wahai orang yang miskin, tentu saja ada dan banyak sekali!! Pemberian yang diberikan kepadamu ini adalah pemberian bagi seseorang yang banyak berbuat dosa, kemudian membaca istighfar, dan Allah memberikan ampunan kepadanya. Dan ia terus menerus membaca istighfar setiap terbenamnya matahari sehingga Allah tak henti-hentinya melimpahkan ampunan kepadanya!!”
Tiba-tiba bidadari itu lenyap dari pandangannya dan dinding mihrabnya kembali seperti sediakala. Lelaki itu makin meningkatkan ibadahnya kepada Allah dan tidak henti-hentinya membaca istighfar. Karena ternyata keinginannya yang sekali itu telah dianggap sebagai keluhan, dan menjadikan dirinya ‘sejajar’ dengan orang-orang yang banyak berdosa dan diterima taubatnya oleh Allah, walau selama ini ia tidak banyak berbuat maksiat.

Note : ii423

Kasih Sayang Allah kepada Hamba-Nya

Nabi Ibrahim AS adalah salah satu dari Nabi Ulul Azmi yang juga digelari dengan Kholilullah, kekasih Allah. Suatu ketika Allah membukakan ‘hijab’ bagi beliau dan menunjukkan kepadanya berbagai kerajaan langit dan bumi. Beliau sangat kagum melihat pemandangan, dimana semua mahluk Allah dari berbagai lapisan langit sibuk berdzikir (bertasbih) dan beribadah kepada Allah dengan caranya masing-masing, begitu juga dengan mahluk-mahluk di bumi.
Setelah beberapa waktu lamanya ‘menikmati’ pemandangan yang begitu menyejukkan hati, dan mendengarkan ‘simphoni’ dzikir dari berbagai mahluk yang begitu harmonisnya, tiba-tiba pandangan Nabi Ibrahim jatuh pada seorang manusia yang tengah melakukan kemaksiatan kepada Allah. Hati beliau begitu terusik, dan beliau mengetahui bahwa untuk kemaksiatan yang dilakukannya itu, secara syariat patut diberikan hukuman atau qishash berupa kematian. Karena itu beliau berdoa, “Ya Allah, binasakanlah orang (yang berbuat maksiat) itu!!”
Sebagai Kholilullah yang doanya makbul, Allah mengabulkan doa Nabi Ibrahim tersebut, dan seketika orang yang berbuat maksiat itu mati.
Nabi Ibrahim masih ‘meneruskan’ penjelajahannya ke penjuru bumi lainnya, dan lagi-lagi beliau melihat seseorang yang berbuat maksiat. Seperti sebelumnya, beliau mendoakan kebinasaan dan Allah mengabulkan doa beliau tersebut.
Hal itu berulang hingga empat kali, dan akhirnya Allah berfirman, “Hai Ibrahim, berhentilah (mendoakan kebinasaan bagi pelaku maksiat)!! Jika Aku selalu membinasakan (mematikan) seorang pelaku maksiat yang engkau lihat, niscaya tidak ada seorangpun yang akan tersisa. Sesungguhnya karena (sifat) Khalim-Ku maka tidaklah Aku menyegerakan siksa bagi mereka. Salah satu dari dua kemungkinan, mereka akan bertobat atau mereka akan terus-menerus melakukan kemaksiatan itu hingga menghadap-Ku (yakni mati). Dan setelah mereka berada di hadapan-Ku, terserah Aku, apakah Aku akan mengampuni atau mengazab mereka!!”
Al Khalim adalah salah satu dari Asmaul Husna yang jumlahnya 99 itu, yang dapat diartikan sebagai : Yang Maha Tetap dapat Menahan Amarah. Atau juga berarti : Yang Dapat Mengundurkan/Menunda Siksa atas hamba-Nya yang sepantasnya mendapat siksa karena maksiat-maksiat yang dilakukannya. Secara ringkas biasanya diartikan sebagai Yang Maha Penyantun atau Yang Maha Belas Kasih.
Junjungan kita, Rasulullah SAW juga pernah mengalami hal yang kurang lebih sama, walaupun kondisinya berbeda. Ketika masih melaksanakan dakwah Islamiah di Makkah, beliau dan kaum muslimin lainnya pernah mengalami siksaan dan penghinaan yang tidak terkirakan dari tokoh-tokoh kaum kafir Quraisy sehingga beliau menadahkan tangan, memohon kepada Allah agar melaknat dan menimpakan azab, setidaknya kepada tiga orang tokoh Quraisy, yakni Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr dan Shafwan bin Umayyah, atau Amr bin Ash dalam riwayat lainnya.
Bukannya mendapat pengabulan, tetapi justru turun wahyu Allah yang menegur Rasulullah SAW karena doa beliau tersebut, yakni QS Ali Imran ayat 128 : Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu, atau Allah menerima tobat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim.
Ternyata kemudian, tokoh-tokoh yang didoakan laknat oleh Nabi SAW itu memeluk Islam, ada yang setelah dikukuhkannya Perjanjian Hudaibiyah, ada juga setelah Fathul Makkah, begitu juga dengan tokoh-tokoh Quraisy lainnya. Dan setelah keislamannya itu, mereka benar-benar membaktikan hidupnya untuk dakwah dan jihad di jalan Allah, dan tidak sedikit dari mereka yang memperoleh rezeqi kesyahidan.
Peristiwa yang kurang lebih sama juga terjadi pada Nabi SAW saat Perang Uhud dan Peristiwa Bi’r Ma’unah.
Karena itu, ada sebagian ulama yang memfatwakan larangan, atau bahkan mengharamkan kita untuk melaknat atau mengkafirkan seseorang yang berbuat dhalim kepada kita, sekalipun orang itu benar-benar kafir atau musyrik (tidak memeluk Islam), kecuali jika orang tersebut telah mati dalam kemusyrikannya, seperti halnya Abu Jahal, Abu Lahab dan lain-lainnya. Bisa jadi Allah akan memberikan hidayah-Nya dan mereka akan memeluk Islam sebelum maut menjemputnya. Wallahu A’lam.

Note : ahq151

Sabtu, 03 November 2012

Karena Doa Kedua Orang Tua

            Suatu ketika Nabi Sulaiman bin Daud AS memperoleh wahyu Allah, yang memerintahkan agar segera pergi ke suatu pantai karena Allah akan menunjukkan sesuatu yang ajaib. Maka beliau segera berangkat ke pantai dimaksud dengan seluruh bala tentaranya, baik dari kalangan jin atau manusia, dan juga sebagian bala tentara lainnya dari kalangan binatang.
Tetapi sesampainya di sana beliau tidak menemukan sesuatu yang aneh atau ajaib, hanya hamparan pantai yang memanjang dan laut yang terbentang luas seolah tanpa batas. Nabi Sulaiman AS segera memerintahkan salah satu jin untuk menyelam di lautan dan membawa keluar sesuatu yang tampak ajaib, jika menemukannya. Jin tersebut segera menyelam sedalam yang ia mampu sambil memperhatikan sekelilingnya. Setelah beberapa waktu lamanya, ia muncul di permukaan dan berkata, “Wahai Nabi Sulaiman, aku telah menyelam sejauh yang aku mampu, sampai sekian ribu meter dalamnya, tetapi aku tidak melihat sesuatu yang ajaib dan istimewa yang bisa aku tunjukkan kepadamu!!”
Nabi Sulaiman tidak puas dengan laporan jin tersebut, Allah SWT telah memfirmankan dan itu pasti adanya, hanya jin itu saja yang mungkin tidak mampu menemukannya. Karena itu beliau memerintahkan jin Ifrit, yang mempunyai kemampuan jauh lebih hebat dari kebanyakan bangsa jin, untuk melakukan tugas tersebut.
Jin Ifrit segera menerjunkan diri ke samudra, menjelajah ke segala arah dan sedalam yang ia mampu, dengan kecepatan yang jauh lebih mengagumkan. Tetapi setelah beberapa waktu lamanya, ia muncul di permukaan tanpa membawa apa-apa dan berkata, “Wahai Nabi Sulaiman, aku telah menyelam sejauh yang aku mampu, sampai sekian ribu meter dalamnya (dua kali dalamnya dari yang diselami jin sebelumnya), tetapi aku tidak melihat sesuatu yang ajaib dan istimewa yang bisa aku tunjukkan kepadamu!!”
Lagi-lagi Nabi Sulaiman tidak puas dengan hasil yang dilaporkan Jin Ifrit itu. Karena itu beliau berpaling kepada salah seorang punggawanya, Ashif bin Barkhiya, seseorang yang sangat ahli dan menguasai Kitab Taurat, bahkan Allah menganugerahinya ilmu secara langsung dari sisi-Nya (Ilmu Ladunni). Nabi Sulaiman berkata, “Wahai Ashif, bawakanlah (tunjukkanlah) kepadaku, keajaiban apa yang disembunyikan Allah di dalam lautan ini.”
Tidak seperti dua bangsa jin yang segera menceburkan diri ke samudra dan menyelam, Ashif hanya diam sesaat, kemudian menadahkan tangannya ke atas dan berdoa kepada Allah. Tidak lama kemudian air laut tersibak dan muncul sebuah kubah besar berwarna putih dengan pintu di empat penjurunya. Pintu pertama terbuat dari intan permata, pintu kedua dari yaqut, pintu ketiga dari mutiara dan pintu keempat dari zabarjud yang berwarna hijau. Ashif berkata, “Wahai Nabiyallah, inilah keajaiban yang ingin ditunjukkan Allah kepada engkau, ia berada di dasar lautan dengan kedalaman tiga kali yang diselami jin pertama!!”
Nabi Sulaiman memandang dengan penuh kekaguman kepada kubah putih yang perlahan menepi dengan sendirinya. Kemudian pintu-pintu itu terbuka dan tidak ada setetes airpun yang membasahi bagian dalam kubah tersebut. Beliau masuk dan menemukan seorang pemuda sedang beribadah di dalamnya. Beliau mengucap salam dan berkata, “Wahai pemuda, mengapa engkau tinggal di dasar lautan di dalam kubah ini??”
Setelah menjawab salam beliau, pemuda itu menceritakan bahwa dahulunya ia merawat dan melayani kedua orang tuanya yang cacat, ibunya dalam keadaan buta sedang ayahnya lumpuh, selama hampir tujuhpuluh tahun. Ketika sang ibu akan meninggal, ia berdoa, “Ya Allah, lanjutkan (panjangkan) umur anakku dalam ketaatan kepada-Mu!!”
Kemudian ketika sang ayah akan meninggal, ia berdoa, “Ya Allah, jadikanlah anakku tetap dalam ketaatan kepada-Mu di tempat yang tidak dapat diketahui oleh para syaitan!!”
Setelah kewafatan kedua orang tuanya, pemuda itu berjalan-jalan ke tepi pantai dan melihat kubah tersebut yang dalam keadaan terbuka. Ia masuk karena ingin mengetahui keadaan di dalamnya, tetapi tiba-tiba kubah tersebut tertutup dan dibawa malaikat ke dasar lautan yang terdalam. Maka ia menghabiskan waktu hanya dengan beribadah kepada Allah di dalam kubah tersebut.
Nabi Sulaiman berkata, “Pada masa siapakah engkau hidup saat itu?”
Pemuda itu berkata, “Masa Nabi Ibrahim AS…”
Berarti pemuda itu telah tinggal di kubah itu selama sekitar 1.400 tahun, tetapi sama sekali tidak tampak ketuaan di wajah pemuda tersebut, bahkan satu ubanpun tidak tampak di rambutnya.
Nabi Sulaiman berkata lagi, “Bagaimana dengan makan minummu??”
Pemuda itu berkata, “Setiap harinya kubah ini naik ke permukaan, dan seekor burung membawakan makanan dan minuman sebesar kepala orang dewasa. Saya bisa merasakan semua jenis makanan di dunia ini, yang membuat saya selalu puas dan kenyang, hilang semua rasa haus dan lapar, panas dan dingin, jemu dan malas, bahkan tidak ada rasa kantuk dan ingin tidur sehingga saya bisa menghabiskan waktu untuk beribadah kepada Allah…!!”
Nabi Sulaiman memandang pemuda itu penuh kekaguman. Walaupun segala mu’jizat dan kelebihan yang diberikan Allah kepadanya sangat mengagumkan, tetapi bagi Nabi Sulaiman, apa yang dialami pemuda itu jauh lebih mengagumkan lagi. Apalagi pemuda itu bukan seorang nabi dan rasul, tetapi seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, yang memperoleh kemuliaan (karamah) itu karena doa kedua orang tuanya.
Nabi Sulaiman berkata, “Maukah engkau tinggal bersama kami??”
Pemuda itu berkata, “Kembalikanlah saya ke tempat semula, dan biarkanlah saya terus beribadah kepada Allah sampai waktu yang dikehendaki Allah!!”
            Nabi Sulaiman keluar dari kubah tersebut dan memerintahkan Ashif untuk mengembalikan kubah itu ke tempatnya semula. Ashif menadahkan tangan dan berdoa, maka perlahan kubah itu masuk ke dalam air, dan pemandangan kembali seperti semula, hanya hamparan air dan pasir yang seolah tidak terbatas.

Note:ii640

Tiga Pelajaran Berharga

            Seorang pemburu memasuki hutan untuk mencari binatang yang bisa dipakai untuk makan keluarganya hari itu. Tetapi tidak seperti biasanya, ia tidak menemukan binatang yang cukup besar, yang bisa mengobati rasa lapar keluarganya. Dalam kebingungannya itu, ia melihat seekor burung dan berhasil menangkapnya. Lumayan untuk pengganjal perut sambil mencari buruan yang lebih besar, begitu mungkin pemikirannya.
            Tetapi tanpa disangkanya, tiba-tiba burung itu berbicara layaknya manusia, “Apa yang engkau inginkan dengan menangkapku ini??”
           Pemburu itu berkata, “Aku akan menyembelih dan memakanmu!!”
            Burung itu berkata, ”Itu tidak akan menyelesaikan masalah, aku tidak akan bisa mengobati rasa laparmu!! Tetapi aku akan memberikan tiga pelajaran berharga kepadamu, pertama saat aku ada di tanganmu (masih di tangkap), kedua saat aku berada di atas pohon, dan ketiga saat aku telah ada di atas bukit.”
            Sang pemburu yang memang cukup penasaran dengan adanya burung yang bisa berbicara itu, langsung saja berkata, “Jelaskanlah pelajaran yang pertama!!”
            Sang burung berkata, “Janganlah engkau merasa sedih dan menyesal dengan sesuatu yang telah lepas darimu….!!”
            Sejenak sang pemburu merenungi ucapannya itu, kemudian berkata, “Apakah pelajaran yang kedua??”
            Sang burung berkata, “Lepaskan dulu aku!!”
            Si pemburu segera melepaskannya, dan burung itu hinggap di atas dahan, lalu berkata, “Wahai manusia, janganlah engkau meyakini bahwa sesuatu itu ada, padahal hakekatnya tidak ada!!”
            Kemudian burung itu terbang lebih jauh dan hinggap di bukit. Tanpa diminta burung itu berkata lagi, “Wahai manusia, andaikata engkau jadi menyembelih diriku, engkau akan menemukan dua intan di paruhku, yang masing-masing beratnya 77,88 gram…!!”
            Pemburu itu terkejut mendengar perkataan sang burung, ia sangat sedih dan menyesal, tetapi tidak mungkin ia menangkapnya lagi karena burung itu telah cukup jauh di atas bukit. Tetapi, seperti teringat sesuatu, ia berkata, “Wahai burung, apakah pelajaran ketiga yang engkau janjikan??”
            Burung itu tertawa dan berkata, “Wahai manusia, baru saja engkau memperoleh dua pengajaran, dan dalam sesaat ini engkau telah melanggar (melupakan)nya. Mengapa pula engkau bersedih telah melepaskanku? Dan bagaimana mungkin engkau begitu saja mempercayai ada dua butir intan di paruhku? Berat tubuhku tidak sampai 77,88 gram, bagaimana bisa ada dua intan masing-masing beratnya 77,88 gram?”
            Sang pemburu tampak termangu-mangu mendengarnya, kemudian sang burung berkata lagi, “Itulah gambaran kehidupan dunia, suka atau tidak, sengaja atau tidak, pada akhirnya engkau harus melepaskannya juga. Begitu juga dengan segala janji keindahan dan kenikmatannya, pada hakekatnya hanya tipuan semata. Karena itu, berupayalah dengan sungguh-sungguh untuk meraih sesuatu yang engkau tidak akan pernah terlepas darinya, dan sesuatu yang kenikmatannya akan selalu engkau rasakan tanpa akhir!!”

Minggu, 14 Oktober 2012

Ketika Malaikat Membantu Manusia

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib baru saja pulang dan berkata kepada istrinya, Fathimah az Zahra, “Wahai wanita yang mulia, apakah kamu mempunyai makanan untuk suamimu ini??”
            Fathimah berkata, “Demi Allah aku tidak mempunyai sesuatu (makanan apapun), tetapi ini ada enam dirham (uang perak), hasil kerjaku dan Salman (al Farisi) memintal bulu-bulu domba milik orang Yahudi. Rencananya akan kubelikan makanan untuk Hasan dan Husain!!”
            Begitulah memang keadaan Fathimah az Zahra, putri kesayangan Rasulullah SAW itu dan keluarganya. Sebenarnya kalau saja mereka mau, mudah saja bagi mereka untuk mengumpulkan harta dan hidup bergelimang kemewahan dunia. Tetapi seperti halnya Rasulullah SAW, mereka memilih untuk zuhud dalam kehidupan dunia ini. Tidak jarang Fathimah dan Ali bekerja menimba air untuk menyiram kebun kurma milik orang-orang Yahudi, memintal bulu-bulu domba, memilah-milah kurma dan lain-lainnya. Inilah gambaran kehidupan seorang wanita, yang Nabi SAW pernah bersabda, “Penghulu kaum wanita di surga adalah Fathimah az Zahra!!”
            Mendengar jawaban istrinya itu, Ali berkata, “Biar aku saja yang membeli makanan itu!!”
            Maka Fathimah menyerahkan uang enam dirham itu kepada suaminya, yang segera saja pergi meninggalkan rumah. Tetapi dalam perjalanan untuk membeli makanan itu, Ali bertemu seorang lelaki yang berkata, “Siapakah orang yang mau meminjami Tuhan Yang Maha Pengasih, Dzat yang selalu menepati janji??”
            Tanpa berfikir panjang, Ali menyerahkan uang enam dirham hasil kerja istrinya itu kepada lelaki itu. Ia bukannya tidak ingat kalau keluarganya sedang kelaparan, terutama kedua anaknya yang masih kecil, tetapi demikianlah memang didikan dan contoh yang diberikan Rasulullah SAW. Bagi umumnya orang mungkin tidak mengapa jika ‘mengurangi kadar’ atau kualitas dari yang dicontohkan Nabi SAW, sebatas kemampuan masing-masing, tetapi tidak bagi Ali. Sejak balita ia diasuh Nabi SAW, bahkan kemudian dinikahkan dengan putri kesayangan beliau, kalau ia ‘bergeser’ terlalu jauh dari didikan Nabi SAW, tentulah telah menjadi kesalahan besar baginya.
            Setelah itu Ali segera kembali ke rumah, dan Fathimah menyambutnya dengan menangis ketika melihatnya tidak membawa apa-apa. Ali berkata, “Wahai wanita mulia, mengapa engkau menangis??”
            Fathimah berkata, “Wahai Ali, engkau pulang tanpa membawa sesuatu??”
            Ali berkata, “Wahai wanita mulia, aku meminjamkan uang itu kepada Allah!!”
            Tanpa penjelasan lebih banyak, maklumlah Fathimah apa yang terjadi, maka ia berkata, “Sungguh, aku mendukung sikapmu itu!!”
            Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, Ali segera keluar rumah dengan maksud menemui Nabi SAW. Tetapi di tengah perjalanan ia bertemu seorang badui yang sedang menuntun seekor unta. Si Badui yang tidak dikenalnya itu berkata, “Wahai Abul Hasan, belilah unta ini!!”
            Ali berkata, “Aku tidak mempunyai uang!!”
            Si Badui itu berkata lagi, “Belilah dengan tempo (pembayaran di belakang)!!”
            Ali berkata, ‘Berapa??”
            “Seratus dirham!!” Kata si Badui itu.
            “Baiklah,“ Kata Ali, “Kubeli seharga seratus dirham dengan tempo!!”
            Si Badui menyerahkan unta tersebut kepadanya dan berlalu pergi. Ali tidak tahu apa yang harus dilakukannya dengan unta itu, tetapi ia menuntunnya begitu saja. Tetapi belum jauh berjalan tiba-tiba muncul seorang badui lain menghampirinya, dan berkata, “Wahai Abul Hasan, apakah engkau ingin menjual unta ini?”
            Tanpa berfikir panjang, Ali berkata, “Ya!!”
            “Berapa??”
            “Tigaratus dirham!!” Kata Ali.
            “Baiklah, kubeli seharga tigaratus dirham!!”
            Kemudian si Badui yang juga tidak dikenalinya itu membayar kontan tigaratus dirham, dan membawa pergi unta tersebut. Ali sangat gembira, segera ia membeli beberapa bahan makanan untuk keluarganya kemudian pulang. Kali ini Fathimah menyambutnya dengan tersenyun, dan berkata, “Wahai Abul Hasan, apa yang terjadi kali ini??”
            Dengan gembira Ali berkata, “Wahai putri Rasulullah, kubeli unta seharga seratus dirham dengan tempo, dan kujual lagi dengan kontan seharga tigaratus dirham!!”
            Fathimah berkata, “Aku mendukung sikapmu itu!!”
            Beberapa lama kemudian, Ali pergi menemui Nabi SAW sesuai dengan niat sebelumnya. Begitu ia masuk masjid, Nabi SAW tersenyum kepadanya dan bersabda, “Wahai Abul Hasan, engkau yang bercerita, atau aku saja yang bercerita??”
            Tanpa tahu maksudnya, Ali berkata, “Wahai Rasulullah, engkau saja yang bercerita!!”
            Nabi SAW bersabda, “Berbahagialah engkau, Abul Hasan, engkau telah meminjamkan enam dirham kepada Allah, maka Allah memberimu tigaratus dirham. Setiap dirhamnya dibalas dengan limapuluh kali lipatnya. Orang Badui yang pertama menjumpaimu adalah Malaikat Jibril, sedang yang kedua adalah Malaikat Mikail!!”
            Malaikat-malaikat yang membantu manusia, tentunya atas seijin dan perintah Allah SWT, mungkin tidak hanya terjadi pada Rasulullah SAW dan para sahabat beliau seperti kisah di atas, atau juga pada Perang Badar, Hunain dan beberapa peristiwa lainnya. Bisa saja itu terjadi di antara kehidupan kita sehari-hari, bisa dalam bentuk seseorang yang tidak dikenali, yang memberikan bantuan seperti peristiwa yang dialami oleh Ali bin Abi Thalib. Atau mungkin seseorang yang dikenali memberikan bantuan, tetapi sebenarnya ybs. tidak melakukannya. Hanya saja Allah memerintahkan malaikat untuk menyerupakan diri dengan orang tersebut untuk memuliakannya, seperti yang terjadi pada seorang tabi’in bernama Abdullah bin Mubarak. Wallahu A’lam.         

Note:mu51

Berperan Membagikan Rezeki Allah

            Syaqiq bin Ibrahim, nama kunyahnya Abu Ali, adalah seorang guru dan ulama sufi yang tinggal di kota Balkh, termasuk wilayah Khurasan, sehingga lebih dikenal dengan nama Syaqiq al- Balkhi. Ia berasal dari keluarga saudagar yang kaya raya, dan akhirnya mewarisi pekerjaan menjadi pedagang yang sukses juga. Ia wafat pada tahun 194 Hijriah atau 810 Masehi. Hidupnya selalu bergelimang kekayaan dan kemewahan dunia, hingga ia mengalami suatu peristiwa yang mengubah jalan hidupnya menjadi seorang sufi yang zuhud.
            Suatu ketika ia sedang membawa kafilahnya ke Turki, dengan membawa bermacam-macam barang dagangan. Di sana ia melihat sebuah tempat penyembahan berhala, dengan para pelayan atau pekerjanya yang berkepala gundul dan mencukur halus jenggotnya, serta berpakaian serba hijau. Mungkin kalau di Asia (Indonesia, India, Cina, Thailand dan lain-lainnya) seperti para biksu atau pendeta Budha yang berpakaian kuning. Syaqiq tertarik untuk memasuki tempat tersebut sekaligus berdakwah kepada mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala dan memeluk agama Islam..
            Setelah masuk dan bertemu salah seorang pelayan rumah ibadah itu, Syaqiq berkata, “Wahai pelayan, sesungguhnya kamu mempunyai Tuhan Yang Maha Menciptakan, Maha Hidup, Maha Mengetahui  dan Maha Kuasa, maka sembahlah Dia, janganlah engkau menyembah berhala-berhala ini, yang tidak bisa mencelakakan ataupun menguntungkan!!”
            Pelayan itu menatap tajam Syaqiq yang berpakaian bagus, yang menunjukkan kalau ia seorang pedagang yang kaya, kemudian berkata, “Jika yang engkau ucapkan itu memang benar, bahwa Tuhanmu itu Maha Kuasa, tentulah Ia bisa memberikan rezeki kamu di negerimu sendiri, mengapa pula kamu susah-susah datang kemari untuk berdagang??”
            Apa yang disampaikan oleh pelayan itu mungkin hanya berupa argumentasi sederhana untuk membela diri, karena Syaqiq telah ‘menonjok’ aqidah dan keyakinannya, satu hal yang sifatnya pribadi, yang seharusnya disampaikan dengan cara lebih bijaksana. Tetapi justru karena perkataannya yang sederhana itu, seolah-olah Syaqiq diingatkan kalau selama ini ia terlalu sibuk dengan urusan dunianya. Berkelana dengan kafilah dagangnya dari satu negeri ke negeri lainnya hanya untuk menumpuk kekayaan, sementara untuk urusan bekal akhirat, ia melakukan hanya sekedarnya saja. Segera saja ia mengemasi perniagaannya dan kembali ke Khurasan, kemudian menjalani kehidupannya dengan lebih zuhud terhadap dunia.
            Tidak hanya satu itu saja, tetapi ada beberapa peristiwa lagi yang membuat tekad Syaqiq semakin kuat untuk meninggalkan perniagaan dan segala kesibukan dunianya. Misalnya, suatu ketika di masa paceklik dan perekonomian yang sangat sulit, Syaqiq melihat seorang budak yang bermain dan bersenang-senang saja, sementara orang-orang mengerumuni dirinya. Dengan heran Syaqiq berkata kepada budak tersebut, “Apa yang engkau lakukan ini? Tidakkah engkau melihat orang-orang mengalami kesulitan di masa paceklik ini?? Sebaiknya engkau mengerjakan sesuatu yang bisa menghasilkan bagi tuanmu!!”
            Tetapi dengan santainya budak itu berkata, “Saya tidak perlu bersusah payah walau masa paceklik seperti ini. Tuanku seorang yang sangat kaya, ia mempunyai banyak sekali ladang di desa, yang kami semua bebas mengambil hasilnya, apapun yang kami butuhkan!!”
            Lagi-lagi hanya jawaban dengan logika sederhana, tetapi mampu merasuk ke lubuk hatinya yang terdalam, ia menggumam, “Kalau tuannya budak ini hanya seorang kaya di satu atau beberapa desa, yang sebenarnya ia miskin, dan budak ini tidak ambil pusing dengan rezekinya. Maka, bagaimana mungkin seorang muslim akan dipusingkan dengan rezekinya, sedang ‘tuan’-nya adalah Allah Yang Maha Kaya??”
Suatu ketika ia beribadah haji ke Makkah dan di sana ia bertemu dengan Ibrahim bin Adham, yang sebelumnya adalah putra raja di Balkh, daerah tempat tinggalnya. Dalam pertemuan itu, Ibrahim berkata kepada Syaqiq, “Apakah yang menyebabkan kamu memutuskan untuk menempuh jalan ini??”
Yakni, memilih jalan hidup seorang sufi yang zuhud. Sebagai seorang putra raja, sedikit banyak Ibrahim mengenal latar belakang keluarga Syaqiq, sehingga perubahan sikap hidupnya itu, seperti juga yang dialaminya sendiri, adalah sesuatu hal yang luar biasa.
Dari banyak peristiwa yang dialaminya sehingga memantapkan dirinya menempuh jalan hidup seorang sufi, Syaqiq menceritakan salah satunya. Ia berkata, “Aku pernah melewati suatu padang yang sangat luas, dan kulihat seekor burung yang patah kedua sayapnya, tetapi ia masih hidup. Maka aku berkata pada diriku sendiri : Perhatikanlah, dari jalan manakah Allah akan memberikan rezeki pada burung ini….??”
Setelah itu Syaqiq duduk agak jauh sambil memperhatikan burung tersebut. Cukup lama ia bersabar, sampai akhirnya muncul seekor burung lainnya dengan belalang di paruhnya. Belalang itu ditaruh di paruh atau mulut burung yang patah sayapnya itu, yang segera memakannya. Ia berkata dalam hatinya, “Sesungguhnya Allah telah mendatangkan burung ini dengan membawa makanan bagi burung yang patah sayapnya, yang tidak mampu berusaha sendiri untuk memperoleh bagian rezekinya. Karena itu, tentulah Allah sangat mampu (berkuasa) untuk mendatangkan rezeki padaku di manapun aku berada!!”
Mengakhiri ceritanya itu, Syaqiq berkata kepada Ibrahim bin Adham, “Setelah peristiwa itu saya meninggalkan semua aktivitas dunia perniagaan, mengisi waktu hanya dengan beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu…!!”
Mendengar penjelasannya itu, Ibrahim berkata, “Mengapa engkau tidak memilih menjadi burung yang sehat itu, yang menyampaikan rezeki Allah (memberi makan) kepada burung yang sakit?? Tidakkah engkau pernah mendengar sabda Rasulullah SAW : Tangan yang di atas lebih utama daripada tangan yang di bawah? Juga sabda beliau : Dan di antara tanda-tanda seorang mukmin itu ialah mencari yang lebih tinggi tingkatannya (sesuai kemampuannya) dari dua derajad dalam segala urusannya, sehingga ia mencapai derajad orang-orang yang berbuat kebaikan (mukhsinin)….!!”
Syaqiq tersentak kaget dengan perkataan Ibrahim bin Adham tersebut. Disangkanya, kehidupan ‘tajrid’, yakni hanya berpasrah kepada rezeki yang dibagikan Allah tanpa banyak berusaha, kemudian menghabiskan waktu semata-mata untuk beribadah adalah derajad tertinggi, bagi orang-orang yang memutuskan untuk menempuh jalan sufi, jalan hidup yang zuhud terhadap dunia. Tetapi dengan perkataan Ibrahim itu ia tersadarkan, bahwa tidak mesti seperti itu. Masing-masing orang mungkin memiliki amalan berbeda dalam memperoleh derajad tinggi di sisi Allah, sesuai dengan kondisi yang diadakan Allah untuk dirinya.
Syaqiq segera memegang tangan Ibrahim bin Adham dan berkata, “Wahai Abu Ishaq, engkau adalah guru kami, bimbinglah kami di jalan ini!!”
Setelah itu Syaqiq terjun kembali di dunia perniagaan, walaupun hanya sekedarnya saja. Sekedar untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara sederhana, dan membantu orang-orang di sekitarnya yang membutuhkan pertolongan secara finansial. Porsi waktunya masih tetap lebih banyak dihabiskan untuk beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu. Inilah derajad dan amalan yang dicontohkan oleh beberapa sahabat Nabi SAW, seperti Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Qais bin Sa’ad dan banyak lagi sahabat lainnya.  

Note:rq586dkmh229

Senin, 24 September 2012

Kesabaran di Jalan Allah

            Di masa nabi-nabi terdahulu, sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, ada seorang rahib yang menghabiskan waktunya hanya untuk beribadah kepada Allah di biaranya. Begitu gencarnya beribadah sehingga ia mencapai derajad keimanan yang tinggi, beberapa malaikat diijinkan Allah untuk mengunjunginya pagi dan sore hari, untuk menanyakan keperluannya. Tetapi tidak ada yang dimintanya, kecuali sekedar makanan dan minuman untuk bisa membuatnya tetap kuat beribadah. Maka Allah menumbuhkan pohon anggur di biaranya, yang buahnya bisa dipetiknya setiap kali ia membutuhkan. Jika merasa haus, ia cukup menadahkan tangan ke udara, maka akan mengucur air dari udara untuk minumannya.
            Tetapi tidak ada keimanan yang sebenarnya, kecuali harus mengalami pengujian. Allah telah berfirman dalam Al Qur’an Surat Al Ankabut ayat 2 dan 3, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami (Allah) telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
            Begitu juga yang terjadi pada sang rahib. Pada suatu malam datang seorang wanita sangat cantik, berseru di depan biaranya, “Wahai pendeta, saya mohon pertolonganmu. Demi Tuhan yang engkau sembah, berilah aku tempat bermalam karena rumahku sangat jauh…!!”
            Sebagai seseorang yang berakhlak mulia, segera saja sang rahib berkata, “Naiklah, silahkan bermalam di tempat ini!!”
            Wanita itu masuk ke dalam biara. Mungkin memang dikehendaki Allah untuk menjadi ‘batu ujian’ bagi sang rahib, tiba-tiba ia merasakan cinta dan suka kepada sang rahib yang tampak sangat sederhana tetapi menenangkan itu, perasaan gairah yang menggelora seakan tidak tertahankan. Untuk menarik perhatian dan membangkitkan nafsu sang rahib, wanita itu melepaskan semua pakaiannya, kemudian berlenggak-lenggok di depannya.
            Sang rahib segera menutup matanya dengan kedua tangannya, dan berkata, “Kenakanlah kembali pakaianmu, janganlah telanjang!!”
            Wanita itu berkata, “Saya sangat ingin bersenang-senang denganmu malam ini!!”
            Bagaimanapun juga sang rahib itu masih lelaki yang normal. Nafsunya terbangkitkan ketika sepintas melihat keindahan tubuh dan mendengar keinginan wanita itu, karena itu terjadi perdebatan di dalam dirinya, antara akal sehat (kalbu)-nya dan nafsunya. Dan dengan kehendak Allah, wanita itu bisa ‘mendengarkan’ perdebatan tersebut.
             Akal sehatnya berkata, “Bertaqwalah kepada Allah!!”
            Sang nafsu berkata, “Ini kesempatan emas, kapan lagi engkau bisa bersenang-senang dengan seorang wanita yang secantik ini!!”
            Akal sehatnya berkata, “Celaka dirimu, engkau akan menghilangkan ibadahku, dan akan merasakan kepadaku pakaian aspal dari neraka. Aku khawatirkan atasmu siksaan api neraka yang takkan pernah padam, siksaan yang tidak pernah terhenti, bahkan lebih berat dari semua itu, aku sangat takut akan kemurkaan Allah, dan kehilangan keridhaan-Nya…!!”
            Tetapi sang nafsu terus saja merayunya untuk mau melayani keinginan wanita cantik itu. Ia terus merengek-rengek seperti anak kecil yang minta dibelikan es oleh ibunya. Akal sehatnya hampir tak mampu lagi mencegah rengekan sang nafsu itu. Maka sang rahib, yakni akal sehatnya, berkata kepada nafsunya, “Kini engkau semakin kuat saja, baiklah kalau begitu!! Aku akan mencoba dirimu dengan api yang kecil, jika engkau memang kuat menahannya, aku akan memenuhi keinginanmu memuaskan dirimu dengan wanita cantik ini!!”
            Lalu sang rahib mengisikan minyak pada lampunya, dan membesarkan nyalanya. Sementara itu sang wanita cantik, yang bisa ‘mengikuti’ percakapan dalam diri sang rahib tampak was-was dan khawatir. Benar saja yang dikhawatirkan, sang rahib memasukkan jari-jari tangannya ke dalam api. Pertama ibu jarinya terbakar, kemudian telunjuk, menyusul kemudian jari jemarinya yang lain. Melihat pemandangan yang mengerikan itu, sang wanita tak kuat menahan perasaannya. Antara tidak tega dan mungkin ketakutan akan siksa neraka sebagaimana digambarkan oleh akal sehat sang rahib, kemudian ia menjerit keras sekali, begitu kerasnya hingga jantungnya berhenti berdetak dan ia meninggal seketika.
            Begitu melihat wanita itu mati, nafsunya segera saja padam. Sang rahib menutupi jenazah wanita itu dengan kain dan ia mematikan lampunya. Tanpa memperdulikan tangannya yang sakit akibat terbakar, sang rahib meneruskan shalat dan ibadahnya.
            Keesokan harinya, Iblis yang menjelma menjadi salah seorang penduduk kampung itu menyebarkan berita kalau sang rahib telah berzina dan membunuh wanita yang dizinainya. Kabar itu sampai di telinga sang raja, yang segera saja mendatangi sanga rahib beserta pengawal dan bala tentaranya. Sampai di biara, sang raja berkata, “Wahai rahib, dimanakah Fulanah binti Fulan (yakni wanita cantik itu) ??”
            Rahib berkata, “Ia ada di dalam biara!!”
            Raja berkata, “Suruhlah ia keluar!!”
            Rahib berkata, “Ia telah mati!!”
            Raja berkata dengan murka, “Biadab sekali engkau ini, tidak cukup engkau menzinainya, bahkan engkau membunuhnya setelah itu!!”
            Maka raja memerintahkan pengawalnya untuk menangkap dan mengikat sang rahib, tanpa mau mendengarkan alasan dan penjelasannya lebih lanjut. Mungkin fitnah yang disebarkan oleh iblis yang merupa sebagai penduduk kampung itu begitu hebatnya, sehingga sang raja tidak lagi mau mendengar penjelasan peristiwa itu dari sisi sang rahib. Mereka membawanya ke alun-alun dimana hukuman biasa dilaksanakan, jenazah wanita itu dibawa serta seolah-olah sebagai saksi atas kejahatan yang dilakukan kepadanya.
            Dengan kaki, tangan dan leher terikat, sang algojo meletakkan gergaji di atas kepalanya. Ketika gergaji mulai membelah batok kepalanya, sang rahib sempat mengeluh pelan. Seketika itu Allah memerintahkan Malaikat Jibril turun ke bumi, sambil berfirman, “Katakan kepada rahib itu, janganlah mengeluh untuk kedua kalinya, karena sesungguhnya Aku melihat semua itu. Katakan juga kepadanya bahwa kesabarannya (sejak ia digoda sang wanita cantik hingga saat itu), telah membuat penduduk langit menangis, begitu juga dengan hamalatul arsy (malaikat penyangga arsy). Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, jika engkau mengeluh sekali lagi, tentulah akan Aku binasakan langit dan Aku longsorkan bumi!!”
            Jibril segera turun dan menyampaikan firman Allah tersebut, maka sang rahib menahan dirinya untuk tidak mengeluh, sesakit apapun yang dirasakannya. Ia tidak ingin menjadi penyebab kemurkaan Allah, sehingga alam semesta ini hancur. Mulutnya terus mengucap dzikr dan istighfar hingga akhirnya malaikat maut menjemputnya.
            Setelah sang rahib wafat, dan banyak sekali orang yang menghinakan dirinya, Allah berkenan mengembalikan ruh sang wanita itu untuk sesaat. Seketika itu sang wanita bangun, yang membuat orang-orang di sekitarnya, termasuk raja dan para pengawal serta bala tentaranya terkejut dan ketakutan. Wanita itu berkata, “Demi Allah, rahib itu teraniaya, dia tidak berzina denganku dan tidak pula dia membunuhku….”
            Kemudian wanita itu menceritakan secara lengkap peristiwa yang dialaminya, dan ia menutup perkataannya dengan kalimat, “…kalau kalian tidak percaya, periksalah tangannya yang dalam keadaan terbakar!!”
            Setelah itu sang wanita meninggal lagi. Mereka segera memeriksa tangan sang rahib, dan benar seperti yang dikatakan wanita tersebut. Mereka menyesal telah bersikap gegabah, sang raja berkata, “Andaikan kami mengetahui yang sebenarnya, tentulah kami tidak akan menggergaji engkau!!”
            Mereka segera merawat dua jenazah tersebut dan menguburkannya dalam satu lubang. Setelah tanah mulai menutupi jenazah keduanya, tercium bau harum kasturi keluar dari lubang kubur tersebut. Kemudian terdengar hatif (suara tanpa wujud), “Allah telah menegakkan mizan (timbangan) dan mempersaksikan kepada para malaikat-Nya : Aku persaksikan kepada kalian semua, bahwa Aku telah mengawinkan mereka dan juga (mengawinkan rahib itu) dengan limapuluh bidadari di surga Firdaus. Demikian itulah balasan bagi orang-orang yang selalu waspada dan bersabar di jalan-Ku!!”

Note:ii731