Senin, 24 Maret 2014

Makna Sebuah Tawakkal

Ahmad bin Isa al Kharraz, atau lebih dikenal dengan nama kunyahnya Abu Said al Kharraz adalah seorang sufi yang tinggal di Baghdad pada abad 3 hijriah, wafat pada tahun 277 H atau 890 M. Suatu ketika ia melakukan perjalanan melintasi padang pasir, dan tiba di kota Kufah dalam keadaan lapar. Seketika ia teringat temannya di kota itu bernama Al Jarari, yang mempunyai kedai makanan. Langsung saja ia melangkahkan kaki menuju ke rumahnya, tetapi ternyata Al Jarari sedang keluar. Tidak jauh dari kedai itu ada sebuah surau, maka Abu Said memutuskan untuk menunggu temannya di sana.
Ketika melangkah masuk ke dalam surau itu, ia berkata : Bismillaahirrahmaanirrahiim, Alhamdulillaahi rabbil ‘alamiin, wa salaamun ‘alainaa wa’alaa ‘ibaadillahil mutawakkiliin
Makna dari ucapannya itu adalah : Dengan nama Allah yang Maha pengasih dan Maha Penyayang, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, salam sejahtera atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang bertawakkal
Setelah shalat seperlunya, ia duduk berdzikir sambil sesekali menengok ke kedai kalau-kalau Al Jarari telah datang. Tetapi tidak lama kemudian datang seseorang yang tidak dikenalnya masuk ke surau dengan berkata, “Alhamdulillaahi rabbil ‘alamiin, Subhaana man akhlil ardhi minal mutawakiliin, wa salaamun ‘alainaa wa’alaa jamii’il kaadzibiin…”
Makna dari ucapannya itu adalah : Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Maha Suci (Allah) yang telah mengosongkan bumi dari orang-orang yang bertawakkal, salam sejahtera atas kami dan atas orang-orang yang berdusta.
Tentu saja Abu Said terkejut dengan ucapannya itu, yang jelas-jelas menyindir dirinya. Tetapi belum sempat ia berkata apa-apa, lelaki itu berkata lagi, “Wahai Abu Said yang mengaku tawakkal, tawakkal itu apabila engkau berada di padang pasir atau di bukit dan pegunungan, bukan di dalam kota sambil menanti datangnya Al Jarari…”
Abu Said berusaha menengok  untuk melihat lebih jelas siapa lelaki itu, tetapi ternyata ia tidak mendapati seorangpun di dalam surau itu kecuali dirinya sendiri. Segera saja ia tersadar kalau ia telah melakukan kesalahan saat pertama kali memasuki surau itu, dan ia menangis penuh penyesalan sambil mulutnya tidak lepas dari ucapan istighfar kepada Allah.

Note:ahq120

Tiga Pesan dalam Tiga Batu Nisan

            Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Bani Umayyah, yakni pada tahun 70-80 an hijriah, ada seorang sufi pengembara bernama bernama Shidqah bin Mirdas al Bakri. Ia sering menjelajahi negeri-negeri Islam yang saat itu wilayahnya telah sangat luas, untuk mendapat hikmah dan pengajaran dari berbagai orang di berbagai macam tempat. 
Dalam pengembaraannya di wilayah Antokiah, termasuk wilayah Romawi saat itu, atau (mungkin) di Turki saat ini, ia melihat tiga buah makam yang tidak seperti umumnya di atas sebuah bukit. Pada masing-masing batu nisan yang cukup besar itu tertulis kalimat yang panjang lebar berisi sebuah pesan berharga, padahal biasanya hanya berisi nama dan terkadang ditambah tanggal kematiannya. Shidqah berusaha mencari tahu tentang masalah itu, dan ia dipertemukan dengan seorang syech yang cukup terkenal dan disegani di perkampungan itu. Setelah mendengar pertanyaannya, syech itu berkata, “Sesungguhnya kisah tentang mereka yang dimakamkan lebih menakjubkan daripada yang engkau lihat!!”
Kemudian sang syech menceritakan bahwa di masa lalu hidup tiga orang bersaudara, mereka memiliki aktivitas dan perilaku yang sangat berbeda, tetapi tetap saling menyayangi satu sama lainnya. Yang pertama adalah seorang gubernur, yang sibuk dengan urusan pemerintahan, khususnya di bidang kemiliteran. Yang kedua seorang pedagang yang sukses, yang sibuk dengan aktivitasnya untuk menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya. Sedangkan yang ketiga dan paling muda seorang pemuda yang saleh dan zuhud, ia lebih suka menyendiri untuk menyucikan dirinya (jiwanya) dengan banyak beribadah kepada Allah.
Suatu ketika sang adik termuda itu sakit dan kelihatannya telah dekat waktu kematiannya. Kedua kakaknya yang menungguinya berkata, “Wahai adik, adakah sesuatu yang perlu engkau wasiatkan kepada kami berdua?”
Sang adik berkata, “Tidak, demi Allah aku tidak memiliki harta sedikitpun yang menjadi sebab aku harus berwasiat!!”
Sang kakak berkata, “Wahai adikku, katakan saja apapun yang engkau harapkan. Hartaku ini adalah untukmu, berwasiatlah dengannya apapun yang engkau inginkan. Aku berjanji akan melaksanakannya!!”
Kakak satunya lagi juga menegaskan komitmen yang sama. Sang adik berkata, “Baiklah, aku akan berpesan kepada kalian dan janganlah kalian mengingkari pesan itu!!"
Sebagai seorang yang saleh dan zuhud, sang adik sama sekali tidak ‘menyinggung’ harta dan jabatan kakaknya yang melimpah ruah itu dalam wasiatnya. Ia hanya berpesan, kalau ia telah meninggal, hendaknya mereka berdua yang memandikan dan mengkafaninya, kemudian ia ingin dimakamkan di tempat (dataran) yang tinggi, dan di batu nisannya hendaknya dituliskan pesannya, yakni : Bagaimana bisa hidup berfoya-foya bagi orang yang mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Pencipta akan meminta pertanggung-jawabannya, dituntut kedzalimannya kepada orang lain, dan akan diberi balasan kebaikan bagi orang yang berbuat baik!!
Setelah pemuda itu meninggal, dua kakaknya itu melaksanakan wasiatnya. Beberapa waktu berselang, sang Gubernur bersama pasukan yang dibawanya melewati bukit tempat adiknya dimakamkan. Ia menyempatkan untuk men-ziarahinya, dan ketika ia membaca tulisan yang tertulis di nisannya itu ia menangis tersedu-sedu, padahal sebelumnya ia tidak pernah menangis. Kesedihannya begitu mendalam, entah apa sebabnya? Apa karena teringat adiknya yang begitu disayanginya, atau karena pesan yang tertulis itu?
Pada kesempatan lainnya, ia melalui tempat itu lagi dan men-ziarahinya, dan lagi-lagi ia mengalami kesedihan yang membuatnya menangis tersedu-sedu. Tetapi ketika akan meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar suatu suara nyaring dari makam adiknya itu. Suara itu begitu menghentak dan seolah membelah dadanya sehingga ia merasa ketakutan, karena itu ia segera meninggalkan tempat itu. Pada malam harinya ia bermimpi bertemu dengan adik bungsunya dan seolah-olah nyata saja, maka ia bertanya, “Apa yang kudengar dari dalam kuburmu itu, wahai adikku?”
Sang adik berkata, “Itu adalah suara nyaring yang akan memecahkan kepalamu, sebab engkau melihat suatu kedzaliman tetapi engkau tidak menghentikannya walau engkau mampu!!”
Sang gubernur sangat ketakutan mendengarnya, dan ia terbangun dengan keringat dingin bercucuran. Perasaan gundah, sedih dan takut bercampur baur dalam dirinya, dan ketika pagi menjelang, ia mendatangi adiknya yang menjadi saudagar dan berkata, “Tidak ada yang lebih bisa memahami pesan adik kita di nisannya itu kecuali aku ini…”
Kemudian ia menceritakan apa yang dialaminya, termasuk mimpinya itu, dan ia menyatakan akan berhenti sebagai gubernur. Setelah menyampaikan pengunduran dirinya kepada khalifah Abdul Malik bin Marwan, ia meninggalkan segala kemewahan hidupnya selama ini dan tinggal menyepi dan menyendiri di atas gunung. Tidak ada yang dilakukannya kecuali hanya bertaubat dan beribadah kepada Allah, sebagaimana pernah dilakukan oleh adik bungsunya. Tidak ada yang menemaninya kecuali seorang pengembala bersama ternak-ternaknya.
Ketika ia dalam keadaan sakit parah yang membawanya kepada ajal, sang penggembala mendatangi sang adik yang menjadi saudagar untuk mengabarkan hal itu. Ketika menungguinya di saat-saat terakhir, adiknya berkata, “Wahai kakakku, apakah engkau tidak berwasiat kepadaku?”
Sang kakak berkata, “Dengan apa aku harus berwasiat? Aku tidak memiliki apapun yang menyebabkan aku harus berwasiat!! Tetapi aku hanya berpesan kepadamu, agar aku dimakamkan di sisi adik kita yang telah mendahului kita. Kemudian pada nisanku, hendaklah engkau tuliskan pesan ini : Bagaimana bisa hidup berfoya-foya bagi orang yakin, bahwa kematian akan menjemput dengan tiba-tiba. Kekuasaan yang besar dan megah, istana dan keluarganya akan segera tercabut dari dirinya!!”
Wasiat itu diulanginya sampai tiga kali sembari ia mendoakan adiknya itu agar Allah akan senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepadanya. Setelah kakaknya wafat, sang adik segera mengurus jenazahnya dan melaksanakan wasiatnya tersebut.
Pada hari ketiga ia berziarah ke makam dua saudaranya itu dengan perasaan sedih dan gulana. Rasanya masih belum lama berlalu ketika mereka bertiga saling mengasihi dan menjaga, walau dalam keadaan yang sangat berbeda. Ketika ia akan beranjak pulang, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari dalam kubur, yang membuat hatinya begitu miris dan akalnya nyaris hilang. Ia bergegas pulang dengan rasa takut sekaligus bingung, seperti orang yang linglung.
Pada malam harinya ia bermimpi tentang kakaknya, seolah-olah ada seorang lelaki yang berkata untuk menyampaikan pesan kakaknya itu, “Jika saja aku bertemu saudaraku, akan kulemparkan dia!!”
Tentu saja sang saudagar merasa kaget dengan perkataan lelaki itu, ia berkata, “Dimanakah saudara-saudaraku? Bukankah aku selalu menziarahinya?”
Lelaki itu berkata, “Jauh sekali, tetapi mereka dalam keadaan tentram di tempat kami!!”
Tampaknya belum puas dengan jawaban seperti itu, ia berkata lagi, “Dimana saudaraku? Bagaimanakah keadaannya?”
Lelaki itu berkata, “Baik sekali keadaannya, sesungguhnya taubat itu tidak berkumpul kecuali dengan kebaikan!!”
Ia masih bertanya lagi, “Bagaimana keberadaannya?”
Lelaki itu berkata, “Mereka bersama dengan para pemimpin yang baik-baik!!”
Sebenarnya sang saudagar itu ingin agar ia ‘bertemu’ langsung dengan kakak dan adiknya dalam impiannya itu, setelah peristiwa mengejutkan yang dialaminya ketika ia menziarahi makam mereka. Tetapi tampaknya lelaki itu tidak memberinya kesempatan untuk bertemu, kecuali hanya mengabarkan keadaan mereka. Ia jadi merasa tersisihkan, padahal ia sangat ingin berkumpul bersama dengan akrabnya, sebagaimana ketika mereka masih hidup dahulu.
Dengan perasaan gundah gulana, ia berkata, “Apakah ada yang ingin engkau pesankan (nasehatkan) pada diriku?”
Lelaki itu berkata, “Barang siapa yang meninggalkan sedikit saja dari kekayaan dunia (yakni, setelah sebagian besarnya disedekahkan), maka ia akan mendapatinya hasilnya di akhirat. Karena itu jagalah (manfaatkanlah) kekayaanmu sebelum miskinmu!!”
Setelah itu sang saudagar terbangun dari mimpinya dengan perasaan rindu yang amat menggumpal kepada saudara-saudaranya yang telah meninggal. Mimpi yang amat berkesan itu membuat sikapnya berubah, ia segera meninggalkan kesibukan perniagaannya dan mengisi hari-harinya dengan ibadah kepada Allah. Hampir sepertiga hartanya disedekahkan di jalan Allah, urusan perniagaan diserahkan kepada putranya, dan hanya menyisakan sedikit untuk dirinya, sekedar untuk bekal beribadah kepada Allah.
Saudagar itu memilih untuk hidup menyendiri, jauh dari keriuhan dan kesibukan dunia sebagaimana pernah dilakukan kakaknya. Secara rutin dalam beberapa hari sekali, anaknya menjenguk dirinya di tempat terpencil itu, hingga suatu ketika mendapati dirinya dalam keadaan sakit yang amat parah. Mungkin waktu kematiannya telah dekat. Anaknya berkata, “Wahai ayahku, apakah engkau tidak ingin berwasiat kepadaku?”
Ia berkata, “Demi Allah, wahai putraku, aku tidak memiliki apapun yang menyebabkan aku harus berwasiat kepadamu. Tetapi aku berpesan kepadamu, jika aku telah meninggal, kuburkanlah aku di dekat makam paman-pamanmu, lalu tulislah di nisan makamku dua bait kalimat ini : ‘Bagaimana bisa hidup berfoya-foya, orang yang menyadari ia akan berakhir di kuburan? Masa muda yang dijalaninya akan diuji, keindahan wajahnya yang sempurna akan sirna, dan tubuhnya akan usang dan hancur!!’ Jika wasiatku itu telah engkau laksanakan, berjanjilah kepada dirimu sendiri sebanyak tiga kali, bahwa engkau akan selalu mendoakanku!!”
Tak lama berselang ayahnya meninggal, dan putranya itu merawat jenazahnya, kemudian membawanya ke atas bukit untuk memakamkannya di dekat kuburan paman-pamannya. Ia juga mengerjakan semua wasiat ayahnya itu. Pada hari ke tiga ia berziarah ke makam ayahnya, sesaat ketika ia meninggalkan makam itu, terdengar suara keras dari arah makam tersebut, suara yang begitu menggetarkan jiwanya, wajahnya menjadi pucat pasi dan kulitnya serasa mengelupas semua. Ia segera pulang dengan tubuh yang panas dingin karena ketakutan.
Pada malam harinya ia bermimpi didatangi ayahnya, yang berkata, “Wahai putraku, kau akan segera berada di sisiku, segera menyusulku, bahkan kematian itu lebih dekat daripada itu. Karena itu bersiaplah untuk perjalanan panjangmu, bawalah bekal yang diperlukan di tempat barumu nanti. Janganlah engkau tertipu, sebagaimana orang-orang yang tertipu dengan angan-angan panjang mereka, sehingga mereka tidak mempunyai bekal di tempat kembalinya (akhirat). Menjelang kematiannya mereka menyesal telah menyia-nyiakan umurnya, dan penyesalan itu tidak ada artinya lagi. Dan lebih parah lagi, mereka yang menyesal ketika di akhirat baru menyadari kalau mereka orang yang merugi…Wahai putraku, bergegaslah, bergegaslah, bergegaslah …!!”
Sang syech menutup ceritanya kepada Shidqah bin Mirdas dengan berkata, “… setelah impiannya tersebut, sang pemuda menutup usahanya. Semua hutang-hutang dilunasinya, harta dan uang yang masih ada di orang lain dihalalkannya. Dan sisa harta yang masih dimilikinya terus disedekahkannya. Pada hari ketiga setelah mimpinya itu, tiba-tiba ia berpamitan kepada orang-orang di sekitarnya, meminta maaf dan mohon kehalalan jika masih ada kekhilafannya. Setelah itu ia menghadap kiblat dengan air mata yang terus menetes, kemudian ia bersyahadat dan meninggal dunia…”

Note:cms65