Minggu, 25 Maret 2012

Yang Terdahulu Masuk Surga

Pada saat kiamat nanti, empat golongan yang dipastikan masuk surga tanpa hisab, dihadirkan di pintu surga. Mereka itu adalah orang alim (ulama) yang mengamalkan ilmunya. Orang yang beribadah haji yang tidak melakukan perbuatan merusak di dalam dan setelah hajinya, yakni hajinya mabrur. Orang yang mati syahid, terbunuh di jalan Allah, ikhlas semata-mata mengharap ridho Allah. Dan yang terakhir adalah orang dermawan, yang mencari harta dengan jalan halal dan menginfaqkannya di Allah tanpa riya’.
Masing-masing golongan tersebut berebut untuk masuk surga terlebih dahulu, masing-masing dari mereka beranggapan bahwa mereka lebih utama dari kelompok lainnya. Karena tidak ada yang mengalah, maka Allah mengutus malaikat Jibril untuk memberi keputusan di antara mereka. Jibril menemui kelompok orang yang mati syahid dan berkata, “Apa yang kalian kerjakan sehingga kalian beranggapan bahwa kalian berhak memasuki surga terlebih dahulu!!”
Mereka berkata, “Kami telah mati syahid, terbunuh di jalan Allah, semata-mata untuk memperoleh keridhoan Allah!!”
Jibril berkata, “Dari siapakah kalian mendengar besarnya pahala mati syahid, sehingga merasa berhak masuk surga terlebih dahulu?”
Mereka berkata, “Dari para ulama!!”
Jibril berkata, “Jagalah sopan santun, janganlah kalian mendahului guru kalian!!”
Kemudian Jibril menemui kelompok orang yang berhaji mabrur, dan berkata, “Apa yang kalian kerjakan sehingga kalian beranggapan bahwa kalian berhak memasuki surga terlebih dahulu!!”
Mereka berkata, “Kami melaksanakan ibadah haji dan selalu menjaga diri dari segala sesuatu yang merusak haji kami, yakni kami berhaji mabrur!!”
Jibril berkata, “Dari siapakah kalian mendengar besarnya pahala haji mabrur, sehingga merasa berhak masuk surga terlebih dahulu?”
Mereka berkata, “Dari para ulama!!”
Jibril berkata, “Jagalah sopan santun, janganlah kalian mendahului guru kalian!!”
Malaikat Jibril menemui kelompok kaum dermawan, dan berkata, “Apa yang kalian kerjakan sehingga kalian beranggapan bahwa kalian berhak memasuki surga terlebih dahulu!!”
Mereka berkata, “Kami selalu mencari harta dengan jalan yang halal, dan menginfaqkan di jalan Allah, ikhlas semata-mata mencari keridhoan Allah, tanpa disertai riya’!!” 
Jibril berkata, “Dari siapakah kalian mendengar besarnya pahala dari apa yang kalian kerjakan itu, sehingga merasa berhak masuk surga terlebih dahulu?”
Mereka berkata, “Dari para ulama!!”
Maka malaikat Jibril berkata, “Jelaslah sudah, kalian para ulama, silahkan masuk surga terlebih dahulu!!”
Tetapi kaum ulama itu berkata, “Ya Allah, kami tidak bisa menghasilkan dan mengamalkan ilmu, kecuali karena kelapangan hati dan kebaikan para dermawan!!”
Maka Allah berfirman, “Benar perkataan kalian wahai orang alim. Wahai malaikat Ridwan, bukalah pintu surga untuk kaum dermawan, dan yang lainnya menyusul!!”

Karena Meringan-ringankan Shalat

Ada seorang saleh yang menguburkan jenazah saudara perempuannya. Setelah pulang kembali, ia menyadari kalau dompet uangnya telah hilang. Mungkin jatuh ketika ia memakamkan saudaranya itu. Karena itu ia segera kembali ke pemakaman dan menggali kembali. Tetapi belum sempat ia menemukan dompetnya kembali, ia melihat nyala api di kubur saudaranya tersebut. Ia ketakutan dan segera menutupnya kembali. Ia menangis melihat keadaan kubur saudaranya itu.
Saudaranya itu memang tidak tinggal bersamanya, tetapi bersama ibunya. Segera ia menuju rumah ibunya, dan masih dengan menangis ia berkata, “Wahai ibu, beritahukan kepadaku, bagaimana amalan saudaraku itu?”
Sang ibu berkata, “Ada apa gerangan sehingga engkau bertanya seperti itu?”
“Wahai ibu, aku melihat kuburnya menyala api!!” Kata sang anak, kemudian ia menceritakan secara lengkap pengalamannya.
Sang ibu ikut menangis mendengar cerita tersebut, dan berkata, “Saudaramu itu biasa meringan-ringankan (menggampangkan) sembahyang dan mengakhirkannya, hingga waktunya hampir habis!!”
Sebagian ulama menyatakan bahwa tidak mengapa shalat menjelang akhir waktu, asal belum masuk kepada waktu shalat selanjutnya, dan tidak ada maksud untuk menyepelekan shalat tersebut, benar-benar karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Hanya saja ia akan kehilangan keutamaan shalat pada awal waktunya. Nabi SAW bersabda, “Amal perbuatan yang paling disukai Allah adalah shalat pada awal waktunya.” Beliau juga bersabda, “Kelebihan (shalat) pada awal waktunya dibanding pada akhir waktunya adalah seperti keutamaan akhirat atas dunia.”
Pada riwayat lainnya, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa shalat pada awal waktunya, maka naiklah shalatnya itu ke langit dengan diliputi cahaya hingga sampai di Arsy, lalu ia (shalat itu) membacakan istighfar untuk orang yang melakukan shalat itu hingga hari kiamat, sambil berkata : Semoga Allah memeliharamu, sebagaimana engkau memelihara aku. Jika seseorang itu shalat tidak pada waktunya (ghairi waqtiha, menunda-nunda hingga masuk pada waktu shalat selanjutnya), maka shalat itu akan naik ke langit diliputi kegelapan. Dan bila sampai ke langit, ia dilipat bagaikan baju yang rusak, lalu dilemparkan ke wajah orang yang melakukannya itu…!”
Dalam hadits yang lain, Nabi SAW bersabda. “Barang siapa yang menghimpun antara dua waktu shalat tanpa udzur atau karena meringan-ringankan (menggampangkan, menyepelekan), maka ia telah memasuki pintu dosa besar.”

Sabtu, 17 Maret 2012

Akibat Kedzaliman kepada yang Lemah

          Seorang lelaki yang tangannya buntung hingga bahunya, berseru dengan keras di pinggir pantai, “Wahai, siapa yang melihat (keadaan) aku ini, janganlah kalian berlaku dzalim kepada siapapun juga!!”
Dia mengulang-ulang ucapannya itu kepada orang-orang di sekitarnya. Mungkin hanya sebuah nasehat sederhana, tetapi karena berseru lantang dan berulang-ulang, hal itu menarik perhatian dari seorang lelaki Bani Israil yang melihatnya, dan berkata, “Hai hamba Allah, apakah yang terjadi denganmu?”
Lelaki buntung itu kemudian bercerita, bahwa dahulunya ia adalah seorang petugas polisi, yang dengan kedudukannya itu terkadang ia bersikap egois dan ‘sok kuasa’. Suatu ketika ia berada di pinggir pantai itu, dan melihat seorang nelayan (pemancing) yang memperoleh seekor ikan yang cukup besar. Ia sangat tertarik dengan ikan tangkapannya itu, dan berkata “Serahkan ikan tangkapanmu itu kepadaku!!”
“Jangan, ikan ini satu-satunya makanan untuk keluargaku“ Kata nelayan itu.
 Ia benar-benar tertarik dengan ikan itu, karenanya ia berkata, “Kalau begitu, biarkanlah aku membelinya!!”
Tetapi sang nelayan tetap saja menolaknya. Ia menjadi marah dan memukul sang nelayan dengan pecutnya dan mengambil ikan tersebut dengan paksa dan membawanya pergi. Ketika sampai di rumahnya, ikan itu tiba-tiba seperti hidup dan menggigit ibu jarinya. Tampaknya hanya seperti gigitan biasa, tetapi susah sekali dilepaskan. Setelah dengan susah payah berusaha, gigitan itu bisa dilepaskan, tetapi ibu jarinya telah bengkak membesar, dan rasa sakit yang tidak terperikan.
Sang polisi datang ke seorang dokter untuk mengobati luka kecil akibat gigitan ikan di ibu jarinya itu. Sang dokter memeriksa luka tersebut dan ia tampak keheranan dengan luka sederhana itu, dan ia berkata, “Ibu jarimu harus diamputasi (dipotong), kalau tidak akan bisa membahayakan jiwamu!!”
Karena rasa sakit yang tak tertahankan dan dokter telah membuat keputusan seperti itu, ia merelakan ibu jarinya diamputasi. Seketika itu ia merasa baikan dan rasa sakitnya hilang. Tetapi satu dua hari kemudian rasa sakit seperti sebelumnya menjalari telapak tangannya, dan ia pergi ke dokter untuk memeriksakannya. Setelah memeriksa tangannya itu, lagi-lagi sang dokter keheranan dan akhirnya memutuskan, “Telapak tanganmu harus diamputasi (dipotong), kalau tidak akan bisa membahayakan jiwamu!!”
Tidak ada pilihan lain kecuali menurutinya, dan telapak tangannya diamputasi. Hanya sembuh satu dua hari, rasa sakit menjalar ke lengannya di bawah siku. Dan ketika dibawa ke dokter, sang dokter memutuskan untuk mengamputasi sampai batas sikunya untuk menyelamatkan jiwanya. Dua tiga hari kemudian rasa sakit itu menjalar lagi, dan dokter memutuskan untuk mengamputasi hingga batas bahunya.
Ada seseorang yang memperhatikan keadaannya sejak awal ia datang ke dokter, dan ia menanyakan sebab penyakitnya itu. Sang polisi berkata, “Sebenarnya ini bermula dari luka kecil gigitan ikan….!!”
 Kemudian ia menceritakan secara lengkap peristiwanya yang dialaminya. Tampaknya orang yang bertanya tersebut sangat bijaksana dan memahami ‘rahasia’ kekuasaan Allah, maka ia berkata kepada sang polisi, “Jika saja sejak awal engkau datang kepada nelayan (pemancing ikan) itu untuk meminta maaf dan meminta halalnya, engkau tidak akan kehilangan tanganmu. Maka sebaiknya engkau sekarang mencari dan menemui nelayan tersebut untuk meminta maaf dan meminta halalnya, sebelum penyakitmu itu akan menjalar ke seluruh tubuhmu!!”
Sang polisi terbuka mata hatinya dan ia baru menyadari kekeliruannya yang tampaknya sepele saja. Ia segera memenuhi nasehat orang yang tidak dikenalnya itu. Begitu bertemu di tepi pantai yang sama, ia segera berlutut dan mencium kaki nelayan itu, sambil menangis ia berkata, “Wahai tuan, aku meminta maaf kepadamu!!”
Sang nelayan yang tidak mengenali lagi sang polisi itu dengan heran berkata, “Siapakah engkau ini?”
“Aku adalah polisi yang dulu pernah merampas ikanmu!!”
Kemudian ia menceritakan peristiwa dan penderitaannya, hingga bertemu seseorang tak dikenal yang menasehatinya untuk meminta maaf kepadanya. Sang polisi menunjukkan keadaan tangannya yang buntung hingga bahunya. Nelayan itu menangis melihat penderitaan orang yang pernah mendzaliminya itu, dan berkata, “Sungguh aku tidak menyangka akan seperti ini keadaannya, aku halalkan dan aku maaafkan semua kesalahanmu kepadaku!!”
Polisi itu memeluk sang nelayan sambil menangis bercampur gembira. Setelah suasana emosional itu mereda, sang polisi berkata, “Apakah engkau berdoa kepada Allah setelah aku merampas ikanmu itu?”
Sang nelayan berkata, “Benar, aku berdoa : Ya Allah, orang itu telah menganiaya (mendzalimi) aku dengan kekuatannya atas kelemahanku. Karena itu balaslah dia, perlihatkanlah kepadaku Kekuasaan/Qudrah-Mu kepada orang itu!!”
Polisi itu ‘mengangkat’ sisa lengannya yang buntung dan berkata, “Inilah dia, Allah telah memperlihatkan kepadamu Qudrah-Nya atas diriku. Dan kini aku bertaubat kepada Allah dari semua yang telah aku lakukan dahulu!!”
Setelah menceritakan semuanya itu, sang mantan polisi itu berkata kepada orang Bani Israil yang menghampirinya, “Sesekali aku datang ke sini untuk mengenang peristiwa tersebut, sekaligus menasehati orang-orang agar tidak mengalami hal yang sama seperti aku. Tetapi sungguh aku bersyukur Allah memperingatkan aku di dunia, dan mengambil kaffarat dosa-dosaku dengan sebelah tanganku saat ini. Jika tidak, mungkin aku hanya akan menjadi bahan bakar api neraka di akhirat kelak!!”

Teman Nabi Musa AS di Surga

            Suatu ketika, Nabi Musa AS berdoa, “Ya Allah, tunjukanlah salah seorang teman dudukku di surga!!”
            Maka Allah SWT memerintahkan Nabi Musa untuk datang ke pasar di suatu tempat yang agak jauh, di sana terdapat seorang lelaki penjual daging (tukang jagal) dengan ciri-ciri yang dijelaskan secara rinci, yang nantinya akan menjadi teman beliau di surga. Nabi Musa segera menuju pasar itu dan dengan mudah menemukan orang yang dimaksud.
            Nabi Musa dengan sabar menunggu orang tersebut menyelesaikan pekerjaannya hingga menjelang petang, sambil memperhatikan aktivitasnya. Ketika akan pulang, Nabi Musa menghampiri dirinya, yang tampaknya tidak mengenal beliau sebagai utusan Allah yang syariat dan ajarannya diikutinya itu. Beliau berkata, “Apakah tuan bersedia menerima saya sebagai tamu? Saya sedang dalam perjalanan (musafir)!!”
            “Baiklah, marilah kita pulang!!”
            Nabi Musa mengikutinya berjalan pulang. Sesampainya di rumah, ia memasak daging yang dibawanya dengan kuah yang sangat lezat dan sebagian disuguhkannya kepada Nabi Musa. Dari sebuah ruangan, lelaki itu mengeluarkan sebuah tempat (wadah) besar yang di dalamnya ada seorang wanita tua yang lumpuh, begitu lemahnya sehingga ia tampak seperti anak burung merpati yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Lelaki itu mengambil dan memangku wanita tua itu, lalu menyuapinya dengan telaten hingga merasa kenyang. Setelah itu ia membersihkan (mengelap dengan air) dan mengganti bajunya dengan yang bersih dan menempatkannya di tempat (wadah) semula. Selanjutnya ia mencuci baju kotor wanita tua itu dan menjemurnya. Sebelum ia membawa wadah tersebut ke ruangannya kembali, tampak bibir wanita tua itu bergerak-gerak, tampaknya ia sedang berdoa, yang Nabi Musa bisa ‘membaca’ gerak bibirnya, “Ya Allah, jadikanlah anakku ini sebagai teman duduk Nabi Musa di surga!!”
Setelah lelaki itu duduk kembali menghadapi tamunya, Nabi Musa berkata, “Siapakah wanita tua itu?”
Lelaki itu berkata, “Dia adalah ibuku yang sangat lemah karena telah lumpuh, hanya bisa berbaring saja!!”
Nabi Musa berkata, “Bergembiralah engkau, aku adalah Musa, dan telah diwahyukan kepadaku bahwa engkau adalah temanku di surga, berkat apa yang engkau lakukan dengan baik kepada ibumu itu!!” 
Lelaki itu sangat gembira dan bersyukur kepada Allah mendengar ucapan Nabi Musa itu, dan makin istiqomah dalam merawat ibunya itu.

Minggu, 11 Maret 2012

Kejujuran yang Mengundang Hidayah

            Seorang anak remaja bermaksud membajak ladangnya untuk ditanami sesuatu, ia berjalan mengiringi lembunya yang berjalan di depannya. Saat itu pagi hari tepat tanggal 9 Dzulhijjah, hari Arafah yang mulia di mana kaum muslimin yang sedang beribadah haji bersiap-siap untuk wuquf di Padang Arafah. Tanpa diduga-duga, tiba-tiba lembu itu menoleh kepada pemuda yang berjalan mengikutinya, dan berkata, “Wahai Abdul Qadir, engkau tidak dijadikan untuk ini, dan engkau tidak diperintahkan untuk mengerjakan ini!!” 
            Pemuda tersebut memang Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, seorang ulama dan tokoh sufi yang di kemudian hari melahirkan Thariqah al Qadiriyah yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Abdul Qadir remaja itu sangat terkejut dan ketakutan mendengar “teguran” dari sang lembu itu, ia berlari pulang dan bersembunyi di suthuh (loteng) rumahnya. Ia merenungi peristiwa yang baru saja dialaminya, tetapi lagi-lagi ia melihat peristiwa luar biasa. Dari tempatnya tersebut, ia melihat pemandangan orang-orang yang sedang bergegas berangkat ke Arafah untuk melakukan wuquf, padahal tempat tinggalnya tersebut sangat jauh dari Makkah, yakni di Jilan, di tepi sungai Dajlah di daerah Thabaristan, termasuk wilayah Irak sekarang ini.
            Abdul Qadir yang memang cerdas itu langsung bisa menangkap ‘isyarah’ dari apa yang dialaminya secara beruntun tersebut. Ia mendatangi ibunya, orang tua yang tinggal satu-satunya yang sangat dipatuhinya itu, dan berkata, “Wahai ibu, serahkanlah aku kepada Allah dan ijinkanlah aku pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu dan berziarah kepada orang-orang shalih di sana…!!”
            Tentu saja ibunya yang bernama Fathimah itu terkejut dengan sikap dan permintaan anaknya yang begitu tiba-tiba, tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Sang ibu berkata, “Wahai anakku, kenapa engkau tiba-tiba berkata seperti itu!!”
            Abdul Qadir menceritakan peristiwa yang dialaminya pada hari itu, dan ibunya menangis penuh haru sekaligus pilu mendengarnya, tangisan bahagia dan sedih. Bahagia, karena ia yakin anaknya tersebut akan memperoleh derajad yang mulia di sisi Allah, sebagaimana “pesan/isyarat” yang dikandung dari peristiwa yang diceritakannya itu. Sedih, karena ia harus berpisah dengan putra kesayangannya itu, dan belum tentu akan bertemu di kemudian hari. Tetapi sebagai seorang ibu yang sholihah, ia merasa bahwa sudah merupakan kehendak Allah anaknya akan menjalani kehidupan terpisah dengan dirinya, karena itu ia harus merelakan dan meridhoinya. 
            Fathimah mempersiapkan segala sesuatunya untuk kepergiannya anaknya tersebut. Ia juga telah menghubungi kafilah dagang yang akan berangkat ke Baghdad untuk “menitipkan” Abdul Qadir kepada mereka hingga sampai di sana. Sebelum meninggal, suaminya itu telah mewasiatkan 80 dinar untuk keperluan dua anaknya saat dewasa, karena itu ia mengambil 40 dinar untuk bekal Abdul Qadir. Ia membuat saku rahasia pada bajunya di bagian bawah ketiaknya, dan meletakkan uang tersebut dan menjahitnya sehingga tidak mungkin jatuh atau hilang dari baju anaknya.
            Pada waktu yang ditentukan kafilah akan berangkat, ibunya berpesan kepada Abdul Qadir untuk selalu berkata benar dan berlaku jujur dalam keadaan apapun. Ketika ia berangkat dan mengucapkan selamat tinggal, ibunya berkata, “Berangkatlah wahai anakku, aku telah menitipkan engkau kepada Allah. Mungkin wajahmu takkan pernah kulihat lagi hingga datangnya hari kiamat!!”
            Di tengah perjalanan, ketika kafilah itu meninggalkan suatu daerah bernama Hamadan, sekelompok orang berkuda berjumlah enampuluh mengepung kafilah tersebut. Ternyata mereka adalah para perompak yang akan menjarah kafilah tersebut, tidak ada seorangpun kecuali diambil dan dikuras hartanya. Tetapi Abdul Qadir dibiarkan begitu saja karena ia tampak miskin dan tidak membawa apa-apa. Ternyata ada salah seorang perompak yang secara iseng bertanya kepadanya, “Wahai anak yang miskin, apakah engkau membawa sesuatu?”
            Abdul Qadir berkata, “Saya memiliki empatpuluh dinar!!”
            “Dimana?” Tanya perompak itu.
            “Terjahit di dalam saku di bawah ketiakku!!”
            Tampaknya perompak itu menganggap Abdul Qadir bergurau atau hanya mengejek, karena itu ia tidak mempercayai atau menanggapinya secara serius. Bisa dimaklumi, dinar adalah uang emas, satu dinar itu hampir empat gram emas dengan kadar 22 karat. Kalau empatpuluh dinar, berarti hampir seratus enampuluh gram emas. Dengan kurs sekarang, seandainya 22 karat harganya sekitar Rp 250.000, berarti senilai Rp 40 juta. Dengan penampilan seperti itu, tentu saja ia tidak percaya Abdul Qadir mempunyai uang sebanyak itu.
            Beberapa orang perompak lain yang melihatnya sempat menanyakan hal yang sama, dan Abdul Qadir tidak pernah merubah jawabannya. Ketika para perompak berkumpul di depan pimpinannya, mengumpulkan hasil jarahannya, sang pemimpin berkata, “Apakah harta mereka sudah kalian ambil?”
            “Sudah semua, hanya saja ada seorang pemuda yang tampak miskin mengaku memiliki empatpuluh dinar, tetapi saya tidak mempercayainya!!”
            Beberapa perompak lainnya juga menyatakan hal yang sama, maka sang pemimpin memerintahkan agar ia didatangkan. Abdul Qadir dihadapkan kepada sang pemimpin, yang langsung berkata, “Kau membawa apa?”
            Lagi-lagi ia memberikan jawaban yang sama seperti sebelumnya, maka sang pemimpin memerintahkan anak buahnya untuk menggeledahnya. Mereka menemukan empatpuluh dinar itu tepat seperti yang dikatakan Abdul Qadir. Sang pemimpin tampak tercenung tak percaya melihat anak muda di depannya. Setelah empatpuluh dinar itu ditaruh di depannya oleh anak buahnya,  ia berkata, “Wahai anak muda, mengapa engkau mengakui memilikinya, dan tidak berbohong agar hartamu tidak kami rampas?”
            Abdul Qadir berkata, “Ibuku berwasiat agar aku selalu berkata benar dan berlaku jujur dalam keadaan apapun, dan aku tidak akan pernah mengingkari janjiku kepada beliau!!”
            Pemimpin perompak itu langsung menangis mendengar jawaban Abdul Qadir, dan berkata sambil terisak-isak, “Engkau tidak pernah sekalipun mengingkari janjimu kepada ibumu, sedang aku telah bertahun-tahun ‘mengingkari’ Allah, selalu menyalahi dan melanggar larangan Allah!! Mulai saat ini aku bertaubat kepada Allah!!”
            Para anak buahnya yang memang ikut terperangah kagum dengan kejujuran Abdul Qadir itu, berkata kepada pimpinannya, “Engkau adalah pemimpin kami dalam kejahatan (perompakan), maka engkau adalah pemimpin kami pula dalam bertaubat!!”
            Para perompak yang bertaubat itu mengembalikan hasil jarahannya kepada kafilah tersebut, dan mengakui Abdul Qadir yang masih muda, bahkan belum mulai menuntut ilmu itu sebagai gurunya dalam kebaikan karena kejujurannya.  

Harta yang Tidak Dizakati

Suatu ketika Nabi SAW bersabda,”Jika seseorang mempunyai emas dan perak (yang telah sampai Nisab dan Haulnya) dan ia tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat kelak, emas dan perak tersebut akan dijadikan lempengan dan dibakar di dalam jahanam, kemudian diseterikakan pada pinggang, dahi dan punggung pemiliknya. Jika telah dingin, siksaan itu akan diulangi lagi selama satu hari, yang lamanya sebanding dengan limapuluh ribu tahun perhitungan di bumi. Setelah putusan “pengadilan akhirat” selesai, barulah ia mengetahui kemana akan dimasukkan, apakah akan ke surga atau ke neraka?”
Salah seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau memiliki unta?”
Nabi SAW bersabda,”Begitu juga dengan seseorang mempunyai unta (yang telah sampai Nisab dan Haulnya) dan ia tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat kelak, unta-untanya tersebut akan dikumpulkan pada suatu tanah lapang tanpa teringgal seekorpun, lalu akan menggigit dan menginjak-injak pemiliknya. Satu persatu akan menyiksanya hingga selesai, dan siksaan itu akan diulangi lagi selama satu hari, yang lamanya sebanding dengan limapuluh ribu tahun perhitungan di bumi. Setelah putusan “pengadilan akhirat” selesai, barulah ia mengetahui kemana akan dimasukkan, apakah akan ke surga atau ke neraka?”
Salah seorang sahabat lainnya berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau memiliki lembu (sapi) dan kambing?”
Nabi SAW bersabda,”Begitu juga dengan seseorang mempunyai lembu dan kambing (yang telah sampai Nisab dan Haulnya) dan ia tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat kelak, lembu-lembu dan kambing-kambingnya tersebut akan dikumpulkan pada suatu tanah lapang tanpa teringgal seekorpun, termasuk yang tanduknya patah, bengkok atau juga tidak bertanduk. Mereka akan menggigit dan menginjak-injak pemiliknya. Satu persatu akan menyiksanya hingga selesai, dan siksaan itu akan diulangi lagi selama satu hari, yang lamanya sebanding dengan limapuluh ribu tahun perhitungan di bumi. Setelah putusan “pengadilan akhirat” selesai, barulah ia mengetahui kemana akan dimasukkan, apakah akan ke surga atau ke neraka?”
Sahabat lainnya berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau memiliki kuda??”
Tampaknya sahabat tersebut bertanya sehubungan dengan zakat, sebagai keterkaitan dari hal yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW sebelumnya, tetapi jawaban beliau sama sekali tidak menghubungkan kuda dengan masalah zakat. Walaa yanthiquu ‘anil hawaa in huwa illaa wahyun yuukhaa, tidaklah Nabi SAW mengatakan sesuatu dari hawa nafsunya (termasuk analisa dan rekaan akal pikiran beliau), tetapi semua itu adalah wahyu yang diturunkan kepada beliau.
Namun demikian, sebagai seorang guru dan pendidik terbaik terhadap umat manusia, Nabi SAW masih menghubungkan masalah kuda tersebut dengan akibat di akhirat sebagaimana sebelumnya. Beliau bersabda, “Kuda itu ada tiga macam, kuda yang dapat mendatangkan dosa bagi pemiliknya, kuda yang dapat menutupi hajat (kebutuhan) pemiliknya, dan kuda yang dapat mendatangkan pahala bagi pemiliknya…..!!”
Kemudian Nabi SAW menjelaskan, bahwa kuda yang mendatangkan dosa adalah kuda yang dipelihara dengan maksud untuk sombong dan menjadi kebanggaan semata-mata. Dan juga yang digunakan untuk memerangi dan memusuhi Islam.
Kuda yang dapat menutupi hajat, adalah kuda yang dipergunakan untuk kepentingan pada jalan-jalan yang diridhai Allah, dan ia tidak melupakan hak dan kewajiban pemeliharaannya. Termasuk zakat dari harta/uang yang terkumpul dari hasil “pemanfaatan” kuda-kudanya tersebut, setelah cukup Nisab dan Haulnya.
Kuda yang dapat mendatangkan pahala adalah kuda yang dipergunakan untuk berjihad di jalan Allah dan untuk kepentingan umat Islam. Kuda semacam ini, jika ia dilepas pada suatu padang rumput atau kebun, kemudian ia makan sesuatu yang ada di situ, maka apa yang dimakan itu menjadi kebaikan (khasanat) bagi pemiliknya. Bahkan kotoran dan air kencingnya juga mempunyai nilai kebaikan di sisi Allah. Bila kuda itu terlepas dari kekangnya kemudian ia lari atau meloncat-loncat, maka jumlah langkahnya itu akan dicatat Allah sebagai kebaikan bagi pemiliknya. Jika kuda dibawa melalui sungai dan ia minum airnya, walaupun pemiliknya tidak bermaksud untuk memberinya minum, maka Allah akan mencatat air yang diminumnya itu sebagai kebaikan bagi pemiliknya.
Kuda pada penjelasan ketiga ini bisa dikatakan sebagai kendaraan atau tunggangan yang dipergunakan di jalan Allah. Karena itu bisa juga “dianalogikan” dengan alat-alat transportasi pada jaman ini, yang jika digunakan dan diinfaqkan pada jalan Allah dan kepentingan umat Islam, insyaallah akan membuahkan banyak sekali kebaikan bagi pemiliknya sebagaimana dijelaskan Rasulullah SAW tersebut.
Ternyata masih ada saja seorang sahabat yang bertanya berkaitan dengan penjelasan beliau itu, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau memiliki keledai?”
Dan jawaban Nabi SAW mencerminkan sifat kejujuran dan ‘keshiddiqan’ sekaligus masih dihubungkan dengan masalah akhirat seperti sebelumnya, beliau bersabda, “Tentang keledai tidak diturunkan wahyu kepadaku yang menjelaskannya, kecuali suatu ayat yang bersifat umum, yakni : Faman ya’mal mistqoola dzarratin khoiron yarah, waman ya’mal mitsqoola dzarratin syarron yarah (Barang siapa yang berbuat kebaikan seberat dzarrah (atom) pastilah ia akan melihat balasannya, dan barang siapa yang berbuat kejahatan seberat dzarrah pastilah ia akan melihat balasannya pula)…”

Rabu, 07 Maret 2012

Menyantuni Tetangga dan Anak Yatimnya

Abdullah bin Mubarak, termasuk salah seorang ulama salaf (masa-masa setelah wafatnya Rasulullah SAW dan berakhirnya Khulafaur Rasyidin, yang masih mengikuti jalan dan teladan Rasulullah SAW dan para sahabat beliau), ketika selesai menjalankan ibadah haji, ia sempat tertidur di Baitullah tidak jauh dari Ka’bah. Tiba-tiba ia melihat suatu pemandangan dimana dua malaikat turun dari langit menuju area thawaf. Salah seorang dari mereka berkata, “Berapa orang yang berhaji tahun ini?”
Malaikat satunya berkata, “Enamratus ribu orang!!”
“Berapakah yang diterima hajinya?”
“Tidak seorangpun!!”
“Tidak seorangpun??” Tanya malaikat yang pertama, seakan tidak percaya.
Malaikat kedua berkata lagi, “Tetapi seorang tukang sol sepatu/sandal di Damaskus bernama Muwafiq yang tidak jadi berhaji, justru diterima hajinya oleh Allah. Dan berkah dari diterimanya hajinya Muwafiq ini, diterimalah semua ibadah haji pada tahun ini!!”
Abdullah bin Mubarak segera terbangun, dan terheran-heran dengan mimpi yang dialaminya. Benarkah seperti itu keadaannya? Tidak ada pilihan lain, kecuali membuktikan adanya seorang tukang sol sepatu/sepatu yang bernama Muwafiq tersebut. Dari Makkatul Mukarramah, Ibnu Mubarak tidak langsung pulang, tetapi memacu tunggangannya menuju Damaskus di Syam (Syiria).
Setibanya di sana, ia mencari tahu tentang Muwafiq tersebut, dan ternyata tidak terlalu kesulitan. Profesinya sebagai tukang sol sepatu/sandal selama puluhan tahun membuatnya ia banyak dikenal oleh orang-orang di Damaskus. Setelah ditunjukkan rumahnya dan bertemu dengan Muwafiq, Ibnul Mubarak tidak melihat sesuatu yang istimewa pada dirinya, hanya seorang lelaki sederhana, bahkan cenderung miskin, tetapi tampak jelas ketulusan dan keikhlasan pada sinar wajahnya.
Setelah dipersilahkan duduk dan memperkenal diri, Ibnul Mubarak berkata, “Kebaikan apakah yang engkau kerjakan sehingga engkau memperoleh derajad yang tinggi di sisi Allah?”
Muwafiq tampak tidak mengerti dengan pertanyaannya tersebut, dan berkata, “Ada apakah gerangan? Tiba-tiba engkau menemuiku dan bertanya seperti itu?”
Kemudian Abdullah bin Mubarak menceritakan kalau ia baru saja selesai berhaji dan mengalami mimpi seperti yang dialaminya tersebut, yang kemudian membawa langkahnya untuk menemuinya. Mata Muwafiq tampak berkaca-kaca penuh haru, dan ia hanya bisa mengucap hamdalah sebagai ungkapan rasa syukurnya. Tanpa disadarinya, menitik air matanya karena begitu bahagianya.
Setelah Muwafiq mulai bisa menguasai emosinya kembali, ia bercerita kalau sejak lama ia sangat ingin berhaji. Tetapi karena keadaannya miskin, ia harus menabung dan menyisihkan penghasilannya selama bertahun-tahun. Tahun ini ia telah mengumpulkan tigaratus dirham, cukup untuk perjalanan hajinya dan bekal kehidupan keluarga yang ditinggalkannya.
Suatu ketika, istrinya yang sedang hamil, mencium bau masakan dari rumah tetangganya. Layaknya seorang hamil muda yang ngidam, ia sangat ingin merasakan masakan tetangganya tersebut. Muwafiq telah membujuknya untuk membuatkan atau membelikan masakan yang sama, tetapi istrinya tetap menolak, kecuali masakan tetangganya itu. Dengan berat hati Muwafiq mendatangi rumah tetangganya tersebut, yang ternyata adalah seorang janda dan anak-anak yatimnya. Begitu dibukakan pintu, Muwafiq berkata, “Wahai ibu, istriku sedang hamil, dan ia membaui masakan engkau dan ingin merasakannya. Bolehkan aku meminta sedikit saja untuk memenuhi keinginannya?”
Tampak kesedihan di mata wanita itu, bahkan hampir menangis, ia berkata, “Wahai Muwafiq, makanan itu halal bagiku tetapi haram bagi engkau!!”
“Mengapa demikian?” Tanya Muwafiq terheran-heran.
Kemudian wanita janda itu menceritakan kalau dia dan anak-anak yatimnya sedang kelaparan. Telah tiga hari lamanya tidak ada makanan apapun yang masuk ke perut mereka kecuali air. Pagi hari itu ia keluar, dan ketika berjalan berkeliling ia melihat seekor keledai yang telah mati. Ia memotong sebagian daging bangkai keledai tersebut dan membawanya pulang, kemudian memasaknya. Bau masakan itulah yang sempat masuk ke rumah Muwafiq, dan membuat istrinya sangat menginginkannya.
Mendengar ceritanya itu, Muwafiq segera pulang dan mengambil simpanan tigaratus dirham yang telah dikumpulkannya selama bertahun-tahun, dan memberikannya kepada janda tersebut. Ia berkata, “Nafkahilah anak-anak yatimmu itu dengan uang ini!!”
Setelah itu ia beranjak pulang, dan ia berkata di dalam hati, “Sesungguhnya haji berada di pintu rumahku!!”
Abdullah bin Mubarak terkagum-kagum dengan cerita Muwafiq tersebut dan berkata, “Shadaqahmu kepada tetangga dan anak yatimnya itulah yang membuat hajimu diterima, dan memberkahi haji kami semua tahun ini, sehingga diterima juga di sisi Allah!!”

Hanya Mengharap Ridho Allah SWT

Abul Qasim Junaid bin Muhammad, seorang ulama sufi yang tinggal di Baghdad, karena itu lebih dikenal dengan nama Junaid al Baghdadi, suatu ketika mengalami sakit mata yang cukup parah. Suatu malam seorang dokter mata dipanggil, dan setelah melakukan pemeriksaan dan pengobatan, sang dokter berkata, “Jika engkau ingin matamu selamat, jangan sampai kena air!!”
Salah satu amalan istiqomah yang tidak pernah ditinggalkan Junaid adalah shalat dua rakaat sebelum tidur. Baginya, ancaman kerusakan mata bila terkena air, tidaklah seberapa beratnya jika dibandingkan kehilangan dua rakaatnya tersebut. Begitu dokter itu pergi, ia segera mengambil air untuk berwudhu dan shalat dua rakaat. Junaid tidak memperdulikan lagi rasa sakit dan resiko yang terjadi dengan matanya, yang terpenting ia tidak meninggalkan amalan istiqomahnya demi untuk memperoleh keridhoan Allah. Setelah itu ia tidur.
Menjelang waktu subuh, Junaid bangun dari tidurnya, dan ia keheranan karena rasa sakit di matanya telah hilang. Bahkan penglihatannya jauh lebih baik dibandingkan sebelum sakit. Dalam keheranannya itu, tiba-tiba ia mendengar suara tanpa wujud (hatif), “Junaid telah berani mengorbankan matanya untuk ridho-Ku. Seandainya para ahli neraka jahanam (yakni orang-orang yang suka bermaksiat kepada Allah) meminta (ampunan) kepada-Ku dengan semangat yang dimiliki Junaid, pastilah Aku akan memenuhi permintaan mereka!!”
Keesokan harinya, dokter mata itu datang lagi untuk memeriksa keadaan Junaid, dan ia terheran-heran karena matanya telah sembuh total. Sang dokter berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan matamu itu?”
“Aku berwudhu dan shalat dua rakaat!!” Kata Junaid.
Dokter itu terkesima dengan jawaban Junaid, berwudhu berarti terkena air, tetapi ternyata matanya malah sembuh. Segera saja ia berkata, “Itu adalah obat dari Tuhan Yang Maha Pencipta, bukan obat dari mahluk. Sesungguhnya akulah yang selama ini sakit mata (hati), dan engkau, wahai Junaid sebagai dokternya!!”
Kemudian dokter mata yang beragama Nashrani itu mengucap syahadat, menyatakan diri memeluk Islam di hadapan Junaid.

Khalifah Ali Membagi Warisan

         Seorang lelaki saleh yang mempunyai tiga orang anak lelaki, dan istrinya telah meninggal, suatu memanggil anak-anaknya dan berkata, “Wahai anak-anakku, kalau kelak aku meninggal, hendaknya kalian tetap rukun dan saling membantu seperti saat ini. Harta peninggalanku, hendaknya engkau bagi sesuai pesanku. Engkau yang tertua, karena telah mapan dan mempunyai penghasilan yang mencukupi, memperoleh seper-sembilannya, engkau yang nomor dua memperoleh seper-tiganya, dan engkau terkecil memperoleh seper-duanya. Tetapi ingatlah, kalian harus tetap rukun dan saling menolong satu sama lainnya. Janganlah bermusuhan hanya karena berebut harta dunia, sesungguhnya kehidupan di dunia itu hanya sesaat…!!”
            Dalam riwayat lain disebutkan, yang tertua, karena kebutuhannya lebih banyak, ia memperoleh seper-duanya, sedang yang terkecil, karena kebutuhannya masih sedikit, ia memperoleh seper-sembilannya. Yang nomor dua tetap memperoleh seper-tiganya.
            Beberapa waktu kemudian lelaki tersebut meninggal dunia. Karena anak-anaknya juga saleh sebagaimana didikan ayahnya, setelah pemakaman ayahnya, mereka menyelesaikan segala tanggungan orang tuanya tersebut. Setelah tidak ada lagi hutang dan tanggungan lainnya, mereka ingin membagi sisa peninggalan (warisan) yang memang menjadi hak mereka bertiga, seperti wasiat ayahnya tersebut.
Mereka menghitung dan ternyata masih tersisa tujuhbelas ekor unta untuk mereka bertiga. Tentu saja mereka kesulitan untuk membaginya sesuai dengan wasiat ayahnya. Mereka mendatangi beberapa orang pintar dan bijaksana untuk bisa membagi sesuai wasiat ayahnya, tetapi mengalami jalan buntu. Sampai akhirnya seseorang menyarankan untuk meminta tolong kepada khalifah Ali.
Mereka mengirim utusan kepada Khalifah Ali dan beliau bersedia membantu kesulitan saudaranya sesama kaum muslim. Didikan Rasulullah SAW sebagai orang yang zuhud dan tawadhu, membuat Khalifah Ali dengan senang hati mendatangi tempat tinggal mereka dengan menunggangi untanya. Setibanya di sana, mereka menceritakan permasalahannya, dan Khalifah Ali dengan tersenyum berkata, “Bawalah unta-unta itu kemari!!”
Setelah unta-unta dikumpulkan di hadapan Khalifah Ali, beliau berkata, “Aku tambahkan untaku dalam harta warisan ini, sehingga jumlahnya menjadi delapanbelas ekor. Wahai engkau yang tertua, ambillah bagianmu, seper-sembilannya, berarti dua ekor unta!!”
Anak yang tertua mengambil bagiannya dua ekor unta. Kemudian Khalifah Ali berkata lagi, “Wahai engkau yang nomor dua, ambillah bagianmu. Sepertiganya, berarti enam ekor unta!!”
Anak kedua mengambil bagiannya enam ekor unta. Dan beliau berkata lagi, “Dan engkau, wahai yang termuda, ambillah bagianmu seper-duanya, berarti sembilan ekor unta!!”
Anak termuda mengambil bagiannya sebanyak sembilan ekor unta, dan ternyata masih tersisa satu ekor, dan Khalifah Ali berkata, “Masih tersisa satu ekor, dan ini memang milikku, maka aku mengambilnya kembali!!’
Sungguh benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW, “Ana madinatul ‘ilmu, wa aliyyun baabuuha!!” (Sesungguhnya saya ini kotanya ilmu, dan Ali adalah pintunya). 

Sabtu, 03 Maret 2012

Allah “Menghiasi” Surga dan Neraka

Ketika Allah telah selesai menciptakan surga dan neraka, Allah berfirman kepada Malaikat Jibril, “Pergilah ke surga, dan lihatlah apa yang telah Aku persiapkan untuk penghuninya di sana!!”
Malaikat Jibril memenuhi perintah tersebut, dan beberapa waktu kemudian ia datang menghadap kepada Allah dan berkata, “Ya Allah, demi segala keagungan-Mu, tidak seorangpun yang pernah mendengar tentang surga tersebut, kecuali ia sangat ingin memasukinya!!”
Kemudian Allah memerintahkan seorang malaikat lainnya untuk menghiasi (menutupi) surga tersebut dengan hal-hal yang tidak disukai, dan berbagai macam perintah peribadatan yang harus dilakukan untuk bisa memasukinya. Setelah semua itu selesai, Allah memerintahkan Malaikat Jibril untuk sekali lagi melihat keadaan surga. Ketika kembali ke hadapan Allah, ia berkata, “Demi segala keagungan-Mu, ya Allah, aku khawatir tidak seorangpun yang akan mampu untuk memasukinya!!”
Setelah itu Allah berfirman lagi kepada Malaikat Jibril, “Pergilah ke neraka, dan lihatlah apa yang telah Aku persiapkan untuk para penghuninya di sana!!”
Malaikat Jibril memenuhi perintah tersebut, dan ia melihat api neraka itu saling menerkam sebagian atas sebagian lainnya. Beberapa waktu kemudian ia datang menghadap kepada Allah dan berkata, “Ya Allah, demi segala keagungan-Mu, tidak seorangpun yang pernah mendengar tentangnya, kecuali ia sangat ingin lari dari neraka tersebut!!”
Kemudian Allah memerintahkan seorang malaikat lainnya untuk menghiasi (menutupi) neraka tersebut dengan hal-hal yang disukai oleh nafsu syahwat, dan berbagai macam kesenangan lainnya yang terlarang secara syara’. Setelah semua itu selesai, Allah memerintahkan Malaikat Jibril untuk sekali lagi mengunjungi neraka. Ketika kembali ke hadapan Allah, ia berkata, “Demi segala keagungan-Mu, ya Allah, aku khawatir tidak ada seorangpun yang akan luput dari padanya, dan mereka akan memasukinya!!”

Malaikat Izrail Terhalang Mencabut Nyawa

          Suatu ketika Malaikat Izrail, malaikat yang bertugas mencabut nyawa mendatangi seorang hamba mukmin karena telah tiba saat ajalnya. Hamba mukmin tersebut sangat baik keimanannya, dan memiliki amalan istiqomah hampir di setiap anggota tubuhnya. Malaikat Izrail bermaksud mencabut ruhnya tersebut dari mulut seperti biasanya, tiba-tiba dari mulut itu keluar perkataan, “Wahai Izrail, tidak ada jalan bagimu untuk mencabut ruhnya dari sini, aku selalu dipergunakan oleh hamba ini untuk berdzikir kepada Allah!!”
            Walaupun Malaikat Izrail biasanya bersifat pemaksa dan tidak bisa dihalangi ketika menjalankan tugasnya, tetapi dalam kasus hamba mukmin yang satu ini, sepertinya ia tidak berkutik dan tidak berdaya. Karena itu ia kembali menghadap Allah melaporkan kegagalannya menjalankan tugas mencabut nyawa, sambil menjelaskan penyebabnya, yang tentunya Allah lebih tahu sebelumnya. Allah SWT hanya berfirman, “Cabutlah nyawanya dari arah yang lain!!”
            Malaikat Izrail mendatangi lagi hamba mukmin tersebut, dan mencoba mencabut nyawanya lewat tangannya. Tetapi seperti sebelumnya, dari tangannya tersebut keluar ucapan, “Wahai Izrail, tidak ada jalan bagimu untuk mencabut ruhnya dari sini, aku selalu dipergunakan oleh hamba ini untuk bersedekah, menyantuni anak yatim, berdakwah dan berjihad di jalan Allah!!”
            Seperti sebelumnya, Izrail tidak berdaya menghadapi hujjah tersebut dan melaporkannya ke hadirat Allah, dan lagi-lagi Allah hanya berfirman, “Cabutlah nyawanya dari arah yang lain!!”
            Beberapa kali Malaikat Izrail mendatangi anggota badan lainnya dari hamba mukmin tersebut, untuk menjadi jalan mencabut nyawanya tetapi ia mengalami kegagalan. Dan ia pulang-balik beberapa kali ke hadirat Allah untuk melaporkannya dan hanya mendapat perintah yang sama.
            Ketika mencoba mencabut nyawanya lewat kakinya, sang kaki berkata, “Wahai Izrail, tidak ada jalan bagimu untuk mencabut ruhnya dari sini, aku selalu dipergunakan oleh hamba ini untuk berjalan ke masjid untuk shalat jamaah, mendatangi majelis-majelis ilmu dan pengajaran, berdebu di jalan Allah (berjihad), dan berbagai macam kebaikan lainnya!!”  
            Ketika mencoba mencabut nyawanya lewat telinganya, sang telinga berkata, “Wahai Izrail, tidak ada jalan bagimu untuk mencabut ruhnya dari sini, aku selalu dipergunakan oleh hamba ini untuk mendengarkan Al Qur’an dan pengajaran-pengajaran agama (ta’lim), begitu juga ia banyak berdzikir dengan aku!!’
            Ketika mencoba mencabut nyawanya lewat matanya, sang mata berkata, “Wahai Izrail, tidak ada jalan bagimu untuk mencabut ruhnya dari sini, aku selalu dipergunakan oleh hamba ini untuk membaca Al Qur’an dan berbagai macam kitab-kitab tentang keislaman. Begitu juga ia telah banyak melihat tanda-tanda kekuasaan Allah dengan diriku sehingga makin memantapkan keimanannya!!”
            Begitulah, setelah berbagai macam jalan dicoba dan Malaikat Izrail mengalami kegagalan karena hujjah anggota tubuhnya tersebut dengan amalan istiqomah yang dilakukan sang hamba, ia melapor kepada Allah, “Wahai Tuhanku, aku telah dikalahkan (dilumpuhkan) dengan hujjah (alasan-alasan) dari anggota tubuh hamba-Mu yang beriman itu, lalu bagaimana aku harus mencabut nyawanya?”
            Kali ini Allah berfirman, “Tulislah nama-Ku di atas telapak tanganmu dan tunjukkan tulisan itu kepada hamba-Ku itu!!”
            Malaikat Izrail melaksanakan perintah Allah itu dan turun menemui hamba mukmin tersebut. Ia menunjukkan telapak tangannya yang di sana telah tertulis Asma Allah, di depan matanya. Segera saja tampak senyum mengembang dan mata berbinar penuh kerinduan, kemudian ruh hamba mukmin tersebut keluar dengan sendirinya lewat mulutnya, menuju rengkuhan Malaikat Izrail, yang memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Seolah-olah ruh itu mendengar panggilan Allah : Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji’ii ilaa rabbiki raadhiyatan mardhiyyah, fadkhulii fii ‘ibaadii, wadkhulii jannatii…

Ketika Malaikat “Dibekali” Hawa Nafsu

            Ketika Allah SWT berkehendak untuk menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi, malaikat melakukan “protes” tentang tindakan merusak dan kemaksiatan yang akan dilakukan oleh manusia, sebagaimana yang telah dilakukan oleh jenis jin yang telah mendiami bumi. Bahkan para malaikat ini agak membanggakan diri dengan berkata, “Ya Allah, mengapakah Engkau menciptakan manusia yang akan berbuat kerusakan dan berbuat maksiat di muka bumi, sementara kami selalu bertasbih (memahasucikan, membaca subkhaanallah) dan bertahmid (memuji, membaca hamdalah) serta ber-taqdis (meng-qudus-kan, menyucikan dan membersihkan Engkau dari hal yang tidak layak)”
            Tentu saja para malaikat itu tidak tahu, bahwa ketika Allah berkehendak menciptakan alam semesta dan segala isinya, hanyalah karena kecintaan-Nya kepada ar-Ruh al-Muhammadiyah, ruh Nabi Muhammad SAW yang nantinya “ditiupkan” pada mahluk berjenis manusia, jenis mahluk yang “diputuskan” Allah sebagai yang termulia. Maka, kebanggaan para malaikat itu, dijawab Allah dengan kesombongan yang memang hanya pantas untuk-Nya dan bukan selain-Nya, dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui!!”
            Allah al Khaliq, hanya Allah yang Maha Pencipta, hanya Allah yang sebenarnya Maha Pencipta skenario kehidupan. Ketika Nabi Adam AS telah diciptakan, Allah berkehendak mengajarkan segala “nama-nama” kepadanya, kemudian dikonfrontasikan dengan malaikat dalam suatu forum semacam “cerdas-cermat”. Tentu saja para malaikat tidak berkutik dan kalah telak dalam “pertandingan” tersebut, karena Allah memang tidak mengajarkan hal-hal itu kepadanya. Dan puncaknya, para malaikat diperintahkan untuk bersujud kepada Adam, bukan sujud ubudiyah, tetapi sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan kemuliaan Adam sebagaimana dikehendaki Allah SWT. Mereka semua patuh bersujud kepada Adam kecuali Iblis, yang tetap bertahan dengan kesombongannya.
            Kisah tersebut di atas telah sangat kita kenali karena diabadikan dalam beberapa ayat Al Qur’an, antara pada Surat Al Baqarah ayat 30-34. Berlalulah waktu, Nabi Adam AS telah turun ke bumi dan anak keturunannya mulai banyak dan menyebar. Tindakan ‘kriminal’ diawali oleh Qabil yang membunuh adiknya Habil, yang kemudian terus berkembang dan meluas, bahkan tindakan merusak lainnya dilakukan oleh anak cucu Adam. Bisa jadi lebih parah daripada yang dilakukan oleh para jin, ketika diserahi untuk ‘mengelola’ bumi sebelumnya.
Melihat ‘pemandangan’ di bumi seperti itu, dalam suatu ‘forum’ sekali lagi para malaikat itu melontarkan pertanyaan yang bernada protes kepada Allah seperti sebelumnya, “Ya Rabbi, apakah Engkau jadikan di bumi itu orang-orang yang merusak dan menumpahkan darah, padahal kami tetap bertasbih dan bertahmid, selalu men-sucikan dan memuji-muji Engkau?”
            Dan sebagaimana pada awal penciptaan Nabi Adam, Allah SWT hanya berfirman, “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui!!”
            Para malaikat berkata, “Kami lebih taat kepada-Mu daripada anak Adam, Ya Allah!!”
            Para malaikat itu lupa, kalau mereka selama ini selalu taat dan beribadah, itu karena Allah telah melakukan “setting” seperti itu. Mereka selalu taat karena memang Allah menghendaki mereka “hanya” untuk taat, tidak diberikan pilihan lain. Berbeda dengan jin dan manusia yang memang diberikan Allah “kemampuan” memilih perbuatan yang diinginkannya, diberikan sebagian sangat kecil dari sifat-sifat Allah seperti berkehendak, berkuasa, mengetahui dan beberapa sifat lainnya, dalam rangka mengemban tugas sebagai “khalifah” di bumi. Termasuk juga dibekali dengan hawa nafsu untuk memelihara kelangsungan hidup manusia, dengan segala macam konsekwensinya.
            Allah SWT yang tentunya sangat memahami “kegalauan” para malaikat tersebut, berkehendak untuk melanjutkan “kompetisi” yang pernah terjadi antara mereka dengan Adam, Dia berfirman, “Pilihlah dua malaikat di antara kalian, untuk menjalani ujian sebagaimana anak Adam menjalani ujian kehidupan di bumi, dan perhatikanlah apa yang akan mereka lakukan!!”
            Para malaikat memilih dua di antara mereka yang sangat saleh dan cukup dekat kedudukannya dengan Allah, mereka berkata, “Inilah dia ya Allah, Harut dan Marut!!”
            Allah “membekali” dua malaikat tersebut dengan hawa nafsu sebagaimana anak Adam, dan diperintahkan untuk turun ke bumi dan bergaul dengan manusia.
            Tentu saja pada awalnya mereka berdua tampak sangat alim dan abid, hawa alam malakut masih cukup kental mewarnai mereka berdua. Beberapa waktu berlalu, Allah SWT mempertemukan mereka dengan seorang wanita yang sangat cantik bernama Azzahrah. Walau penampilan dua malaikat tersebut sangat sempurna, tetapi Azzahrah sama sekali tidak tertarik. Sebaliknya dengan dua malaikat tersebut, tampaknya “bekal” nafsu yang diberikan Allah kepada keduanya telah mulai bekerja. Dua malaikat yang sangat taat kepada Allah ketika berada di alam malakut ini, tergila-gila dan merayu Azzahrah untuk menjadi istrinya, tetapi wanita tersebut tidak bergeming, memang dikehendaki Allah seperti itu. Tetapi dorongan nafsu yang pertama kali dirasakannya itu, bukan mereda dengan penolakan Azzahrah, justru berkobar-kobar.
Azzahrah memang dijadikan Allah khusus untuk menguji malaikat Harut dan Marut, sekaligus pembelajaran bagi para malaikat lainnya yang menonton secara “live” kiprah dua malaikat yang telah dibekali nafsu, sebagaimana manusia tersebut. Ketika keduanya makin memaksa, Azzahrah berkata, “Baiklah kalau demikian, aku setujui permintaan kalian, tetapi kalian harus memenuhi syarat-syaratku!!”
“Apakah syaratnya?”
“Kalian harus mengucapkan kalimat-kalimat syirik!!”
“Demi Allah, kami tidak akan menyekutukan Allah selama-lamanya!!” Kata keduanya, “Berikanlah kami syarat yang lainnya!!”
“Baiklah kalau begitu!” Kata Azzahrah. Ia beranjak pergi, dan sesaat kemudian ia datang dengan membawa seorang anak kecil, dan berkata kepada keduanya, “Bunuhlah anak kecil ini, dan aku akan menuruti kemauanmu!!”
“Demi Allah, kami tidak akan pernah membunuh manusia selamanya!!” Kata Harut dan Marut, “Berikanlah kami syarat yang lainnya!!”
“Baiklah kalua begitu!” Kata Azzahrah. Ia beranjak pergi, dan sesaat kemudian ia datang dengan membawa seorang anak kecil, dan berkata kepada keduanya, “Bunuhlah anak kecil ini, dan aku akan menuruti kemauanmu!!”
“Baiklah kalau begitu!” Kata Azzahrah. Ia beranjak pergi, dan sesaat kemudian ia datang lagi dengan membawa dua gelas minuman keras (khamr), dan berkata, “Demi Allah, aku tidak akan pernah menuruti kemauan kalian berdua kecuali jika kalian mau meminum khamr ini!!”
Dua malaikat itu mulai mempertimbangkan pilihan ketiga ini. Mereka tahu bahwa minum khamr memang dilarang, tetapi dalam pengertian dan logikanya, dosanya tidaklah seberapa jika dibandingkan dosa membunuh seorang anak dan musyrik. Karena dorongan nafsu yang telah memuncak, mereka memenuhi permintaan Azzahrah minum khamr yang dibawanya tersebut.
Tidak terlalu lama, reaksinya langsung terlihat. Kalau tadinya mereka bermaksud untuk menikahi Azzahrah, dengan tumpulnya akal karena pengaruh khamr, dorongan nafsunya yang lebih mengedepan. Melihat kecantikan Azzahrah yang begitu menggoda, apalagi tidak ada penolakan karena keduanya memenuhi permintaannya minum khamr, mereka terlibat perzinahan dengan Azzahrah. Ketika mereka menyadari ada anak kecil yang menyaksikan perbuatannya itu, mereka berdua membunuhnya. Dan tanpa sadar pula, mereka mengucapkan kalimat-kalimat yang menunjukkan kesyirikan kepada Allah.
Beberapa waktu kemudian pengaruh khamr itu berangsur menghilang, dan kedua malaikat itu kembali kepada akal sehatnya. Azzahrah berkata kepada keduanya, “Tahukah kalian, apa yang telah kalian lakukan waktu kalian mabuk?”
“Apa yang kami lakukan?”
“Demi Allah, semua yang kalian menolaknya itu, kalian telah melakukannya. Kalian telah berzina denganku, kemudian kalian membunuh anak kecil itu, dan kalian juga mengucapkan kalimat-kalimat yang mengandung kesyirikan!!”
Setelah mengucapkan itu, Azzahrah berlalu pergi, dan kedua malaikat itu, Harut dan Marut menangis penuh sesal. Keduanya dipanggil kembali menghadap Allah dan diizinkan memilih untuk menebus kesalahannya tersebut dengan azab dunia atau azab akhirat. Mereka berdua memilih untuk diazab waktu di dunia ini. Dan setelah peristiwa tersebut, para malaikat tidak pernah lagi mempertanyakan atau memprotes “kebijakan” yang diambil Allah, seburuk apapun yang dilakukan oleh anak Adam.
Tidak ada penjelasan pasti, bagaimana bentuk azab yang dialami oleh mereka berdua. Kalau kita mempelajari QS Al Baqarah ayat 102, disana disebutkan bahwa dua malaikat yang diturunkan di daerah Babilon, Irak, bernama Harut dan Marut mengajarkan sihir. Jin kafir (syaitan) dan manusia yang ingkar mempelajari ilmu sihir tersebut dari mereka berdua, walau sebelum mengajarkannya, Harut dan Marut selalu berkata atau memberi nasehat, “Sesungguhnya kami ini adalah fitnah (ujian), karena itu janganlah kalian ingkar!!”
Tampak sekali kontradiksinya, bahwa kedua malaikat itu mengajarkan sesuatu yang sebenarnya mereka berdua tidak ingin mengajarkannya. Tetapi ketika syaitan dan manusia yang fasiq dan ingkar memaksa untuk mempelajarinya (berguru), kedua malaikat itu tidak berdaya menolaknya. Padahal mereka tahu, dengan ilmu yang diajarkannya tersebut (yakni ilmu sihir), manusia dan syaitan akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, bahkan cenderung kepada kesyirikan. Termasuk misalnya memisahkan/menceraikan seseorang dari istrinya.
             Bisa jadi apa yang dijabarkan oleh QS Al Baqarah 102 itu merupakan “azab” yang memang harus ditanggung oleh Harut dan Marut. Bisa dibayangkan, bagaimana tersiksanya perasaan kita jika kita “dipaksa” melakukan sesuatu yang kita tidak ingin melakukannya, atau kita benci melakukannya. Begitulah dengan dua malaikat tersebut, yang sebelumnya selalu menjalankan ketaatan, selalu bertasbih, bertahmid dan bertashdiq (meng-qudus-kan) kepada Allah, tiba-tiba diperintahkan (dipaksa) mengajarkan sesuatu (yakni sihir), yang dengan sesuatu itu manusia dan jin jadi ingkar dan maksiat kepada Allah, bahkan terjatuh dalam kemusyrikan. Seolah-olah Allah memaksa “melibatkan” keduanya dalam perbuatan yang dilarang oleh Allah. Wallahu A’lam.