Selasa, 14 Mei 2013

Karena Kesabaran Menghadapi Istrinya

            Seorang yang saleh mempunyai saudara yang tempat tinggalnya sangat jauh, karena itu jarang sekali ia bisa mengunjunginya. Setelah beberapa tahun tidak bertemu, ia datang mengunjunginya. Tetapi tampak rumahnya tertutup, maka ia mengetuk pintunya dan mengucap salam. Terdengar suara ketus seorang wanita dari dalam rumah, yang mungkin istrinya, “Siapa??”
            Ia berkata, “Aku saudara suamimu, datang dari jauh untuk menjenguknya!!”
            Tanpa membukakan pintu, terdengar suaranya yang ketus lagi, “Ia masih pergi mencari kayu, semoga saja Allah tidak mengembalikannya lagi ke sini….”
            Kemudian masih diteruskan dengan berbagai macam caci-maki kepada saudaranya itu. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarnya. Ia tahu betul bahwa saudaranya itu juga saleh seperti dirinya, karena memang begitulah kedua orang tuanya dahulu mendidiknya. Segala macam umpatan dan cacian itu mungkin salah sasaran kalau ditujukan kepada saudaranya itu.
            Ia memutuskan untuk menunggu dan tidak berapa lama saudaranya itu datang. Saudaranya itu memang mencari kayu, tetapi ia tidak membawanya sendiri, seekor harimau yang cukup besar berjalan di belakangnya sambil ‘menggendong’ kayu tersebut. Setelah kayu diturunkan dari punggung sang harimau, saudaranya itu berkata, “Pergilah, semoga Allah memberkahi dirimu!!”
            Harimau itu berlalu pergi dengan patuhnya, dan pemandangan itu membuatnya terkagum-kagum. Tampaknya saudaranya itu telah mencapai maqam yang cukup tinggi di sisi Allah, hingga mempunyai ‘karamah’ bisa memerintah binatang buas.
            Saudaranya itu mengajaknya masuk, dan meminta dengan lemah lembut kepada istrinya untuk menyiapkan makanan bagi mereka. Sang istri memenuhi perintahnya dengan sikap yang kasar, dan mulutnya tidak henti-hentinya mengomel. Sebaliknya, ia melihat saudaranya itu hanya diam dan terlihat sangat lapang, tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Sama sekali tidak ada sikap marah dan tersinggung dengan perkataan istrinya yang sangat menusuk perasaan, bahkan tampak sekali saudaranya itu nyaman dan bahagia dengan keadaaannya. Karena itu ia urung untuk menanyakan keadaan rumah tangganya, seperti keinginannya semula.
            Dengan keadaan seperti itu, ia tidak ingin berlama-lama untuk tinggal. Ia pamit pulang, tetapi sepanjang perjalanan tidak habis-habisnya ia memikirkan keadaan saudaranya itu. Di satu sisi ia mempunyai ‘karamah’ yang begitu mengagumkan, tetapi di sisi lainnya, ia menghadapi sikap istrinya yang begitu buruk.
            Beberapa tahun berlalu dan tidak bertemu, ia datang lagi mengunjungi saudaranya itu. Sampai di rumahnya yang tampak tertutup, ia mengetuk pintunya dan mengucap salam. Maka terdengar suara seorang wanita, yang mungkin adalah istri saudaranya itu, “Siapa??”
            Kali ini suara itu begitu lembut dan santun, sangat berlawanan suara wanita bertahun sebelumnya. Ia berkata, “Aku adalah saudara suamimu, datang dari jauh untuk menjenguk keadaannya!!”
            Suara santun wanita itu terdengar lagi, “Selamat datang, suamiku sedang mencari kayu di hutan. Silahkan untuk menunggu, tetapi mohon maaf aku tidak bisa membukakan pintu hingga suamiku pulang!!”
            Ia berkata, “Tidak mengapa, biar saja aku menunggu di luar!!”
            Kemudian ia terlibat pembicaraan singkat lewat pintu yang tertutup, dan istri saudaranya itu memuji-muji kebaikan dan kesalehan suaminya itu setinggi langit, dan menyatakan rasa syukurnya karena bisa menjadi istrinya.
            Tidak lama kemudian saudaranya itu datang, tetapi yang mengherankannya tidak ada harimau yang membawakan kayunya seperti dahulu. Ia memikul sendiri tumpukan kayu tersebut, tampak kelelahan dan keringat mengalir di wajahnya, tetapi masih dengan kelapangan dan rasa bahagia yang sama seperti bertahun sebelumnya. Mendengar suaranya itu, sang istri langsung membuka pintu dan menyambut kedatangannya dengan santun dan hormatnya.
            Saudaranya itu mengajaknya masuk, dan ternyata makanan telah terhidang, maka mereka langsung menyantap makanan yang disediakan istrinya tersebut. Sambil makan ia berkata, “Wahai saudaraku, apakah yang terjadi? Apakah engkau telah kehilangan ‘karamah’mu yang dahulu?”
            Masih dengan kelapangan hati dan pancaran rasa bahagia yang sama seperti bertahun sebelumnya, saudaranya itu berkata, “Wahai saudaraku, dahulu itu Allah SWT memberikan istri yang cerewet dan rendah akhlaknya kepadaku, dan aku ikhlas menerimanya. Karena kesabaranku menghadapinya, maka Allah mendatangkan harimau untuk membantuku. Beberapa bulan yang lalu istriku yang cerewet itu meninggal, dan sejak itu pula harimau itu tidak membantuku lagi, dan aku harus memikul sendiri kayu-kayu itu. Namun demikian, Allah tetap memberikan ‘karamah’ lainnya kepadaku, yakni istri yang cantik dan masih muda, serta sangat baik akhlaknya dan tekun ibadahnya!!”
            Dalam riwayat lain disebutkan, saudaranya yang saleh itu adalah seorang pandai besi. Ia mencari kayu untuk membakar besi-besi yang diolahnya. Ketika ia masih beristri yang cerewet dan ia bersabar atasnya, bukan hanya harimau yang membawakan kayunya, tetapi ia memegang besi yang dibakarnya langsung dengan tangannya. Tetapi ketika Allah telah menggantinya dengan istri yang salehah, cantik, masih muda dan berakhlaqul karimah, ia harus memegang besi yang dibakarnya dengan penjepit, kalau tidak tangannya akan melepuh.
           
Note:ii604

Tidak Bersekutu dalam Kedzaliman

            Suatu ketika dua orang ulama dari kalangan Tabiin (atau mungkin Tabiit-tabiin), Ibnu Thawus dan Malik bin Anas dipanggil untuk menghadap Khalifah Abu Ja’far Al Manshur. Khalifah ke dua dari Daulah Bani Abbasiah ini terkenal dengan kekejamannya dalam menegakkan kekuasaannya, tetapi pada waktu itu ilmu-ilmu keislaman juga mulai berkembang dengan pesatnya, baik itu Fikih, Hadits, Tafsir, dan lain-lainnya. Sebenarnya dua ulama itu kurang senang dengan panggilan tersebut, tetapi mengingat kekejamannya, mereka berdua mendatanginya juga.
            Mereka masuk ke majelis al Manshur, dan dipersilahkan duduk pada tempat yang telah disediakan. Ternyata saat itu sang khalifah tengah bersiap mengeksekusi (menghukum mati) seseorang, sang algojo dengan pedang yang terasah tajam siap menerima perintah. Al Manshur tampak terpekur beberapa saat, kemudian menoleh dan berkata kepada Ibnu Thawus, “Ceritakan kepadaku sesuatu tentang ayahmu!!”
            Tanpa rasa takut dan tedeng aling-aling, Ibnu Thawus berkata, “Aku mendengar ayahku berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang yang menyekutukan Allah dalam hukum-Nya, lalu memasukkan ketidak-adilan dalam keadilan-Nya!!”
            Tentu saja Ibnu Thawus sangat tahu apa yang dikatakannya, dan resikonya karena dikatakan di hadapan penguasa yang sangat terkenal kekejamannya. Tetapi seperti yang pernah disabdakan Nabi SAW, bahwa jihad terbesar adalah kalimat yang benar (haq), yang disampaikan di hadapan penguasa yang dzalim. Malik bin Anas (yakni Imam Malik, yang ‘menyusun’ madzab Maliki dan kitab hadist yang pertama al Muwaththa’) juga khawatir dengan perkataannya itu, jangan-jangan Al Manshur memerintahkan algojonya untuk membunuh Ibnu Thawus. Karena itu ia menutupi dirinya dengan jubahnya agar tidak terpercik darah Ibnu Thawus.
            Tetapi beberapa saat berlalu, ternyata Al Manshur hanya diam terpekur, kemudian berkata lagi, “Wahai Ibnu Thawus, berilah aku nasehat!!”
            “Baiklah,” Kata Ibnu Thawus lagi, “Tidakkah engkau mendengar Firman Allah SWT : Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum Ad? Penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Firaun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negerinya, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab (yakni siksa yang sepedih-pedihnya), sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi!!”
            Kekhawatiran Imam Malik makin meningkat saja. Kalau tadi Ibnu Thawus ‘mengancam’ sang khalifah dengan hadist Nabi SAW, kini meningkatkan ‘ancamannya’ dengan Firman-firman Allah yang tercantum dalam QS Al Fajr ayat 6-14. Lagi-lagi Imam Malik menangkupkan jubahnya kalau-kalau terjadi sesuatu dengan Ibnu Thawus, yakni dibunuh, dan darahnya akan memercik pada dirinya.
            Tetapi seperti sebelumnya, khalifah Al Manshur hanya terpekur mendengar perkataan Ibnu Thawus tersebut, yang jelas-jelas mengkritisi, bahkan mencela ‘kebijakan tangan besi’ yang telah dilakukannya. Ia seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri, kemudian berkata, “Wahai Thawus berikanlah (pinjamilah) tinta (pena/pulpen) kepadaku!!”
            Mungkin maksud Al Manshur akan mencatat perkataan atau nasehatnya tersebut, tetapi lagi-lagi Ibnu Thawus menolak memberikannya. Maka sang khalifah berkata, “Apa yang menghalangimu untuk memberikan tinta itu kepadaku??”
            Walau nilai atau harga tinta tidaklah seberapa, bahkan mungkin tidak ada nilainya sama sekali bagi Al Manshur, tetapi Ibnu Thawus punya alasan sendiri. Ia berkata, “Aku khawatir kamu menuliskan perintah kemaksiatan (kedzaliman), maka aku bersekutu (terlibat) denganmu dalam kemaksiatan itu!!”
            Al Manshur tampak jengkel dengan perkataan Ibnu Thawus itu, tetapi entah mengapa ia tidak bisa atau tidak berani bersikap kejam kepadanya. Ia berkata, “Pergilah kalian dariku!!”
            Maka Ibnu Thawus berkata, “Itulah yang memang kami harapkan!!”
                   
Note:bbck443tk312