Senin, 24 September 2012

Kesabaran di Jalan Allah

            Di masa nabi-nabi terdahulu, sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, ada seorang rahib yang menghabiskan waktunya hanya untuk beribadah kepada Allah di biaranya. Begitu gencarnya beribadah sehingga ia mencapai derajad keimanan yang tinggi, beberapa malaikat diijinkan Allah untuk mengunjunginya pagi dan sore hari, untuk menanyakan keperluannya. Tetapi tidak ada yang dimintanya, kecuali sekedar makanan dan minuman untuk bisa membuatnya tetap kuat beribadah. Maka Allah menumbuhkan pohon anggur di biaranya, yang buahnya bisa dipetiknya setiap kali ia membutuhkan. Jika merasa haus, ia cukup menadahkan tangan ke udara, maka akan mengucur air dari udara untuk minumannya.
            Tetapi tidak ada keimanan yang sebenarnya, kecuali harus mengalami pengujian. Allah telah berfirman dalam Al Qur’an Surat Al Ankabut ayat 2 dan 3, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami (Allah) telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
            Begitu juga yang terjadi pada sang rahib. Pada suatu malam datang seorang wanita sangat cantik, berseru di depan biaranya, “Wahai pendeta, saya mohon pertolonganmu. Demi Tuhan yang engkau sembah, berilah aku tempat bermalam karena rumahku sangat jauh…!!”
            Sebagai seseorang yang berakhlak mulia, segera saja sang rahib berkata, “Naiklah, silahkan bermalam di tempat ini!!”
            Wanita itu masuk ke dalam biara. Mungkin memang dikehendaki Allah untuk menjadi ‘batu ujian’ bagi sang rahib, tiba-tiba ia merasakan cinta dan suka kepada sang rahib yang tampak sangat sederhana tetapi menenangkan itu, perasaan gairah yang menggelora seakan tidak tertahankan. Untuk menarik perhatian dan membangkitkan nafsu sang rahib, wanita itu melepaskan semua pakaiannya, kemudian berlenggak-lenggok di depannya.
            Sang rahib segera menutup matanya dengan kedua tangannya, dan berkata, “Kenakanlah kembali pakaianmu, janganlah telanjang!!”
            Wanita itu berkata, “Saya sangat ingin bersenang-senang denganmu malam ini!!”
            Bagaimanapun juga sang rahib itu masih lelaki yang normal. Nafsunya terbangkitkan ketika sepintas melihat keindahan tubuh dan mendengar keinginan wanita itu, karena itu terjadi perdebatan di dalam dirinya, antara akal sehat (kalbu)-nya dan nafsunya. Dan dengan kehendak Allah, wanita itu bisa ‘mendengarkan’ perdebatan tersebut.
             Akal sehatnya berkata, “Bertaqwalah kepada Allah!!”
            Sang nafsu berkata, “Ini kesempatan emas, kapan lagi engkau bisa bersenang-senang dengan seorang wanita yang secantik ini!!”
            Akal sehatnya berkata, “Celaka dirimu, engkau akan menghilangkan ibadahku, dan akan merasakan kepadaku pakaian aspal dari neraka. Aku khawatirkan atasmu siksaan api neraka yang takkan pernah padam, siksaan yang tidak pernah terhenti, bahkan lebih berat dari semua itu, aku sangat takut akan kemurkaan Allah, dan kehilangan keridhaan-Nya…!!”
            Tetapi sang nafsu terus saja merayunya untuk mau melayani keinginan wanita cantik itu. Ia terus merengek-rengek seperti anak kecil yang minta dibelikan es oleh ibunya. Akal sehatnya hampir tak mampu lagi mencegah rengekan sang nafsu itu. Maka sang rahib, yakni akal sehatnya, berkata kepada nafsunya, “Kini engkau semakin kuat saja, baiklah kalau begitu!! Aku akan mencoba dirimu dengan api yang kecil, jika engkau memang kuat menahannya, aku akan memenuhi keinginanmu memuaskan dirimu dengan wanita cantik ini!!”
            Lalu sang rahib mengisikan minyak pada lampunya, dan membesarkan nyalanya. Sementara itu sang wanita cantik, yang bisa ‘mengikuti’ percakapan dalam diri sang rahib tampak was-was dan khawatir. Benar saja yang dikhawatirkan, sang rahib memasukkan jari-jari tangannya ke dalam api. Pertama ibu jarinya terbakar, kemudian telunjuk, menyusul kemudian jari jemarinya yang lain. Melihat pemandangan yang mengerikan itu, sang wanita tak kuat menahan perasaannya. Antara tidak tega dan mungkin ketakutan akan siksa neraka sebagaimana digambarkan oleh akal sehat sang rahib, kemudian ia menjerit keras sekali, begitu kerasnya hingga jantungnya berhenti berdetak dan ia meninggal seketika.
            Begitu melihat wanita itu mati, nafsunya segera saja padam. Sang rahib menutupi jenazah wanita itu dengan kain dan ia mematikan lampunya. Tanpa memperdulikan tangannya yang sakit akibat terbakar, sang rahib meneruskan shalat dan ibadahnya.
            Keesokan harinya, Iblis yang menjelma menjadi salah seorang penduduk kampung itu menyebarkan berita kalau sang rahib telah berzina dan membunuh wanita yang dizinainya. Kabar itu sampai di telinga sang raja, yang segera saja mendatangi sanga rahib beserta pengawal dan bala tentaranya. Sampai di biara, sang raja berkata, “Wahai rahib, dimanakah Fulanah binti Fulan (yakni wanita cantik itu) ??”
            Rahib berkata, “Ia ada di dalam biara!!”
            Raja berkata, “Suruhlah ia keluar!!”
            Rahib berkata, “Ia telah mati!!”
            Raja berkata dengan murka, “Biadab sekali engkau ini, tidak cukup engkau menzinainya, bahkan engkau membunuhnya setelah itu!!”
            Maka raja memerintahkan pengawalnya untuk menangkap dan mengikat sang rahib, tanpa mau mendengarkan alasan dan penjelasannya lebih lanjut. Mungkin fitnah yang disebarkan oleh iblis yang merupa sebagai penduduk kampung itu begitu hebatnya, sehingga sang raja tidak lagi mau mendengar penjelasan peristiwa itu dari sisi sang rahib. Mereka membawanya ke alun-alun dimana hukuman biasa dilaksanakan, jenazah wanita itu dibawa serta seolah-olah sebagai saksi atas kejahatan yang dilakukan kepadanya.
            Dengan kaki, tangan dan leher terikat, sang algojo meletakkan gergaji di atas kepalanya. Ketika gergaji mulai membelah batok kepalanya, sang rahib sempat mengeluh pelan. Seketika itu Allah memerintahkan Malaikat Jibril turun ke bumi, sambil berfirman, “Katakan kepada rahib itu, janganlah mengeluh untuk kedua kalinya, karena sesungguhnya Aku melihat semua itu. Katakan juga kepadanya bahwa kesabarannya (sejak ia digoda sang wanita cantik hingga saat itu), telah membuat penduduk langit menangis, begitu juga dengan hamalatul arsy (malaikat penyangga arsy). Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, jika engkau mengeluh sekali lagi, tentulah akan Aku binasakan langit dan Aku longsorkan bumi!!”
            Jibril segera turun dan menyampaikan firman Allah tersebut, maka sang rahib menahan dirinya untuk tidak mengeluh, sesakit apapun yang dirasakannya. Ia tidak ingin menjadi penyebab kemurkaan Allah, sehingga alam semesta ini hancur. Mulutnya terus mengucap dzikr dan istighfar hingga akhirnya malaikat maut menjemputnya.
            Setelah sang rahib wafat, dan banyak sekali orang yang menghinakan dirinya, Allah berkenan mengembalikan ruh sang wanita itu untuk sesaat. Seketika itu sang wanita bangun, yang membuat orang-orang di sekitarnya, termasuk raja dan para pengawal serta bala tentaranya terkejut dan ketakutan. Wanita itu berkata, “Demi Allah, rahib itu teraniaya, dia tidak berzina denganku dan tidak pula dia membunuhku….”
            Kemudian wanita itu menceritakan secara lengkap peristiwa yang dialaminya, dan ia menutup perkataannya dengan kalimat, “…kalau kalian tidak percaya, periksalah tangannya yang dalam keadaan terbakar!!”
            Setelah itu sang wanita meninggal lagi. Mereka segera memeriksa tangan sang rahib, dan benar seperti yang dikatakan wanita tersebut. Mereka menyesal telah bersikap gegabah, sang raja berkata, “Andaikan kami mengetahui yang sebenarnya, tentulah kami tidak akan menggergaji engkau!!”
            Mereka segera merawat dua jenazah tersebut dan menguburkannya dalam satu lubang. Setelah tanah mulai menutupi jenazah keduanya, tercium bau harum kasturi keluar dari lubang kubur tersebut. Kemudian terdengar hatif (suara tanpa wujud), “Allah telah menegakkan mizan (timbangan) dan mempersaksikan kepada para malaikat-Nya : Aku persaksikan kepada kalian semua, bahwa Aku telah mengawinkan mereka dan juga (mengawinkan rahib itu) dengan limapuluh bidadari di surga Firdaus. Demikian itulah balasan bagi orang-orang yang selalu waspada dan bersabar di jalan-Ku!!”

Note:ii731

Syahidnya di Atas Sajadah

Manshur bin Ammar, seorang ulama sufi yang tinggal di daerah Marwa, termasuk wilayah Bashrah, suatu ketika melaksanakan ibadah haji. Dalam perjalanan itu ia singgah dan tinggal di Kufah beberapa waktu lamanya.
Suatu malam ia keluar dari penginapannya dan berjalan menyusuri jalanan yang gelap. Tiba-tiba dari suatu rumah ia mendengar suara seseorang sedang munajat (berdoa), “Ya Rabbi, demi Keagungan dan Kebesaran-Mu, sungguh aku berbuat maksiat itu bukanlah kumaksudkan untuk menentang-Mu, dan bukan juga karena kebodohanku (akan hukum-hukum syariat-Mu), tetapi semua itu terjadi karena kesalahanku, karena kelengahanku, karena aku terlalu mengandalkan Kemurahan-Mu akan menolong keadaanku. Ya Rabbi, betapa bodohnya aku telah berbuat maksiat ini, tetapi terimalah hujjahku (pengakuan dan alasanku), karena jika tidak, kesedihan yang panjang akan selalu menyiksaku!!”
Ibnu Ammar menunggu beberapa saat lamanya, tetapi tidak terdengar lagi lanjutan munajat itu. Seketika itu ia membaca cukup keras, sekiranya bisa didengar oleh orang yang munajat tersebut, salah satu ayat Al Qur’an, “Yaa ayyuhalladziina aamanuu, quu ‘anfusakum wa ahliikum naaron, wa quuduhannaasu wal hijaaratu, ‘alaihaa malaa-ikatun ghilaazhun syidaadun laa ya’shuunallaaha maa amarahum wa yaf’aluuna maa yu’maruun…!!”
Ayat tersebut terdapat pada Al Qur’an surat At Tahrim ayat 6, yang artinya adalah : Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Allah kepada mereka).
Setelah membaca ayat tersebut, Ibnu Ammar mendengar suara jeritan keras serta seruan yang menggetarkan. Tetapi setelah itu ia tidak mendengar suara apapun, karena itu ia berlalu pergi dan kembali ke penginapannya.
Keesokan harinya Manshur bin Ammar kembali melewati rumah itu, dan ia mendengar suara ratap tangis seorang wanita di dalamnya. Beberapa orang tampak datang melayat/bertakziah karena ada yang meninggal di dalam rumah tersebut. Ia mendengar beberapa percakapan, dan wanita yang sedang menangis itu berkata, “Sesungguhnya putraku ini sedang shalat tahajud (qiyamul lail) tadi malam, setelah selesai bermunajat kepada Allah, tiba-tiba terdengar seseorang di luar rumah yang melantunkan ayat tentang ancaman neraka kepada anakku. Mendengar ayat tersebut anakku langsung kejang dan ia meninggal. Semoga Allah tidak memberikan pahala kepada orang yang melantunkan ayat tersebut!!”
Ibnu Ammar sangat terkejut mendengar perkataan tersebut. Ia segera pulang dan menangis penuh penyesalan, tidak disangkanya kalau ayat yang dilantunkannya itu menyebabkan pemuda, yakni putra sang ibu itu meninggal. Mungkin kalau didiagnosa secara medis sekarang ini bisa dikatakan terkena serangan jantung. Rasa terkejut dan takut yang begitu mendadak sehingga jantung berhenti berdetak. Ia terus menerus bertaubat kepada Allah atas ‘kelancangannya’ membacakan ayat sehingga menyebabkan kematian orang lain.
Pada malam harinya, Ibnu Ammar bermimpi bertemu dengan seorang pemuda dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Entah kenapa ia mengenali pemuda itu adalah yang meninggal karena lantunan Surat At Tahrim ayat 6 yang dibacanya. Padahal ia belum pernah bertemu atau mengenal dia sebelumnya, seolah ada bisikan ghaib yang memberitahukan hal itu kepadanya. Ia berkata kepada pemuda itu, “Bagaimana Allah memperlakukan dirimu??”
Pemuda itu berkata, “Allah menganggapku sebagai syuhada’ (mati syahid), sebagaimana para syuhada’ di Perang Badar!!”
Ibnu Ammar menatap pemuda itu penuh ketakjuban, sekaligus keheranan. Ia berkata, “Bagaimana bisa begitu??”
Pemuda itu berkata, “Para syuhada Perang Badar itu ditebas oleh pedang-pedang orang kafir hingga tewas, sedangkan aku tewas ditebas oleh pedang Allah Yang Maha Pengampun!!”
Segera setelah itu Manshur bin Ammar terbangun, ia tidak lagi bersedih, justru bahagia karena telah menjadi jalan bagi pemuda itu memperoleh derajad syahid di sisi Allah.

Note:mu50

Selasa, 11 September 2012

Karena Terlalu Mencintai Dunia

Suatu ketika Nabi Isa AS sedang berjalan bersama para sahabat dan penolong beliau, kaum hawariyyun yang jumlahnya duabelas orang, untuk berdakwah dari satu tempat ke tempat lainnya. Mereka memasuki suatu desa yang tampak kosong, tetapi anehnya para penduduknya meninggal bergelimpangan di jalan-jalan dan di halaman rumahnya. Nabi Isa berkata, “Wahai para hawariku, sesungguhnya orang-orang ini meninggal karena kemarahan (Allah). Seandainya tidak karena hal itu, tentulah mereka masih sempat untuk saling menguburkan satu sama lainnya!!”
Kaum hawariyyun itu berkata, “Wahai kekasih Allah, kami ingin mengetahui cerita tentang mereka ini!!”
Nabi Isa AS berdoa kepada Allah agar diberitahukan kisah penduduk desa tersebut, maka Allah menurunkan wahyu kepada beliau, “Apabila waktu malam telah tiba, panggillah mereka, niscaya mereka akan memenuhi panggilanmu!!”
Pada malam harinya, diikuti para hawariyyun, Nabi Isa naik di tempat yang agak tinggi kemudian beliau berseru, “Wahai penduduk desa!!”
Dan suatu mu’jizat yang memang dianugerahkan Allah kepada Nabi Isa, muncullah dari arah kegelapan desa itu seseorang yang berkata, “Kami memenuhi panggilanmu, wahai kekasih Allah!!”
Setelah orang itu mendekat, Nabi Isa berkata, “Bagaimana keadaanmu, dan bagaimana pula kisahmu??”
Orang itu berkata, “Kami bermalam dalam keadaan sehat wal afiat, tetapi kami bangun pagi-pagi dalam neraka hawiyah!!”
“Bagaimana hal itu bisa terjadi??” Tanya Nabi Isa.
Orang itu menjelaskan, “Semua itu karena kami terlalu mencintai dunia, dan kami patuh kepada orang-orang yang suka berbuat maksiat (ahlul ma’siyah) !!”
Nabi Isa bertanya lagi, “Bagaimana kecintaanmu terhadap dunia??”
Orang itu berkata, “Kami, para penduduk desa ini mencintai dunia sebagaimana seorang anak kecil mencintai ibunya. Jika dunia itu (yakni harta benda duniawiah) datang, kami merasa sangat gembira. Tetapi jika dunia itu tidak ada, maka kami sedih dan menangis karenanya!!”
Nabi Isa bertanya, “Bagaimana keadaan teman-temanmu? Mengapa ia tidak hadir memenuhi panggilanku?”
Orang itu berkata lagi, “Karena mereka dikendalikan dengan kendali api neraka, di tangan para malaikat yang kasar dan keras!!”
“Tetapi bagaimana engkau bisa menjawab panggilanku dan hadir di sini, sedang engkau ada di antara mereka?” Tanya Nabi Isa lagi.
Orang itu berkata, “Saya memang berada di antara mereka, tetapi saya tidak termasuk di antara mereka (maksudnya, tidak termasuk yang terlalu mencintai dunia, dan mematuhi orang yang suka berbuat maksiat). Ketika siksaan Allah itu turun kepada mereka, siksaan itu menimpa saya juga. Karena itu saya hanya tergantung di tepian neraka, tidak sampai terjatuh ke dalamnya. Tetapi saya tidak tahu, apakah saya akan selamat atau akhirnya akan jatuh juga ke dalam neraka?? Dan Allah mengijinkan saya untuk datang ke sini ketika engkau memanggil kami!!”
Nabi Isa mengucapkan terima kasih atas penjelasannya, kemudian ia berlalu dan menghilang lagi di kegelapan desanya. Setelah itu Nabi Isa bersabda kepada para hawariyyun, “Sungguh, makan sepotong roti sya’ir (roti yang kasar dan berkualitas rendah), memakai pakaian bulu hitam (pakaian yang sangat sederhana saat itu), dan tidur di dekat tempat sampah itu lebih banyak membawa keselamatan dunia dan akhirat!!”

Ketika Asy Syibli Dituduh Bakhil

Dalf bin Jahdar Asy Syibli, atau lebih dikenal dengan nama kunyahnya Abu Bakar Asy Syibli, adalah seorang tokoh dan ulama tasauf yang tinggal di Baghdad pada abad ke 3-4 hijriah. Suatu ketika ia sedang tafakkur, tiba-tiba ia mendengar seruan dalam hatinya, “Engkau bakhil (kikir)??”
Dengan tegas Asy Syibli menolak tuduhan dalam hatinya itu dan berkata (di dalam hati tentunya), “Aku tidak bakhil!!”
Tetapi suara itu terus-menerus ‘menuduhnya’ seperti itu, “Benar, engkau memang seorang yang bakhil!!”
Karena ia tak mampu menghentikan ‘suara-suara’ tuduhan itu, Asy Syibli ber-azam (berniat dengan tekad sangat kuat) dalam hatinya, “Jika aku menerima rizqi pada hari ini, aku akan menyedekahkan semuanya untuk orang miskin yang pertama kali aku temui!!”
Seperti kebanyakan ulama sufi pada zamannya, sebenarnya Asy Syibli tidak pernah menumpuk atau mengumpulkan harta, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi SAW dan para sahabat. Ia hidup sangat sederhana dan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah. Bahkan tidak jarang pada malam harinya ia bercelak dicampur dengan garam agar matanya tetap terbuka, agar tidak tertidur, dan makin banyak terisi dengan ibadah demi ibadah.
Tidak begitu lama kemudian, datang seseorang yang menyedekahkan kepadanya uang sebanyak limapuluh dinar. Dinar adalah uang emas, dengan kadar sekitar 22 karat dan berat hampir 4 gram. Jadi 50 dinar adalah hampir 200 gram emas berkadar 22 karat. Dengan kurs sekarang ini, jika harga emas 22 karat adalah Rp 300.000,- per gram, itu berarti sekitar Rp 60 juta. Sesuai dengan yang diniatkannya, ia berjalan berkeliling untuk mencari seorang miskin, untuk memberikan 50 dinar tersebut.
Asy Syibli bertemu dengan seseorang yang buta dan tampak sangat miskin, dengan pakaian sangat sederhana sedang bercukur. Segera saja ia menghampirinya, setelah mengucap salam, ia menyerahkan uang itu semuanya, tidak satu dinar-pun ia menyisakan, walau saat itu ia tidak memiliki apapun, bahkan sekedar untuk makan. Orang yang sedang bercukur itu berkata, “Serahkan saja kepada tukang cukur ini!!” (Yakni, sebagai ongkos mencukur rambutnya).
Asy Syibli berkata, “Wahai tuan, ini adalah uang-uang dinar, dan jumlahnya 50 dinar!!”
Maksud Asy Syibli adalah terlalu banyak jika semunya itu untuk ongkos cukur, mungkin bisa disimpan sendiri oleh orang miskin dan buta itu, untuk memenuhi kebutuhannya dan memudahkan kehidupannya. Orang yang sedang bercukur itu mengangkat kepalanya, dan ‘memandang’ kepada Asy Syibli dengan matanya yang buta, kemudian berkata, “Bukankah telah dikatakan kepadamu, bahwa engkau adalah seorang yang bakhil!!”
Asy Syibli tersentak kaget, tidak disangkanya orang buta itu mengetahui ‘perdebatan’ yang sedang berlangsung dalam hatinya. Dan tidak disangkanya pula bahwa sedikit ‘rasa sayangnya’ untuk menyerahkan 50 dinar itu kepada tukang cukur sebagai bentuk dari rasa bakhilnya. Ia berpaling kepada tukang cukur itu, yang keadaannya-pun tampaknya tidak lebih baik daripada orang buta yang sedang dicukurnya. Tetapi ketika Asy Syibli menyerahkan 50 dinar itu, lagi-lagi ia mendapat ‘tamparan’ untuk yang kedua kalinya. Tukang cukur itu menolaknya dan berkata, “Wahai tuan, sejak orang buta ini duduk di hadapanku minta dicukur, aku telah berniat kepada Allah, tidak akan menerima bayaran apapun. Karena itu aku tidak mau menerima uang itu!!”
Asy Syibli berlalu dari dua orang miskin tersebut dengan menangis, sambil terus mengucap istighfar, kemudian ia membuang uang 50 dinar itu ke laut.

Minggu, 02 September 2012

Ketakutan Seorang Anak Kecil

            Ada seorang syaikh sedang berjalan-jalan di tepian sebuah sungai, ia melihat seorang anak kecil yang belum mencapai usia baligh, sedang berwudhu sambil menangis. Hal itu menarik perhatiannya, maka ia bertanya, “Wahai anak kecil, apa yang membuatmu menangis??”
            Anak itu berkata, “Wahai Tuan, aku sedang membaca Al Qur’an, hingga sampai pada firman Allah (yakni Surah at Tahrim ayat 6, yang artinya) : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Para penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya (kepada mereka). Wahai Tuan, setelah membaca ayat ini, aku sangat ketakutan kalau-kalau Allah akan memasukkan aku ke dalam neraka!!”
            Sang syaikh tersenyum bijak, dan berkata, “Wahai anak kecil, engkau seorang anak yang terjaga, maka janganlah kamu takut, engkau tidak patut masuk neraka!!”
            Tentu saja jawabannya itu didasari kenyataan yang dilihatnya, bahwa anak sekecil itu sedang berwudhu, membaca Al Qur’an, bahkan bisa menangis ketika menangkap makna ayat-ayat Al Qur’an.
Tetapi mendengar jawaban sang syaikh, anak itu memandang dengan keheranan, dan berkata, “Wahai Tuan, bukankah engkau orang yang berakal sehat? Tidakkah engkau tahu, ketika manusia akan menyalakan api, ia akan membutuhkan kayu-kayu yang lebih kecil terlebih dahulu, baru kemudian kayu-kayu yang lebih besar!!”
Jawaban dari logika anak kecil, yang mungkin belum banyak memperoleh pengajaran tentang ilmu-ilmu keislaman. Tetapi hal itu sangat menyentuh sang syaikh, ia menangis lebih keras daripada tangisan anak kecil itu, dan berkata, “Anak sekecil ini lebih takut kepada neraka, bagaimana dengan keadaan kami??”

Mengharap Keuntungan yang Lebih Besar

           Seorang ulama dan guru yang saleh, mengisi sebagian waktunya dengan bekerja sebagai pedagang. Suatu ketika ia membeli madu seharga 30.000 dirham untuk mengisi persediaan barang dagangannya yang telah menipis. 
Keesokan harinya ternyata harga madu meningkat drastis hingga dua kali lipatnya. Sang penjual jadi menyesal telah melepaskan (menjual) pada hari sebelumnya itu. Tetapi penyesalan selalu datang terlambat, mana mungkin untuk membatalkan sedangkan uangnya telah ia terima, dan barang-barangnya telah dibawa oleh sang pembeli, guru yang saleh itu. Sedih dan penyesalan itu begitu menggelayuti pikirannya, sehingga mengundang perhatian teman-temannya.
Setelah mengetahui permasalahannya, salah seorang temannya yang sangat mengenal akhlak guru yang saleh, sang pembeli madu itu, berkata, “Besok pagi, datanglah shalat subuh bersama guru yang saleh, pembeli madumu itu, dengan membawa uang 30.000 dirham. Setelah beliau selesai shalat dan berdoa, mendekatlah dan berkata : Saya menyesal telah menjual maduku itu pada tuan!! Itu saja, jangan ditambah dan dikurangi, insyallah engkau tidak akan mengalami kerugian sedikitpun!!”
Ia menuruti saran temannya. Usai shalat dan berdoa, ia segera menghadap pada sang guru dan berkata, “Wahai Tuan Guru, saya menyesal telah menjual maduku itu pada tuan!!”
Guru yang saleh itu memandangnya sesaat dan berkata kepada pembantu/pegawainya, “Bangunlah, dan kembalikan madu yang kita beli itu kepada orang ini!!”
Sang Penjual sangat gembira dan mengembalikan uang 30.000 dirham yang telah diterimanya itu. Salah seorang jamaah yang hadir ada yang berkata, “Wahai Tuan Guru, sejak kemarin harga madu telah meningkat dua kali lipatnya, mengapa hanya dikembalikan begitu saja??”
            Sang Guru berkata, “Mengapa tidak?? Sungguh aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa mau membatalkan pembeliannya kepada orang yang menyesal dalam penjualannya, maka Allah akan memaafkan dosa-dosanya pada hari kiamat kelak. Tidakkah sepantasnya aku membeli maafnya Allah atas dosa-dosaku dengan (calon keuntunganku) 30.000 dirham, sedang sedikitpun aku tidak dirugikan??”