Sabtu, 09 November 2013

Kelihaian Tipu Daya Iblis

            Banyaknya amal kebaikan yang telah dilakukan, tingginya keilmuan sehingga disebut sebagai ulama, atau banyaknya ‘karamah-karamah’ yang telah dimiliki, tidaklah menjadi jaminan bahwa seseorang akan selamat dan kematiannya dalam status khusnul khotimah. Semuanya itu belum tentu menjadi jaminan. Sebelum Nabi Adam AS diciptakan, Iblis, yang saat itu masih bernama Azazil, adalah salah satu mahluk yang paling dekat (taqarub) kepada Allah, bahkan menjadi ‘teladan’ bagi para malaikat dalam beribadah dan mengabdi kepada Allah. 
            Azazil sebenarnya mahluk penghuni bumi dari bangsa jin, tetapi karena kualitas dan kuantitas ibadahnya yang luar biasa selama ribuan tahun, derajadnya meningkat pesat melampaui para malaikat. Ketika Allah menciptakan Nabi Adam AS, mahluk pertama dari bangsa manusia yang disiapkan untuk menjadi khalifah di bumi, dan malaikat diperintahkan untuk bersujud kepadanya, mereka semua mematuhinya kecuali Azazil. Azazil berdalih bahwa bahan asal penciptaannya dari api lebih baik dari pada tanah, bahan asal penciptaan Adam. Ia juga merasa kedudukannya sangat tinggi dan dekat di sisi Allah, dan ‘pemahaman’nya tentang Tauhid (hanya Allah SWT yang patut disembah dan disujudi), yang memunculkan kesombongannya sehingga menolak perintah Allah tersebut.
            Karena sikap angkuhnya tersebut, Azazil dikutuk Allah hingga tibanya hari pembalasan (yakni Hari Kiamat). Bukannya menyesal dan bertobat karena sikapnya telah menyebabkan murka Allah dan jatuhnya kutukan-Nya, Azazil justru menyatakan ‘perang’ kepada Adam dan anak keturunannya, yang dianggapnya sebagai penyebab ia dimurkai Allah. Tidak tanggung-tanggung, ia meminta kematiannya ditangguhkan hingga kiamat, dan bersumpah dengan keagungan Allah (bi’izzatika) untuk menyesatkan manusia, sebagaimana disitir dalam QS Ash Shaad 82-83 : Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau (ya Allah) aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka (mukhlishin).”
            Setelah terusir dari surga dan alam malakut (yakni berkumpul bersama para malaikat), Azazil yang tadinya berwajah rupawan dan bersinar karena cahaya taqarubnya kepada Allah, perlahan tetapi pasti wajahnya berubah jelek dan menakutkan. Hal ini disebabkan ia tidak pernah lagi bertaubat dan beribadah kepada Allah, seluruh waktu dan daya upayanya hanya dicurahkan untuk melampiaskan hasud dan dengkinya kepada manusia, untuk menyesatkan manusia dari jalan yang lurus, shirathol mustaqim. Dan nama Azazil sebagai identitas mahluk yang sangat dekat dengan Allah, perlahan dilupakan dan ia lebih dikenali dengan nama Iblis hingga sekarang.
            Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa Iblis sempat tergerak untuk bertobat di masa Nabi Musa AS, dan ia meminta tolong kepada beliau yang dikenal sebagai Kalamullah (yang diajak berbicara langsung oleh Allah), untuk menyampaikan maksudnya tersebut. Ternyata Allah dengan sifat Rahman Rahim-Nya masih memberikan kesempatan iblis untuk bertaubat, asalkan ia mau bersujud di depan kubur Nabi Adam AS. Ketika Nabi Musa menyampaikan kepada Iblis syarat yang diminta Allah tersebut, rasa angkuhnya muncul lagi. Ia berkata, “Apa? Bersujud di depan kuburnya? Ketika ia masih hidup saja aku tidak bersedia bersujud kepadanya, apalagi kini telah menjadi jasad yang mati dan terkubur di dalam tanah.
            Mungkin memang sudah menjadi suratan takdir Allah bahwa Iblis tidak akan kembali menempuh shirothol mustaqim, dan hanya akan menjadi musuh, sekaligus penggoda manusia untuk menjadikan teman dan pengikutnya menjadi penghuni neraka. Dengan ‘pengalaman’ kedekatan kepada Allah jauh sebelum manusia diciptakan, dan terus hidup hingga kiamat dengan satu tujuan menyesatkan manusia, tentulah kelihaian Iblis dan bala tentaranya dari golongan syaitan tidak perlu diragukan lagi. Kisah terkenal dan sering dikisahkan tentang keberhasilan Iblis dalam menggoda manusia adalah tentang Barsisha.
            Barsisha adalah seorang ahli ilmu dan ahli ibadah yang hidup sebelum Nabi SAW, tetapi tidak jelas pada masa nabi atau rasul siapa. Karena begitu terkenal kealiman dan ke’abidannya, banyak sekali orang yang berguru kepadanya. Hebatnya lagi, dari enampuluh ribu murid-muridnya ternyata mempunyai ‘karamah’ bisa terbang atau melayang di udara. Dan seperti biasanya, jika ada orang yang tekun beribadah kepada Allah, Iblis dan bala tentaranya para syaitan sangat membenci orang itu, dan berjuang keras untuk menyesatkannya. Tetapi terhadap Barsisha ini Iblis telah beberapa kali mengalami kegagalan.
            Tidak hanya menjadi bahan pembicaraan dan pujian di bumi, di langit pun para malaikat juga memuji kealiman dan ketekunan ibadah Barsisha. Tetapi suatu ketika Allah berfirman kepada para malaikat yang terkagum-kagum itu, bahwa pada akhirnya Barsisha menjadi kafir dan akan masuk neraka untuk selama-lamanya. Tentu saja mereka keheranan dengan hal itu, tetapi tentu saja Allah SWT, sebagai Maha Penyusun Skenario kehidupan ini, lebih tahu dan lebih berhak untuk menentukan bagaimana jalan kehidupan Barsisha itu. Dan berita tersebut ternyata sampai juga ke pendengaran Iblis, dari para syaitan yang masih sering mencuri dengar berita di langit. Ia memutar otak dan menyusun strategi, dan akhirnya memutuskan untuk menjalankan sendiri rencananya tersebut. Untuk orang sekelas Barsisha, tampaknya ia harus turun tangan sendiri.
            Iblis menyamar sebagai seorang ahli ibadah yang sedang musafir, dan ia singgah ke tempat Barsisha, minta ijin untuk tinggal beberapa waktu lamanya. Barsisha amat gembira mendapat seorang teman untuk beribadah kepada Allah, bahkan ia menasehatinya, “Barang siapa beribadah kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya!!”
            Selama tiga hari tiga malam, Iblis beribadah terus menerus tanpa makan, minum dan tidak tidur. Ibadahnya tampak sekali sangat khusyu’ dan tulus walaupun hanya pura-pura, dan hal itu tidaklah sulit bagi Iblis karena ‘pengalamannya’ selama ribuan tahun ketika masih taqarub kepada Allah, saat masih bernama Azazil. Barsisha ternyata ‘termakan’ dengan jerat yang ditebarkan Iblis. Dengan kagumnya ia berkata, “Wahai saudara, engkau ini sangat hebatnya beribadah kepada Allah, selama tiga hari tiga malam tidak makan, minum ataupun tidur. Apakah rahasianya sehingga engkau bisa berbuat seperti itu? Aku telah beribadah kepada Allah selama 220 tahun, tetapi masih tidak bisa berbuat seperti engkau!!”
            Memang, Nabi SAW pernah memerintahkan, dalam hal ilmu dan ibadah, hendaknya melihat kepada yang lebih tinggi, sehingga kita terpacu untuk meningkatkan ibadah dan dalam menuntut ilmu, sekaligus meredam rasa sombong karena ibadah dan ilmunya. Sedangkan untuk urusan dunia, hendaklah kita melihat kepada yang lebih rendah (lebih kekurangan dan miskin), yang dengan itu kita bisa tetap bersyukur kepada Allah. Tetapi di sisi lain, Nabi SAW pernah menegur beberapa orang sahabat yang ‘berlebih-lebihan’ dalam ibadah. Ada yang berpuasa terus menerus, khatam Al Qur’an setiap hari, tidak tidur semalaman untuk melaksanakan tahajud dan lain-lainnya. Bahkan Al Qur’an sendiri telah menggariskan : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS Al Baqarah 286).
            Kembali kepada Barsisha, mendengar pernyataannya itu, Iblis berkata, “Wahai tuan, saya dahulu pernah bermaksiat kepada Allah, setelah itu saya bertaubat dengan sungguh-sungguh, dan dengan hal itu saya merasakan nikmatnya beribadah, sehingga lupa makan, minum dan tidur seperti yang tuan lihat!!”
            Mata Barsisha tampak berbinar, ia sangat bersemangat untuk bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya, tanpa menyadari ia sedang masuk perangkap Iblis. Tetapi ia sempat tersadarkan, “Bagaimana mungkin aku akan bermaksiat, padahal selama ini aku hanya beribadah saja kepada Allah!!”
            “Wahai Tuan,” Kata Iblis dengan licinnya, “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang kepada hamba-Nya. Jika telah merasakan ‘kegelapan’ dosa dan bertaubat, kita akan sangat bersemangat dalam beribadah kepada Allah, dan bisa merasakan nikmatnya!!”
            Barsisha tercenung beberapa waktu lamanya, tampak ia diliputi keraguan, tetapi kemudian ia berkata, “Dosa apakah yang harus aku lakukan?”
            Iblis bertepuk tangan gembira, tentunya hanya ekspresi di dalam hatinya, dan brkata, “Hendaknya tuan berzina!!”
            Barsisha terbelalak matanya karena kaget, dan berkata, “Tidak mungkin aku melakukan hal itu!!”
            Iblis berkata dengan licinnya, “Makin besar dosa yang kita lakukan, kemudian bertaubat, akan besar kita merasakan nikmatnya ibadah!! ”
            Logika yang tidak masuk akal, tetapi karena sedang ‘ambisius’, kadang pertimbangan akal sehat menjadi tertutup. Iblis berkata lagi, “Kalau begitu, hendaknya tuan membunuh seseorang yang beriman kepada Allah!!”
            “Aku tidak mungkin melakukannya!!” Kata Barsisha lagi.
            “Kalau begitu hendaknya tuan minum khamr saja,” Kata Iblis lagi, dengan siasat jitunya, “Dosa minum khamr hanya berhubungan dengan Allah saja, tidak menyangkut mahluk lainnya, akan lebih mudah bertaubat kepada Allah!!”
            Barsisha tampak menimbang-nimbang, akal sehatnya tampaknya benar-benar telah masuk perangkap Iblis, hanya karena ‘ambisinya’ untuk bisa menyamai ibadah musafir saleh gadungan, yang sebenarnya Iblis itu. Kemudian ia berkata, “Dimanakah aku bisa memperoleh khamr itu?”
            Iblis berkata, “Ikutlah saya!!”
            Dengan patuhnya Barsisha mengikuti musafir saleh palsu tersebut menuju suatu warung di desa sebelah. Penjualnya seorang wanita cantik dengan penampilan yang menantang. Setelah minum khamr, karena memang tidak terbiasa, langsung saja Barsisha mabuk. Tanpa menyadarinya pula, ia berbuat zina dengan wanita penjaga warung. Tidak lama berselang, suami si wanita datang dan bermaksud membunuh Barsisha.
            Melihat kejadian itu, Iblis buru-buru menghalangi sang suami untuk membunuh Barsisha, karena jika mati saat itu, ia tidak akan kekal di neraka. Iblis membawa Barsisha ke hadapan raja, dan ia dihukum cambuk 80 kali karena minum khamr, dicambuk 100 kali karena berzina, dan dihukum salib sebagai denda.
            Ketika sedang disalib, Iblis mendatanginya dan berkata, “Wahai Barsisha, bagaimana keadaanmu?”
            Barsisha berkata, “Beginilah keadaannya jika menuruti teman yang jahat!!”
            Tampaknya Iblis belum puas dengan hasil kerjanya, ia berkata, “Engkau telah menyembah Allah selama 220 tahun, dan kini engkau dalam keadaan tersalib. Bila mau, aku bisa saja menurunkanmu dari tiang salib ini!!”
            Barsisha yang memang belum mengetahui kalau temannya itu Iblis laknatullah, masih saja termakan dengan omongannya. Mungkin karena selama ratusan tahun keadaannya dimuliakan orang, ketika mengalami penderitaan dan kehinaan seperti itu jiwanya jadi goyah. Ia berkata, “Tolonglah, turunkan dan lepaskan aku dari salib ini. Apa saja yang engkau minta akan aku turuti!!”
            Iblis berkata, “Sujudlah engkau kepadaku sekali saja, maka aku akan membebaskanmu!!”
            Barsisha berkata, “Aku tidak bisa bersujud di atas salib ini!!”
            “Sujudlah dengan isyarat saja!!”
            Barsisha bersujud kepada Iblis dengan isyarat kepalanya, dan setelah itu Iblis tertawa dan lenyap dari pandangan. Tak lama setelah itu Barsisha mati dalam keadaan kafir kepada Allah. Na’udzubillahi min dzaalik. 

Note:psw71Ts36

Berbuat Baik Walau Didzalimi

            Muhammad bin Himyar adalah seorang yang saleh dan wara’, hari-harinya lebih banyak diisi dengan puasa sunnah dan shalat malam, tentunya setelah menyempurnakan ibadah fardhunya. Ia juga sangat senang membantu siapa saja yang mengalami kesulitan, sejauh ia mampu melakukannya. Tetapi ternyata tidak semua pihak senang dengan perbuatan baik yang dilakukan seseorang, mungkin karena dengki, persaingan, memusuhi atau karena alasan lainnya, begitu juga yang pernah dialaminya.
            Suatu ketika ia berburu di hutan, tiba-tiba datang seekor ular dan berkata seperti menghiba, “Hai Muhammad bin Himyar, tolonglah aku, semoga Allah akan menolongmu!!”
            Ia sempat terkejut dan heran karena ular itu berbicara seperti dirinya, tetapi karena permintaannya itu yang tampak mendesak, ia mengabaikan keheranannya dan jiwa ‘penolong’nya yang lebih tampil. Ia berkata, “Dari siapakah aku harus menolongmu!!”
            Ular itu berkata, “Dari musuhku yang ingin membunuhku!!”
            “Dimanakah musuhmu?” Tanyanya lagi.
            “Ia mengejar di belakangku!!” Kata ular itu lagi.
            Ibnu Himyar sempat waspada dengan berkata, “Dari umat siapakah engkau ini?”
            “Umat Nabi Muhammad SAW!!”
            Lalu ia membuka serbannya dan berkata, “Masuklah engkau di sini!!”
            Ular itu berkata, “Aku akan dapat dilihat oleh musuhku itu!!”
            Kemudian ia melonggarkan ikat pinggangnya dan berkata, “Masuklah ke dalam bajuku, engkau akan aman di sana!!”
            Ular itu berkata lagi, “Ia masih akan bisa menemukanku di situ!!”
            “Apa yang harus aku lakukan untuk bisa menolongmu!!”
            Ular itu berkata, “Jika memang ingin menolongku, bukalah mulutmu, dan aku akan bersembunyi di dalam perutmu!!”
            Ia berkata, “Aku khawatir engkau akan membunuhku!!”
            Ular itu berkata, “Demi Allah aku tidak akan membunuhmu, Allah menjadi saksi atas janjiku ini, begitu juga dengan para malaikat dan para Nabi-Nya, Halamatul Arsyi (malaikat yang menyangga Arsyi) dan semua penduduk langit!!”
            Mendengar janjinya itu, tanpa ragu lagi Muhammad bin Himyar membuka mulutnya dan masuklah ular itu ke dalam perutnya. Tidak lama berselang, datang seorang lelaki dengan pedang terhunus dan berkata, “Apakah engkau melihat musuhku!!”
            Ibnu Himyar berkata, “Siapakah musuhmu itu?”
            Ia berkata, “Seekor ular!!”
            “Tidak!!” Kata Ibnu Himyar, tetapi dalam hatinya ia terus menerus mengucap istighfar karena kebohongannya berkata ‘tidak’ itu, walau hal itu yang diperbolehkan, yakni berbohong untuk menyelamatkan nyawa orang lain atau mahluk lainnya.
            Setelah orang bersenjata pedang terhunus itu berlalu dan tidak terlihat lagi jejak kehadirannya, Ibnu Himyar berkata, “Wahai ular, keluarlah karena musuhmu telah pergi jauh, sekarang ini telah aman!!”
            Tetapi ia amat terkejut ketika mendengar ular itu tertawa dan berkata, “Wahai Muhammad, engkau pilih satu di antara dua hal, apakah aku akan merobek-robek hatimu atau aku akan melobangi jantungmu, dan aku biarkan engkau (tubuhmu) tanpa ruh!!”
            Ia berkata, “Subkhanallah, dimanakah janji dan sumpahmu itu, begitu cepatnya engkau melupakannya!!”
            Lagi-lagi terdengar ular itu tertawa dan berkata, “Wahai Muhammad, mengapa engkau melupakan permusuhanku dengan bapakmu, Adam, yang aku telah mengeluarkannya dari surga. Mengapa pula engkau berbuat baik kepada orang yang curang dan tidak mengenal budi!!”
            Tentu saja Muhammad bin Himyar tidak menyangka bahwa ular itu adalah penjelmaan Iblis ataupun syaitan terkutuk. Tipikal Rasulullah SAW sebagai Rahmatal lil ‘alamin yang menjadi acuannya untuk berbuat baik kepada siapa saja termasuk bangsa binatang. Karena tidak ada pilihan lain maka ia hanya berpasarah diri kepada Allah, dan berkata kepada ular itu, “Jika engkau memang harus membunuhku, mau apa lagi, mungkin sudah menjadi jalan dan suratan takdirku untuk mati di tanganmu. Tetapi berilah waktu untukku menuju bukit itu untuk mengatur dan menyiapkan tempat matiku.”
            “Terserah padamu!!” Kata ular di dalam perutnya itu.
            Muhammad bin Himyar berjalan menuju bukit di maksud, tetapi sambil berjalan mulutnya tidak henti-hentinya melantunkan doa, layaknya orang sedang bersyair atau bersenandung :
            Ya lathif ya lathief, ulthuf bi luthfikal khofiyyi
            Ya lathif, as’aluka bil qudratil  latis-tawaita biha ‘alal arsyi
            Falam ya’rifil arsyu aina mustaqarraka minhu
            Illa kafaitani haadzihil hayyaati
            Makna dari doanya tersebut adalah : Ya Lathif ya Lathif (salah satu Asma Allah, Yang Maha Halus/Lembut), berilah aku karunia-Mu yang samar (lembut) itu, Ya Lathif, dengan kekuasaan-Mu ketika Engkau meliputi arsyi, sehingga arsyi itupun tidak mengetahui di manakah Engkau, aku memohon hendaklah Engkau hindarkan aku dari kejahatan ular (dalam perutku) ini.
            Tak henti-hentinya ia melafalkan doanya itu, sampai ia bertemu dengan seseorang yang sangat harum baunya dan bersih sekali penampilannya. Lelaki itu mengucap salam, dan setelah dijawab salamnya, ia berkata lagi, “Wahai saudaraku, mengapa wajahmu tampak berubah (yakni jadi memucat)?”
            Muhammad bin Himyar berkata, “Karena musuh yang berlaku kejam terhadapku!!”
            “Di manakah musuhmu itu,“ Tanya lelaki itu lagi.
            “Di dalam perutku!!”
            “Bukalah mulutmu!!”
            Ibnu Himyar membuka mulutnya, dan lelaki itu memasukkan sebuah daun hijau, mirip dengan daun zaitun, sambil berkata, “Kunyahlah dan telanlah!!”
            Ibnu Himyar segera mematuhinya, dan tidak berapa lama kemudian ia merasa sakit perut, disusul dengan keluarnya potongan-potongan ular yang berada di perutnya, melalui duburnya. Ia langsung mengucap syukur kepada Allah, dan sambil memegang tangan lelaki itu ia berkata, “Wahai Fulan, siapakah engkau ini, yang Allah telah menolongku dengan perantaraan engkau?”
            Lelaki itu tertawa dan berkata, “Apakah engkau tidak mengenal aku??”
            “Tidak!!” Kata Ibnu Himyar.
            Ia berkata lagi, “Wahai Muhammad bin Himyar, ketika terjadi peristiwa antara engkau dan ular itu, hingga akhirnya engkau berdoa, suara doa para malaikat di langit bergemuruh untuk memohonkan keselamatan atasmu. Maka Allah berfirman : Demi Kemuliaan dan Kebesaran-Ku, sungguh Aku telah melihat semuanya. Kemudian Allah memerintahkan aku pergi ke surga untuk mengambil satu daun hijau, dan memberikannya kepadamu. Namaku Al Ma’ruf, dan tempatku di langit ke empat!!”
            Ibnu Himyar makin banyak mengucap syukur kepada Allah, karena dari ‘musibah’ yang dialaminya, justru Allah memberikan karunia dengan mempertemukannya dengan Malaikat Al Ma’ruf dalam wujud manusia.
            Malaikat Al Ma’ruf itu berkata lagi, “Hai Muhammad bin Himyar, tetaplah engkau berbuat dan berbudi baik, karena dengan sikapmu itu dapat menghindarkan berbagai kejahatan dan kebinasaan. Meskipun tidak dibalas (diterima dan ditanggapi) dengan kebaikan oleh orang yang engkau berbuat baik kepadanya, tetapi tidak akan pernah disia-siakan oleh Allah SWT!!”

Note:ii465

Kamis, 17 Oktober 2013

Bekerja kepada Allah

            Ada dua orang Majusi yang telah puluhan tahun menghabiskan umurnya untuk mengabdi pada agamanya, yakni menyembah api, sekaligus ‘melayani’ umatnya yang ingin beribadah. Karena itu mereka berdua juga mendapat tempat cukup terhormat di antara para penganut Agama Majusi. Yang seorang telah berusia lanjut, yakni  73 tahun, sedang satunya lagi baru 35 tahun.
            Suatu ketika terbersit pikiran ‘nyeleneh’ pada yang muda, ia berkata kepada temannya, “Kita telah sangat lama menyembah api ini, maka marilah kita mencoba, apakah api ini akan menolong kita atau tetap membakar kita sebagaimana ia membakar orang-orang yang tidak menyembahnya. Jika ia tidak membakar, kita akan terus menyembahnya, tetapi jika ia tetap membakar, maka apa gunanya kita tetap memujanya!!”
            “Baiklah!!” Kata yang tua.
            Yang muda berkata, “Engkau atau aku yang akan mencoba!!”
            “Engkau saja!!” Kata yang tua.
            Yang muda mengulurkan tangannya ke api yang menyala-nyala, dan tentu saja ia merasa panas terbakar. Reflek ia menarik tangannya sambil menggerutu, “Tigapuluh lima tahun aku menyembahmu, tetapi tetap saja engkau menyakitiku!!”
            Kemudian ia berkata kepada temannya, “Marilah kita cari Tuhan yang lain saja, yang seandainya kita berdosa dan melalaikan perintah-Nya, Dia masih akan tetap mengampuni dan memaafkan kesalahan kita!!”
            “Baiklah!!” Kata yang tua.
            Mereka berdua berjalan hingga tiba di Kota Bashrah, dan menemukan sekumpulan orang yang tengah mendengarkan pengajaran Malik bin Dinar. Mereka berdua membaur, mendengarkan pengajaran tentang agama Islam tersebut. Tampak sekali yang muda sangat tertarik, dan ia mengajak temannya untuk memeluk Islam. Tetapi yang tua berkata, “Tidak usahlah aku memeluk Islam, aku telah sangat tua, dan umurku telah habis untuk menyembah api. Kalaupun aku memeluk Islam, tentulah keluargaku, tetanggaku dan masyarakat lainnya akan mencaci maki aku. Mereka pasti akan mengusir, aku akan kehilangan segalanya dan menjadi gelandangan dunia!!”
            Yang muda berkata, “Jangan khawatirkan itu, caci-maki bisa berhenti, tetapi panasnya siksa api neraka akan abadi!!”
            Tetapi yang tua tidak perduli dengan nasehatnya, dan ia tidak jadi meninggalkan agama Majusi. Mungkin ia takut kehilangan segala kenikmatan dan kehormatan yang telah dirasakannya selama ini jika memeluk agama Islam. Sebaliknya, lelaki yang lebih muda itu sangat bersemangat untuk memeluk Islam. Setelah kembali ke rumahnya, ia segera mengajak anak-anak dan istrinya memeluk Islam, dan mereka menyambutnya. Dengan membawa bekal sekedarnya, mereka meninggalkan daerah itu menuju Bashrah, langsung ke majelis pengajaran Malik bin Dinar. Setelah usainya majelis, lelaki itu berdiri dan menceritakan pengalamannya, dan meminta dibimbing untuk memeluk Islam.
            Jamaah yang mendengarkan kisahnya itu menyerukan takbir, terharu dan menangis tanda gembira menyambut keislamannya dan keluarganya itu. Setelah dibimbing dan diajarkan beberapa pokok-pokok ajaran Islam, lelaki itu berpamitan. Malik bin Dinar berkata, “Tunggulah sebentar hingga teman-temanku mengumpulkan sedikit harta untuk bekalmu!!”
            Tetapi lelaki itu berkata, “Tidak perlu, bukan dengan tujuan itu aku memeluk agama Islam, dan aku tidak ingin menjual agamaku dengan dunia!!”
            Setelah itu mereka berpamitan pergi, yang diiringi dengan doa dan pandangan penuh kesedihan dari jamaah majelis Malik bin Dinar. Mereka tiba di sebuah reruntuhan, dan mereka tinggal di sebuah rumah tua kosong di antara puing-puing yang berserakan. Keesokan harinya, karena bekalnya yang sangat sedikit, sang istri berkata, “Pergilah ke pasar, carilah pekerjaan di sana, dan belilah makanan secukupnya untuk kita!!”
            “Baiklah,” Kata lelaki itu.
            Sesampainya di pasar, ia meminta pekerjaan pada setiap orang yang ditemuinya, tetapi tidak ada yang bias memberinya pekerjaan. Menjelang waktu dhuhur ia belum juga memperoleh pekerjaan, maka ia berkata kepada dirinya sendiri, “Lebih baik aku bekerja kepada Allah saja!!”
            Ia meninggalkan pasar dan memasuki suatu masjid yang tampak sepi dari pengunjung. Ia terus beribadah,  sembahyang dan berdzikr hingga waktu malam tiba, setelah itu pulang.
            Istrinya telah menunggu di pintu, setelah melihatnya tidak membawa apa-apa, ia berkata, “Engkau tidak memperoleh sesuatu hari ini??”
            Lelaki itu berkata, “Hari ini aku bekerja untuk Sang Raja, hanya saja hari ini Dia belum memberikan apa-apa, semoga saja besok Dia memberikan sesuatu!!”
            Malam itu ia dan keluarganya tidur dalam keadaan lapar, karena sedikit bekal yang tersisa tidak cukup untuk mengganjal perutnya. Keesokan harinya lelaki kembali ke pasar. Ketika menjelang dhuhur dan belum memperoleh pekerjaan juga, ia memutuskan untuk ‘bekerja kepada Allah’ lagi, dan beribadah di masjid yang sama. Ketika malam harinya pulang dan istrinya menyambut, ia berkata, “Aku masih bekerja untuk Raja yang kemarin, tetapi hari ini Dia belum memberikan apa-apa. Besok hari Jum’at, semoga Dia memberikan sesuatu untuk aku!!”
            Malam itu, lagi-lagi mereka melaluinya dengan menahan rasa lapar. Keesokan harinya pada hari Jum’at, lelaki itu kembali ke pasar dan tetap tidak memperoleh pekerjaan seperti sebelumnya. Menjelang shalat Jum’at, ia masuk ke masjid untuk beribadah, kali ini, usai shalat dua rakaat ia berdoa, “Ya Allah, Engkau telah memuliakan aku dengan Islam, telah memberikan kepadaku keagungan Islam, telah memberikan petunjuk kepadaku dengan petunjuk terbaik. Ya Allah, atas nama kemuliaan agama yang telah Engkau berikan kepadaku, atas nama kemuliaan hari Jum’at yang penuh berkah, hari yang Engkau tetapkan sebagai hari agung, aku mohon tenangkanlah hatiku karena sulitnya mencari nafkah untuk keluargaku, berikanlah aku rezeki, Demi keagungan-Mu, aku malu kepada keluargaku, dan aku khawatir mereka berubah pikiran tentang Islam!!”
            Setelah shalat Jum’at, ia terus beribadah hingga malam tiba.
            Sementara itu, ketika kaum muslimin (laki-lakinya) tengah melaksanakan shalat Jum’at, ada seseorang mengetuk pintu rumah tua di antara reruntuhan itu. Ketika istrinya membuka pintu, tampak seorang lelaki membawa nampan yang ditutupi sapu tangan bersulam benang emas, dan berkata, “Ambillah nampan ini, katakan kepada suamimu bahwa ini upahnya selama dua hari. Bila ia terus rajin bekerja, maka upahnya akan ditambah, apalagi pada hari Jum’at seperti ini. Amal yang sedikit pada hari ini artinya besar sekali di sisi Raja Yang Maha Perkasa!!”
            Sang istri mengambil nampan itu, yang ternyata berisi seribu dinar (yakni, uang emas). Ia mengambil satu dinar dan membawanya ke tempat penukaran uang milik seorang Nashrani. Sang Nashrani itu tampak terheran-heran dengan uang dinar yang tidak biasanya itu. Ia mencoba menimbangnya, ternyata beratnya dua kali dari uang dinar biasa. Ia mengamati dengan seksama ukirannya yang juga tidak biasa, mungkin ukiran akhirat. Ia berkata, “Dari manakah engkau memperoleh dinar ini?”
            Wanita itu menceritakan pengalamannya, termasuk ketika suaminya memutuskan untuk meninggalkan agama Majusi dan memeluk Islam. Mendengar ceritanya itu, sang Nashrani langsung memutuskan memeluk agama Islam, dan ia memberikan seratus dirham kepada wanita itu. Ia juga berkata, “Pakailah uang ini, kalau telah habis, datanglah lagi ke sini dan aku akan memberikan lagi sejumlah itu…!!”
            Dengan seratus dirham itu ia membeli bahan makanan dan memasak untuk keluarganya. Sang suami masih tetap di masjid dan terus beribadah seperti dua hari sebelumnya. Ketika malam tiba, ia beranjak pulang, tetapi kali ini ia membungkus pasir dengan sapu tangannya. Jika istrinya nanti bertanya, maka akan dijawabnya kalau bungkusan itu adalah tepung.
            Ketika memasuki pintu rumah, lelaki itu membaui makanan yang enak, maka buru-buru ia melemparkan bungkusan sapu tangannya itu, tetapi istrinya sempat mempergokinya. Ternyata memang telah tersedia makanan yang enak-enak, dan anak-anaknya juga telah kenyang serta riang gembira. Dengan keheranan ia menanyakan asal mula semua itu. Setelah sang istri menceritakan apa yang terjadi, termasuk sang Nashrani yang memeluk Islam karena ceritanya, ia langsung bersujud sebagai ungkapan syukur kepada Allah. Sang istri berkata, “Apa yang engkau bawa itu?”
            Lelaki itu berkata, “Bukan apa-apa, jangan tanyakan hal itu!!”
            Tetapi sang istri tampak penasaran, maka ia mengambil bungkusan sapu tangan itu, dan setelah dibuka, ternyata benar-benar berisi tepung. Lagi-lagi lelaki itu bersujud syukur kepada Allah, dan setelah itu ia makin gencar dan giat beribadah kepada Allah pada hampir seluruh sisa hidupnya.

 Note:mu30

Keutamaan Berdzikr Kepada Allah

            Ada sekelompok malaikat yang sehari-harinya berkeliling menyusuri jalan-jalan di seluruh penjuru bumi. Mereka ini memang ditugaskan Allah untuk mencari majelis dzikr ataupun orang-orang yang sedang berdzikr kepada Allah, dan tetap tinggal di tempat itu selama dzikr masih berlangsung. Jika telah menemukannya, mereka akan berseru kepada para malaikat kelompoknya, “Kemarilah, di sini ada yang kalian cari!!”
            Maka mereka berkumpul di tempat itu sambil membentangkan sayapnya hingga mencapai langit dunia. Kemudian Allah akan berfirman kepada para malaikat itu, “Apakah yang sedang dicuapkan hamba-Ku itu??”
            Tentunya pertanyaan itu diberikan bukannya karena Allah tidak tahu, sungguh Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Tetapi pertanyaan itu diberikan kepada para malaikat sebagai pemuliaan kepada manusia, sekaligus pembuktian akan keutamaan manusia dibanding malaikat. Bukankah para malaikat sempat ‘memprotes’ Allah ketika akan menciptakan Nabi Adam AS sebagai manusia pertama, sekaligus sebagai khalifah di bumi (lihat QS Al Baqarah 30) ?
            Para malaikat itu menjawab, “Mereka mensucikan-Mu, membesarkan-Mu, memuji-Mu dan mengagungkan-Mu!!”
            Allah berfirman lagi, “Apakah mereka melihat Aku?”
            Para malaikat itu menjawab, “Demi Allah, mereka belum pernah melihat Engkau!!”
            Allah berfirman lagi, “Bagaimana jika mereka melihat Aku??”
            Para malaikat itu menjawab, “Seandainya mereka pernah melihat Engkau, tentulah mereka akan lebih giat beribadah kepada Engkau, lebih giat mengagungkan Engkau, lebih giat lagi mensucikan Engkau…!!”
            Allah berfirman lagi, “Apakah yang mereka minta?”
            Para malaikat itu menjawab, “Mereka meminta surga kepada Engkau!!”
            Allah berfirman, “Apakah mereka pernah melihat surga?”
            Para malaikat itu menjawab, “Demi Allah, mereka belum pernah melihatnya!!”
            Allah berfirman, “Bagaimana seandainya mereka pernah melihat surga?”
            Para malaikat itu menjawab, “Seandainya mereka pernah melihatnya, tentulah mereka akan lebih semangat beribadah untuk mencapainya, lebih giat untuk memohonnya, dan mereka lebih sangat mengharapkannya!!”
            Allah berfirman lagi, “Dari apakah mereka berlindung diri?”
            Para malaikat itu menjawab, “Mereka berlindung diri dari api neraka!!”
            Allah berfirman, “Apakah mereka pernah melihat neraka?”
            Para malaikat itu menjawab, “Demi Allah, mereka belum pernah melihatnya!!”
            Allah berfirman, “Bagaimana seandainya mereka pernah melihat neraka?”
            Para malaikat itu menjawab, “Seandainya mereka pernah melihatnya, tentulah mereka akan lebih menjauhkan diri dari neraka itu, mereka akan lebih takut kepadanya!!”
            Akhirnya Allah berfirman, “Maka saksikanlah oleh kalian bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka itu!!”
            Salah satu dari malaikat itu berkata, “Ya Allah, dalam majelis itu ada seseorang yang tidak termasuk ahli dzikr (dalam riwayat lainnya : yang banyak berbuat dosa). Ia datang ke tempat itu hanya karena ada suatu kepentingan (sekedar lewat dan singgah)!!”
            Allah berfirman, “Mereka semua adalah termasuk ahli dzikr, tidak ada seorangpun yang duduk bersama mereka akan mendapatkan siksaan (celaka)!!”

Note:rs2-326

Selasa, 24 September 2013

Kasih Sayang Allah pada Yaumul Hisab

            Ketika Allah telah menegakkan Mizanul Amal (Timbangan Amal) pada hari perhitungan (Yaumul Hisab) kelak, ada seorang hamba yang amal kebaikannya tidak bisa melampaui amal kejelekan yang dikerjakannya, timbangan itu sejajar, karena itu ia tidak bisa masuk ke surga ataupun dimasukkan ke neraka. Maka Allah berfirman kepadanya, “Pergilah kamu kepada semua umat manusia, mungkin engkau akan menemukan seseorang yang mau memberikan satu kebaikan kepadamu, yang dengan satu kebaikan itu Aku akan memasukkan engkau ke surga!!”
            Orang itupun berjalan berkeliling ke seluruh penjuru makhsyar, menemui setiap orang untuk meminta satu kebaikan saja, tetapi ia tidak berhasil. Ketika ia menyampaikan maksudnya, ia selalu memperoleh jawaban yang hampir sama, “Saya takut kalau timbangan amal kebaikan saya kurang berat, saya masih sangat membutuhkan nilai kebaikan itu daripada anda!!”
            Memang, dalam suatu riwayat disebutkan bahwa pada yaumul hisab itu hampir setiap orang akan merasa menyesal. Bukan hanya orang-orang kafir atau orang muslim yang sedikit sekali berbuat kebaikan, tetapi orang-orang yang biasa berbuat kebaikan juga akan menyesal. Mereka ini menyesal mengapa ketika hidup di dunia tidak lebih banyak menyempatkan waktu untuk berbuat kebaikan. Karena di saat itu (yakni saat yaumul hisab), ia baru menyadari bahwa amal kebaikan sedikit saja yang dilakukan karena Allah, walau sekedar dua rakaat shalat sunnah, menghilangkan halangan (duri, kaca dll.) dari jalan karena bisa membahayakan orang lain, atau bahkan sekedar tersenyum pada tetangga atau orang-orang yang ditemuinya, ternyata pahalanya sangatlah besarnya. Itulah sebabnya pada saat itu hampir setiap orang akan mempertahankan amal kebaikan yang telah dilakukannya. Mereka berharap dengan kebaikannya itu mereka akan selamat dari huru hara dan fitnah pada yaumul hisab tersebut.
            Ketika orang itu telah melintasi lautan manusia dan hampir putus asa untuk memperoleh sekedar satu kebaikan yang kecil saja, ada seorang lelaki yang datang menghampiri dan berkata, “Apakah yang sedang engkau cari?”
            Orang itu menceritakan keadaanya di hadapan Allah, dan akhirnya berkata, “Saya telah menemui ribuan orang dari berbagai kaum, yang mereka itu memiliki beribu-ribu kebaikan, tetapi mereka semua bakhil terhadap saya, mereka tidak mau memberikan walau hanya satu kebaikan kecil saja!!”
            Lelaki itu tampak ikut bersedih mendengar cerita tersebut, tetapi kemudian ia berkata, “Saya telah bertemu dengan Allah, dan saya tidak menemukan amal kebaikan dalam lembaran amal saya kecuali hanya satu saja. Saya kira satu kebaikan itu tidak akan cukup untuk menjadi sebab masuk surga, karena itu ambillah kebaikan itu sebagai pemberianku kepadamu!!”
            Lelaki itu sangatlah gembira, setelah mengucap terima kasih ia segera kembali menghadap kepada Allah, yang menyambutnya dengan firman-Nya, “Bagaimana? Apa yang terjadi?”
            Lelaki itu berkata, “Saya telah gagal memperoleh satu kebaikan dari banyak orang yang memiliki ribuan bahkan jutaan kebaikan, tetapi ada seseorang yang hanya mempunyai satu kebaikan dan ia memberikannya kepada saya. Ia beranggapan bahwa satu kebaikannya itu tidak akan cukup untuk menyelamatkannya!!”
            Mendengar ceritanya itu, dan sungguh Allah lebih Maha Mengatahui tentang hal itu, maka Allah berfirman, “Kemuliaan-Ku lebih luas dari kemuliaan engkau dan dirinya. Karena itu pegang tangan saudaramu itu, dan ajaklah ia berangkat ke surga bersamamu!!”

Note:ksm76

Menuju ke Tempat Kematian

            Suatu ketika ada tamu yang mengetuk pintu rumah Nabi Sulaiman AS, maka beliau memerintahkan pembantunya untuk membukakan pintu. Begitu membuka pintu, tamu itu tampak menatap tajam kepada sang pembantu, dengan pandangan tajam yang menakutkan, bercampur dengan rasa keheranan. Begitu mempersilahkan masuk, sang pembantu tergopoh-gopoh menemui Nabi Sulaiman dan berkata, “Wahai Tuan, tamu Tuan sangat menakutkan dan tampaknya mengancam saya, karena itu tolonglah saya!!”
            “Bagaimana aku harus menolongmu?” Kata Nabi Sulaiman.
            “Bukankah Tuan menguasai angin? Perintahkanlah angin itu untuk membawa saya jauh dari tamu Tuan tersebut?”
            “Tempat mana yang engkau inginkan?”
            India!!” Kata sang pembantu.
            “Baiklah!!” Kata Nabi Sulaiman, dan beliau memerintahkan angin membawa pembantunya ke negeri India.
            Setelah urusan dengan pembantunya selesai, Nabi Sulaiman menemui sang tamu yang ternyata adalah Malaikat Maut (Izrail). Setelah saling mengucap salam, beliau berkata, “Wahai Izrail, apakah kunjunganmu ini untuk mencabut nyawaku atau sekedar berkunjung!!”
            “Waktumu belum tiba, wahai Sulaiman, aku hanya berkunjung ke sini!!”
            Beliau berkata lagi, “Mengapa engkau tadi memandang pembantuku dengan pandangan tajam dan mengancam!!”
            Izrail berkata, “Bukan mengancam, wahai Sulaiman, hanya saja aku heran, dalam beberapa saat ke depan aku harus mencabut nyawa orang itu (yakni, yang jadi pembantu Nabi Sulaiman), tetapi tempat kematiannya di negeri India. Tetapi mengapa saat ini ia masih di sini?”
            “Subkhanallah,“ Kata Nabi Sulaiman, “Karena rasa takutnya kepada engkau, ia meminta kepadaku agar memerintahkan angin membawanya ke negeri India, dan saat ini ia telah berada di sana!!”
            Setelah berbincang beberapa saat, Izrail berpamitan kepada Nabi Sulaiman karena waktunya telah tiba untuk mencabut nyawa pembantu beliau itu di India.
            Dalam riwayat lainnya disebutkan, orang itu bukanlah pembantu Nabi Sulaiman, tetapi salah punggawa atau bangsawan yang telah banyak berjasa pada kerajaan beliau. Setelah bertemu dengan Malaikat Izrail dalam bentuk manusia, ia merasa sangat ketakutan dan jiwanya terancam. Karena itu ia menemui Nabi Sulaiman dan meminta agar beliau memindahkan dirinya ke negeri India. Padahal justru di negeri India itulah tempat kematiannya sebagaimana tercatat di dalam Lauhul Makhfudz.
            Sungguh benarlah Firman Allah dalam QS Al Jumuah ayat 8, “Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".  

Note:tkoj30   

Jumat, 09 Agustus 2013

Tidak Berputus Asa dari Rahmat Allah

            Jauh sebelum diutusnya Nabi SAW, pernah ada seseorang yang luar biasanya ‘prestasi’ kejahatannya, ia telah membunuh sembilanpuluh sembilan orang tanpa alasan yang benar. Namun demikian, tiba-tiba tergerak dalam hatinya untuk bertaubat, hanya saja ia bimbang apakah masih ada peluang baginya untuk kembali ke jalan kebaikan. Orang-orang di sekitarnya menyarankan agar menemui seorang rahib untuk menanyakan hal itu.
            Ketika tiba di tempat kediaman sang rahib, ia menceritakan kegundahan hatinya dan keinginannya untuk bertaubat. Sang rahib bertanya, “Apakah kesalahanmu itu?”
            Ia berkata, “Saya telah membunuh sembilanpuluh sembilan orang tanpa alasan yang benar!!”
            “Apa??” Seru sang rahib penuh kekagetan, “Membunuh sembilanpuluh sembilan orang? Tidak ada jalan bagimu!! Tempat yang tepat bagimu adalah neraka!!”
            Lelaki itu sangat kecewa sekaligus marah. Ia sadar bahwa kesalahannya memang begitu besarnya. Tetapi cara sang rahib menyikapi dan ‘memvonis’ itu sangat melukai perasaannya. Walau hatinya mulai melembut dengan keinginannya untuk taubat, tetapi jiwa jahatnya belum benar-benar menghilang. Tanpa banyak bicara, ia mengambil pisaunya dan membunuh sang rahib. Genap sudah seratus nyawa tidak bersalah yang melayang di tangannya, tetapi ‘panggilan’ Ilahiah untuk bertaubat terus mengganggu perasaannya, hanya saja ia tidak tahu harus bagaimana?
            Suatu ketika ada orang yang menyarankan untuk menemui seseorang yang alim di suatu tempat, dan ia segera menuju ke sana. Ketika tiba di tempat tinggal sang alim, ia menceritakan jalan hidupnya, termasuk ketika ia menggenapkan pembunuhannya yang ke seratus pada diri sang rahib, dan tentu saja keinginannya untuk bertaubat. Sang alim yang bijak itu berkata, “Tentu saja bisa, dan tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi keinginanmu untuk bertaubat. Tetapi tinggalkanlah tempat tinggalmu itu karena di sana memang kota maksiat. Pergilah ke Kota A (kota lainnya) karena di sana banyak orang yang beribadah kepada Allah, beribadahlah engkau bersama mereka, dan jangan pernah kembali ke kotamu itu. Insyaallah engkau akan memperoleh ampunan Allah dan dimudahkan jalan kepada kebaikan!!”
            Lelaki itu segera berangkat ke kota yang dimaksudkan sang alim, tetapi di tengah perjalanan kematian menjemputnya. Datanglah dua melaikat untuk menjemput jiwa lelaki itu, satu Malaikat rahmat dan satunya Malaikat azab (siksa). Dua malaikat itu bertengkar dan masing-masing merasa berhak untuk membawa jiwa lelaki itu. Sang Malaikat rahmat berkata, “Ia telah berjalan kepada Allah dengan sepenuh hatinya!!”
            Malaikat azab berkata, “Ia tidak pernah berbuat kebaikan sama sekali, justru kejahatannya yang bertumpuk-tumpuk!!”
            Mereka berdua terus beradu argumentasi, sampai akhirnya Allah mengutus malaikat yang ketiga dalam bentuk manusia untuk menjadi ‘hakim’ bagi keduanya. Setelah masing-masing mengajukan pendapatnya, ia berkata, “Ukurlah jarak dua kota itu dari tempat kematiannnya ini, mana yang lebih dekat, maka ia termasuk dalam golongannya!!”
            Mereka mengukur jaraknya, dan ternyata kota yang dituju (kota tempat ibadah dan penuh kebaikan) lebih dekat sejengkal daripada Kota maksiat yang ditinggalkannya. Maka jiwanya dibawa oleh Malaikat rahmat, dan ia memperoleh ampunan Allah.
            Dalam riwayat lainnya disebutkan, sebenarnya lelaki itu belum jauh meninggalkan kota maksiat tersebut. Tetapi Allah memang berkehendak untuk mengampuninya, maka dari tempat kematinnya itu, kota kebaikan dan ibadah dipanggil mendekat dan kota maksiat ‘dihalau’ menjauh hingga jarak keduanya hanya selisih sejengkal tangan, lebih dekat kepada kota kebaikan.

Note:ii781

Karena Tidak Menunaikan Zakat

           Sekelompok tabiin (mereka yang berguru pada sahabat Nabi SAW) mengunjungi seorang tabiin lainnya yang bernama Abu Sinan. Tetapi belum sempat berbincang, Abu Sinan berkata, “Mari ikut bersamaku bertakziah pada tetanggaku yang saudaranya meninggal!!”
            Mereka segera beranjak ke rumah tetangga Abu Sinan, dan mendapati lelaki itu menangis mengeluhkan keadaan saudaranya yang telah meninggal dan dimakamkan. Para tabiin itu berusaha menghibur dan menyabarkannya dengan berkata, ”Tidakkah engkau tahu bahwa kematian itu adalah sebuah jalan dan kepastian yang tidak bisa dihindarkan??”
            Lelaki itu berkata, “Memang benar, tetapi aku menangisi saudaraku yang kini menghadapi siksa kubur!!”
            Sesaat mereka saling berpandangan, kemudian berkata, “Apakah Allah memperlihatkan kepadamu tentang berita ghaib??”
            Ia berkata, “Tidak, tetapi saat selesai memakamkannya dan orang-orang meninggalkan kuburnya, aku duduk sendirian meratakan tanah kuburan sambil mendoakannya Tiba-tiba terdengar suara dari dalam tanah : …aach, mereka meninggalkan aku sendirian menghadapi siksa ini, padahal aku benar-benar telah berpuasa, aku benar-benar telah melaksanakan shalat….”
            Sesaat lelaki itu terdiam berusaha menahan isak tangisnya, lalu berkata lagi, “Mendengar perkataan itu, aku jadi menangis dan menggali lagi kuburannya untuk melihat apa yang sedang dihadapinya. Aku melihat api menjilat-jilat di sana, dan di lehernya melingkar sebuah kalung dari api. Rasa sayang dan kasihan membuatku ingin mengurangi deritanya, maka aku mengulurkan tangan untuk melepas kalung api itu, tetapi tangan dan jari-jemariku justru tersambar api sebelum sempat menyentuhnya….!!”
            Ia menunjukkan tangannya yang tampak menghitam bekas terbakar, dan berkata lagi, “Aku segera menutup kembali kuburnya, dan terus menerus bersedih, menangis dan menyesali keadaan dirinya….!!”
            Mereka berkata, “Sebenarnya apa yang telah dilakukan saudaramu di dunia hingga mendapat siksa kubur seperti itu??”
            Ia berkata, “Dia tidak mengeluarkan zakat hartanya!!”
            Salah seorang dari para tabiin itu yang bernama Muhammad bin Yusuf al Qiryabi berkata, “Peristiwa itu membenarkan firman Allah SWT : Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Ali Imran 180)… Sedangkan saudaramu itu disegerakan siksanya di alam kubur hingga hari kiamat tiba….”
            Para tabiin itu berpamitan, dan mereka mengunjungi sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr al Ghifari. Mereka menuturkan kisah lelaki tetangga Abu Sinan itu, dan menutup ceritanya dengan pertanyaan, “…. Kami telah banyak melihat orang-orang Yahudi, Nashrani dan Majusi mati, tetapi kami tidak pernah mendengar cerita yang seperti ini!!”
            Abu Dzarr berkata, “Mereka (kaum Yahudi, Nashrani dan Majusi) telah jelas tempatnya di neraka, adapun Allah memperlihatkan keadaan orang-orang yang beriman (yang mengalami siksa) itu kepada kalian, agar kalian dapat mengambil ibarat (pelajaran). Bukankah Allah telah berfirman : Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka Barang siapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudaratannya kembali kepadanya. Dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara kamu. (QS al An’am 104)….!!”   

Note:dkmh158

Senin, 08 Juli 2013

Keadilan Lebih Baik daripada Keindahan

            Anu Sirwan adalah salah satu Kisra (Kaisar) Persia yang cukup terkenal karena keadilan dan kearifan (kebijaksanaan)-nya kepada rakyatnya. Ia hidup jauh sebelum diutusnya Nabi SAW, tetapi kisah-kisah keadilannya cukup terkenal dan menyebar di kalangan masyarakat Arab, walau sebenarnya ia dan rakyatnya adalah penyembah api, yakni beragama Majusi.  
            Salah satu kisahnya adalah ketika Anu Sirwan akan melakukan pembangunan untuk meluaskan istananya. Ketika ia melakukan penggusuran dan pembebasan tanah beberapa orang rakyatnya, ternyata ada seorang wanita tua dengan gubug reotnya yang menolak untuk menjual. Berbagai upaya, ancaman dan rayuan, cara halus hingga keras dilakukan tetapi wanita itu tetap bertahan. Wanita itu berkata, “Saya tidak akan menjual walau akan dibayar dengan sekeranjang uang emas. Tetapi kalau dia (yakni Kisra Anu Sirwan) akan menggusurnya, dan dia memang mampu melakukannya, maka terserah saja!!”
            Para pelaksana pembangunan perluasan istana itu melaporkan hal itu kepada Anu Sirwan, dan berencana menggusur gubug reot wanita tua itu, karena posisinya memang tepat di tengah-tengah istana itu, di bagian depan pula. Tetapi Anu Sirwan berkata, “Jangan lakukan itu, biarkan saja gubug itu di tempatnya, tetapi tetap laksanakan perluasan pembangunan!!”
            Pembangunan terus dilaksanakan, hanya saja ada pembengkokan untuk menghindari gubug wanita tua. Ketika telah selesai dan tamu-tamu datang untuk menghadiri undangan Kisra Abu Sirwan dalam suatu acara di istana, banyak sekali yang berkomentar, “Alangkah indahnya istana ini jika saja tidak ada bengkoknya (yakni gubug wanita tua itu)!!”
            Mendengar komentar-komentar seperti itu, Anu Sirwan berkata, “Justru dengan kebengkokan itulah perkaranya menjadi lurus, dan keindahannya semakin sempurna!!”
            Walau secara penampilan memang ‘kurang indah’, tetapi itulah memang yang benar dan lurus. Keadaan dan ‘keindahan’-nya menjadi sempurna karena memang tidak ada satu pihakpun, walau sangat lemah dan tidak berdaya, yang merasa didzalimi dengan sikap sang penguasa.
            Peristiwa yang hampir sama terjadi ketika Mesir masuk menjadi wilayah Islam setelah terlepas dari Rumawi pada masa khalifah Umar bin Khaththab. Gubernur Mesir saat itu, Amr bin Ash bermaksud mendirikan sebuah masjid (yang kini dikenal dengan nama Masjid Amr bin Ash), tetapi seorang wanita Qibhti beragama Nashrani menolak ketika gubug reotnya akan dibeli/diganti dengan harga berapapun. Hanya saja Amr bin Ash tetap memerintahkan untuk menggusur rumah wanita Qibhti itu agar pembangunan masjidnya segera selesai.
            Wanita Qibthi yang merasa didzalimi oleh tindakan sang gubernur itu berjalan kaki menuju Madinah untuk mengadukan persoalannya kepada khalifah. Mendengar pengaduan itu, Umar mengambil pecahan tembikar, dan menulis dengan pedangnya, “Kita lebih berhak (wajib) berbuat keadilan daripada Kisra Anu Sirwan!!”
            Umar memerintahkan wanita Qibhti itu menyerahkan ‘surat’ pecahan tembikar itu kepada Gubernur Amr bin Ash. Ia juga memberikan perbekalan yang berlebih kepada wanita beragama Nashrani itu, agar bisa sampai kembali ke Mesir dengan selamat. Ketika Amr bin Ash menerima ‘surat’ dari Umar itu, ia langsung meletakkan pecahan tembikar tersebut di atas kepalanya, sambil menangis memohon ampunan kepada Allah. Ia memerintahkan para pelaksana pembangunan untuk mendirikan kembali gubug wanita Qibhti itu, dan membelokkan bangunan masjid, sehingga bentuknya membengkong.
                          

Note:bbck322

Ketika Manusia Mengabaikan

            Sudah menjadi ‘hukum sosial’ bahwa seseorang yang perbuatannya jelek dan sering menjadi gangguan bagi masyarakat, ia tidak akan diperdulikan lingkungannya ketika ia mengalami kesulitan atau bahkan meninggal. Padahal yang namanya manusia, tidak selalu dan selamanya seluruh catatannya hitam kelam, bisa jadi ada yang baik dan bermanfaat walau hanya sepele. Tetapi hal yang kecil dan sepele itulah yang kadang mengundang rahmat dan ampunan Allah.
            Pernah terjadi di Bashrah, seorang pemabuk yang sangat buruk moralnya meninggal dunia. Istrinya memberitahukan hal itu kepada para tetangganya, tetapi mereka sama sekali tidak memperdulikan dan tidak mau merawatnya. Karena itu ia memanggil empat orang buruh upahan untuk merawat jenazahnya dan kemudian membawanya ke mushalla. Tetapi sesampainya di sana tidak ada seorangpun yang hadir untuk menyalatkannya. Beberapa orang yang mengetahui hanya melihat dan membiarkannya setelah tahu siapa gerangan jenazah itu. Empat buruh itupun tidak bisa melaksanakan shalat jenazah. Karena tidak tahu harus bagaimana, istrinya itu memerintahkan orang-orang upahan itu untuk membawanya ke pinggiran hutan dan menguburkannya di sana.
            Tidak jauh dari hutan tersebut ada sebuah bukit, yang di sana ada seseorang yang saleh dan sangat zuhud menyendiri untuk beribadah kepada Allah. Ia tidak pernah turun dan berkumpul di masyarakat kecuali untuk shalat Jum’at. Entah bagaimana asal-muasalnya, tiba-tiba orang itu turun gunung dan mendatangi jenazah sang pemabuk yang tengah digali kuburannya itu, dan ia menyalatkannya. Setelah itu ia duduk menunggu untuk memakamkannya.
             Peristiwa turunnya sang saleh dan zahid dari ‘pertapaaanya’ di atas bukit itu menjadi berita menggemparkan bagi masyarakat sekitarnya. Mereka merasa takjub dan keheranan sehingga datang berduyun-duyun ke pinggiran hutan tersebut. Salah satu dari tokoh masyarakat tersebut menghampiri orang saleh tersebut dan berkata, “Wahai Tuan, mengapa engkau menyalatkan jenazah orang ini sedangkan ia orang yang sangat buruk dan banyak sekali berbuat dosa kepada Allah??”
            Orang saleh itu berkata, “Aku diperintahkan (tentunya melalui ilham) turun ke tempat ini karena ada jenazah seseorang yang telah diampuni oleh Allah, sedangkan tidak seorangpun di sana kecuali hanya istrinya!!”
            Orang-orang jadi keheranan mendengar jawaban tersebut, bertahun-tahun mereka tinggal bersama orang itu dan sama sekali tidak pernah melihat dan mengetahui kebaikan yang dilakukan olehnya. Sang zahid tampaknya mengetahui kebingungan masyarakat, karena itu ia memanggil istrinya dan berkata, “Bagaimana sebenarnya keadaan dan perilaku suamimu itu??”
            Sang istri berkata, “Seperti yang diketahui banyak orang, sepanjang hari ia hanya sibuk minum-minuman keras (khamr) di kedai-kedai. Pulangnya di malam hari dalam keadaan mabuk dan tidak sadarkan diri. Seringkali ketika ia tersadar di waktu fajar, ia mandi dan wudhu kemudian shalat subuh. Tetapi di pagi harinya ia kembali ke kedai-kedai untuk minum khamr seperti biasanya. Hanya saja di rumah kami tidak pernah kosong dari satu atau dua orang anak yatim, yang ia sangat menyayanginya melebihi anaknya sendiri. Dan di waktu sadarnya, ia selalu bermunajat sambil menangis sesenggukan : Ya Allah, di bagian jahanam yang manakah akan Engkau tempatkan penjahat (yakni dirinya sendiri) ini??”
            Sang zahid berkata, “Sungguh Maha Luas Kasih Sayang Allah, mungkin karena sangat sedikitnya kebaikan yang dilakukannya sehingga merasa rendah dan hina di hadapan Allah. Dan juga kesabarannya menanggung kehinaan dan cibiran sinis dari lingkungannya, yang mengundang rahmat dan ampunan Allah!!”
            Mendengar penjelasan itu, anggota masyarakat yang hadir segera ikut menyalatkan jenazah pemabuk tersebut, dan ikut serta menguburkannya.

Note:ii570

Selasa, 14 Mei 2013

Karena Kesabaran Menghadapi Istrinya

            Seorang yang saleh mempunyai saudara yang tempat tinggalnya sangat jauh, karena itu jarang sekali ia bisa mengunjunginya. Setelah beberapa tahun tidak bertemu, ia datang mengunjunginya. Tetapi tampak rumahnya tertutup, maka ia mengetuk pintunya dan mengucap salam. Terdengar suara ketus seorang wanita dari dalam rumah, yang mungkin istrinya, “Siapa??”
            Ia berkata, “Aku saudara suamimu, datang dari jauh untuk menjenguknya!!”
            Tanpa membukakan pintu, terdengar suaranya yang ketus lagi, “Ia masih pergi mencari kayu, semoga saja Allah tidak mengembalikannya lagi ke sini….”
            Kemudian masih diteruskan dengan berbagai macam caci-maki kepada saudaranya itu. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarnya. Ia tahu betul bahwa saudaranya itu juga saleh seperti dirinya, karena memang begitulah kedua orang tuanya dahulu mendidiknya. Segala macam umpatan dan cacian itu mungkin salah sasaran kalau ditujukan kepada saudaranya itu.
            Ia memutuskan untuk menunggu dan tidak berapa lama saudaranya itu datang. Saudaranya itu memang mencari kayu, tetapi ia tidak membawanya sendiri, seekor harimau yang cukup besar berjalan di belakangnya sambil ‘menggendong’ kayu tersebut. Setelah kayu diturunkan dari punggung sang harimau, saudaranya itu berkata, “Pergilah, semoga Allah memberkahi dirimu!!”
            Harimau itu berlalu pergi dengan patuhnya, dan pemandangan itu membuatnya terkagum-kagum. Tampaknya saudaranya itu telah mencapai maqam yang cukup tinggi di sisi Allah, hingga mempunyai ‘karamah’ bisa memerintah binatang buas.
            Saudaranya itu mengajaknya masuk, dan meminta dengan lemah lembut kepada istrinya untuk menyiapkan makanan bagi mereka. Sang istri memenuhi perintahnya dengan sikap yang kasar, dan mulutnya tidak henti-hentinya mengomel. Sebaliknya, ia melihat saudaranya itu hanya diam dan terlihat sangat lapang, tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Sama sekali tidak ada sikap marah dan tersinggung dengan perkataan istrinya yang sangat menusuk perasaan, bahkan tampak sekali saudaranya itu nyaman dan bahagia dengan keadaaannya. Karena itu ia urung untuk menanyakan keadaan rumah tangganya, seperti keinginannya semula.
            Dengan keadaan seperti itu, ia tidak ingin berlama-lama untuk tinggal. Ia pamit pulang, tetapi sepanjang perjalanan tidak habis-habisnya ia memikirkan keadaan saudaranya itu. Di satu sisi ia mempunyai ‘karamah’ yang begitu mengagumkan, tetapi di sisi lainnya, ia menghadapi sikap istrinya yang begitu buruk.
            Beberapa tahun berlalu dan tidak bertemu, ia datang lagi mengunjungi saudaranya itu. Sampai di rumahnya yang tampak tertutup, ia mengetuk pintunya dan mengucap salam. Maka terdengar suara seorang wanita, yang mungkin adalah istri saudaranya itu, “Siapa??”
            Kali ini suara itu begitu lembut dan santun, sangat berlawanan suara wanita bertahun sebelumnya. Ia berkata, “Aku adalah saudara suamimu, datang dari jauh untuk menjenguk keadaannya!!”
            Suara santun wanita itu terdengar lagi, “Selamat datang, suamiku sedang mencari kayu di hutan. Silahkan untuk menunggu, tetapi mohon maaf aku tidak bisa membukakan pintu hingga suamiku pulang!!”
            Ia berkata, “Tidak mengapa, biar saja aku menunggu di luar!!”
            Kemudian ia terlibat pembicaraan singkat lewat pintu yang tertutup, dan istri saudaranya itu memuji-muji kebaikan dan kesalehan suaminya itu setinggi langit, dan menyatakan rasa syukurnya karena bisa menjadi istrinya.
            Tidak lama kemudian saudaranya itu datang, tetapi yang mengherankannya tidak ada harimau yang membawakan kayunya seperti dahulu. Ia memikul sendiri tumpukan kayu tersebut, tampak kelelahan dan keringat mengalir di wajahnya, tetapi masih dengan kelapangan dan rasa bahagia yang sama seperti bertahun sebelumnya. Mendengar suaranya itu, sang istri langsung membuka pintu dan menyambut kedatangannya dengan santun dan hormatnya.
            Saudaranya itu mengajaknya masuk, dan ternyata makanan telah terhidang, maka mereka langsung menyantap makanan yang disediakan istrinya tersebut. Sambil makan ia berkata, “Wahai saudaraku, apakah yang terjadi? Apakah engkau telah kehilangan ‘karamah’mu yang dahulu?”
            Masih dengan kelapangan hati dan pancaran rasa bahagia yang sama seperti bertahun sebelumnya, saudaranya itu berkata, “Wahai saudaraku, dahulu itu Allah SWT memberikan istri yang cerewet dan rendah akhlaknya kepadaku, dan aku ikhlas menerimanya. Karena kesabaranku menghadapinya, maka Allah mendatangkan harimau untuk membantuku. Beberapa bulan yang lalu istriku yang cerewet itu meninggal, dan sejak itu pula harimau itu tidak membantuku lagi, dan aku harus memikul sendiri kayu-kayu itu. Namun demikian, Allah tetap memberikan ‘karamah’ lainnya kepadaku, yakni istri yang cantik dan masih muda, serta sangat baik akhlaknya dan tekun ibadahnya!!”
            Dalam riwayat lain disebutkan, saudaranya yang saleh itu adalah seorang pandai besi. Ia mencari kayu untuk membakar besi-besi yang diolahnya. Ketika ia masih beristri yang cerewet dan ia bersabar atasnya, bukan hanya harimau yang membawakan kayunya, tetapi ia memegang besi yang dibakarnya langsung dengan tangannya. Tetapi ketika Allah telah menggantinya dengan istri yang salehah, cantik, masih muda dan berakhlaqul karimah, ia harus memegang besi yang dibakarnya dengan penjepit, kalau tidak tangannya akan melepuh.
           
Note:ii604