Jauh sebelum diutusnya Nabi SAW, pernah ada seseorang yang
luar biasanya ‘prestasi’ kejahatannya, ia telah membunuh sembilanpuluh sembilan
orang tanpa alasan yang benar. Namun demikian, tiba-tiba tergerak dalam hatinya
untuk bertaubat, hanya saja ia bimbang apakah masih ada peluang baginya untuk
kembali ke jalan kebaikan. Orang-orang di sekitarnya menyarankan agar menemui
seorang rahib untuk menanyakan hal itu.
Ketika
tiba di tempat kediaman sang rahib, ia menceritakan kegundahan hatinya dan
keinginannya untuk bertaubat. Sang rahib bertanya, “Apakah kesalahanmu itu?”
Ia
berkata, “Saya telah membunuh sembilanpuluh sembilan orang tanpa alasan yang
benar!!”
“Apa??”
Seru sang rahib penuh kekagetan, “Membunuh sembilanpuluh sembilan orang? Tidak
ada jalan bagimu!! Tempat yang tepat bagimu adalah neraka!!”
Lelaki itu
sangat kecewa sekaligus marah. Ia sadar bahwa kesalahannya memang begitu
besarnya. Tetapi cara sang rahib menyikapi dan ‘memvonis’ itu sangat melukai
perasaannya. Walau hatinya mulai melembut dengan keinginannya untuk taubat,
tetapi jiwa jahatnya belum benar-benar menghilang. Tanpa banyak bicara, ia
mengambil pisaunya dan membunuh sang rahib. Genap sudah seratus nyawa tidak
bersalah yang melayang di tangannya, tetapi ‘panggilan’ Ilahiah untuk bertaubat
terus mengganggu perasaannya, hanya saja ia tidak tahu harus bagaimana?
Suatu
ketika ada orang yang menyarankan untuk menemui seseorang yang alim di suatu
tempat, dan ia segera menuju ke sana .
Ketika tiba di tempat tinggal sang alim, ia menceritakan jalan hidupnya,
termasuk ketika ia menggenapkan pembunuhannya yang ke seratus pada diri sang
rahib, dan tentu saja keinginannya untuk bertaubat. Sang alim yang bijak itu
berkata, “Tentu saja bisa, dan tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi
keinginanmu untuk bertaubat. Tetapi tinggalkanlah tempat tinggalmu itu karena
di sana memang kota maksiat. Pergilah ke Kota
A (kota lainnya) karena di sana banyak orang yang beribadah kepada
Allah, beribadahlah engkau bersama mereka, dan jangan pernah kembali ke kotamu
itu. Insyaallah engkau akan memperoleh ampunan Allah dan dimudahkan jalan
kepada kebaikan!!”
Lelaki itu
segera berangkat ke kota
yang dimaksudkan sang alim, tetapi di tengah perjalanan kematian menjemputnya.
Datanglah dua melaikat untuk menjemput jiwa lelaki itu, satu Malaikat rahmat
dan satunya Malaikat azab (siksa). Dua malaikat itu bertengkar dan
masing-masing merasa berhak untuk membawa jiwa lelaki itu. Sang Malaikat rahmat
berkata, “Ia telah berjalan kepada Allah dengan sepenuh hatinya!!”
Malaikat
azab berkata, “Ia tidak pernah berbuat kebaikan sama sekali, justru
kejahatannya yang bertumpuk-tumpuk!!”
Mereka
berdua terus beradu argumentasi, sampai akhirnya Allah mengutus malaikat yang
ketiga dalam bentuk manusia untuk menjadi ‘hakim’ bagi keduanya. Setelah
masing-masing mengajukan pendapatnya, ia berkata, “Ukurlah jarak dua kota itu dari tempat
kematiannnya ini, mana yang lebih dekat, maka ia termasuk dalam golongannya!!”
Mereka
mengukur jaraknya, dan ternyata kota yang dituju
(kota tempat ibadah dan penuh kebaikan) lebih
dekat sejengkal daripada Kota
maksiat yang ditinggalkannya. Maka jiwanya dibawa oleh Malaikat rahmat, dan ia
memperoleh ampunan Allah.
Dalam
riwayat lainnya disebutkan, sebenarnya lelaki itu belum jauh meninggalkan kota maksiat tersebut.
Tetapi Allah memang berkehendak untuk mengampuninya, maka dari tempat
kematinnya itu, kota kebaikan dan ibadah dipanggil mendekat dan kota maksiat
‘dihalau’ menjauh hingga jarak keduanya hanya selisih sejengkal tangan, lebih
dekat kepada kota kebaikan.
Note:ii781