Jumat, 09 Agustus 2013

Tidak Berputus Asa dari Rahmat Allah

            Jauh sebelum diutusnya Nabi SAW, pernah ada seseorang yang luar biasanya ‘prestasi’ kejahatannya, ia telah membunuh sembilanpuluh sembilan orang tanpa alasan yang benar. Namun demikian, tiba-tiba tergerak dalam hatinya untuk bertaubat, hanya saja ia bimbang apakah masih ada peluang baginya untuk kembali ke jalan kebaikan. Orang-orang di sekitarnya menyarankan agar menemui seorang rahib untuk menanyakan hal itu.
            Ketika tiba di tempat kediaman sang rahib, ia menceritakan kegundahan hatinya dan keinginannya untuk bertaubat. Sang rahib bertanya, “Apakah kesalahanmu itu?”
            Ia berkata, “Saya telah membunuh sembilanpuluh sembilan orang tanpa alasan yang benar!!”
            “Apa??” Seru sang rahib penuh kekagetan, “Membunuh sembilanpuluh sembilan orang? Tidak ada jalan bagimu!! Tempat yang tepat bagimu adalah neraka!!”
            Lelaki itu sangat kecewa sekaligus marah. Ia sadar bahwa kesalahannya memang begitu besarnya. Tetapi cara sang rahib menyikapi dan ‘memvonis’ itu sangat melukai perasaannya. Walau hatinya mulai melembut dengan keinginannya untuk taubat, tetapi jiwa jahatnya belum benar-benar menghilang. Tanpa banyak bicara, ia mengambil pisaunya dan membunuh sang rahib. Genap sudah seratus nyawa tidak bersalah yang melayang di tangannya, tetapi ‘panggilan’ Ilahiah untuk bertaubat terus mengganggu perasaannya, hanya saja ia tidak tahu harus bagaimana?
            Suatu ketika ada orang yang menyarankan untuk menemui seseorang yang alim di suatu tempat, dan ia segera menuju ke sana. Ketika tiba di tempat tinggal sang alim, ia menceritakan jalan hidupnya, termasuk ketika ia menggenapkan pembunuhannya yang ke seratus pada diri sang rahib, dan tentu saja keinginannya untuk bertaubat. Sang alim yang bijak itu berkata, “Tentu saja bisa, dan tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi keinginanmu untuk bertaubat. Tetapi tinggalkanlah tempat tinggalmu itu karena di sana memang kota maksiat. Pergilah ke Kota A (kota lainnya) karena di sana banyak orang yang beribadah kepada Allah, beribadahlah engkau bersama mereka, dan jangan pernah kembali ke kotamu itu. Insyaallah engkau akan memperoleh ampunan Allah dan dimudahkan jalan kepada kebaikan!!”
            Lelaki itu segera berangkat ke kota yang dimaksudkan sang alim, tetapi di tengah perjalanan kematian menjemputnya. Datanglah dua melaikat untuk menjemput jiwa lelaki itu, satu Malaikat rahmat dan satunya Malaikat azab (siksa). Dua malaikat itu bertengkar dan masing-masing merasa berhak untuk membawa jiwa lelaki itu. Sang Malaikat rahmat berkata, “Ia telah berjalan kepada Allah dengan sepenuh hatinya!!”
            Malaikat azab berkata, “Ia tidak pernah berbuat kebaikan sama sekali, justru kejahatannya yang bertumpuk-tumpuk!!”
            Mereka berdua terus beradu argumentasi, sampai akhirnya Allah mengutus malaikat yang ketiga dalam bentuk manusia untuk menjadi ‘hakim’ bagi keduanya. Setelah masing-masing mengajukan pendapatnya, ia berkata, “Ukurlah jarak dua kota itu dari tempat kematiannnya ini, mana yang lebih dekat, maka ia termasuk dalam golongannya!!”
            Mereka mengukur jaraknya, dan ternyata kota yang dituju (kota tempat ibadah dan penuh kebaikan) lebih dekat sejengkal daripada Kota maksiat yang ditinggalkannya. Maka jiwanya dibawa oleh Malaikat rahmat, dan ia memperoleh ampunan Allah.
            Dalam riwayat lainnya disebutkan, sebenarnya lelaki itu belum jauh meninggalkan kota maksiat tersebut. Tetapi Allah memang berkehendak untuk mengampuninya, maka dari tempat kematinnya itu, kota kebaikan dan ibadah dipanggil mendekat dan kota maksiat ‘dihalau’ menjauh hingga jarak keduanya hanya selisih sejengkal tangan, lebih dekat kepada kota kebaikan.

Note:ii781

Karena Tidak Menunaikan Zakat

           Sekelompok tabiin (mereka yang berguru pada sahabat Nabi SAW) mengunjungi seorang tabiin lainnya yang bernama Abu Sinan. Tetapi belum sempat berbincang, Abu Sinan berkata, “Mari ikut bersamaku bertakziah pada tetanggaku yang saudaranya meninggal!!”
            Mereka segera beranjak ke rumah tetangga Abu Sinan, dan mendapati lelaki itu menangis mengeluhkan keadaan saudaranya yang telah meninggal dan dimakamkan. Para tabiin itu berusaha menghibur dan menyabarkannya dengan berkata, ”Tidakkah engkau tahu bahwa kematian itu adalah sebuah jalan dan kepastian yang tidak bisa dihindarkan??”
            Lelaki itu berkata, “Memang benar, tetapi aku menangisi saudaraku yang kini menghadapi siksa kubur!!”
            Sesaat mereka saling berpandangan, kemudian berkata, “Apakah Allah memperlihatkan kepadamu tentang berita ghaib??”
            Ia berkata, “Tidak, tetapi saat selesai memakamkannya dan orang-orang meninggalkan kuburnya, aku duduk sendirian meratakan tanah kuburan sambil mendoakannya Tiba-tiba terdengar suara dari dalam tanah : …aach, mereka meninggalkan aku sendirian menghadapi siksa ini, padahal aku benar-benar telah berpuasa, aku benar-benar telah melaksanakan shalat….”
            Sesaat lelaki itu terdiam berusaha menahan isak tangisnya, lalu berkata lagi, “Mendengar perkataan itu, aku jadi menangis dan menggali lagi kuburannya untuk melihat apa yang sedang dihadapinya. Aku melihat api menjilat-jilat di sana, dan di lehernya melingkar sebuah kalung dari api. Rasa sayang dan kasihan membuatku ingin mengurangi deritanya, maka aku mengulurkan tangan untuk melepas kalung api itu, tetapi tangan dan jari-jemariku justru tersambar api sebelum sempat menyentuhnya….!!”
            Ia menunjukkan tangannya yang tampak menghitam bekas terbakar, dan berkata lagi, “Aku segera menutup kembali kuburnya, dan terus menerus bersedih, menangis dan menyesali keadaan dirinya….!!”
            Mereka berkata, “Sebenarnya apa yang telah dilakukan saudaramu di dunia hingga mendapat siksa kubur seperti itu??”
            Ia berkata, “Dia tidak mengeluarkan zakat hartanya!!”
            Salah seorang dari para tabiin itu yang bernama Muhammad bin Yusuf al Qiryabi berkata, “Peristiwa itu membenarkan firman Allah SWT : Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Ali Imran 180)… Sedangkan saudaramu itu disegerakan siksanya di alam kubur hingga hari kiamat tiba….”
            Para tabiin itu berpamitan, dan mereka mengunjungi sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr al Ghifari. Mereka menuturkan kisah lelaki tetangga Abu Sinan itu, dan menutup ceritanya dengan pertanyaan, “…. Kami telah banyak melihat orang-orang Yahudi, Nashrani dan Majusi mati, tetapi kami tidak pernah mendengar cerita yang seperti ini!!”
            Abu Dzarr berkata, “Mereka (kaum Yahudi, Nashrani dan Majusi) telah jelas tempatnya di neraka, adapun Allah memperlihatkan keadaan orang-orang yang beriman (yang mengalami siksa) itu kepada kalian, agar kalian dapat mengambil ibarat (pelajaran). Bukankah Allah telah berfirman : Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka Barang siapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudaratannya kembali kepadanya. Dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara kamu. (QS al An’am 104)….!!”   

Note:dkmh158