Sabtu, 30 Juni 2012

Dari Hubbud Dunya menjadi Ahlul Jannah

Suatu ketika Malik bin Dinar berjalan-jalan di Kota Bashrah dengan sahabatnya Abu Sulaiman (Ja’far). Mereka bertemu dengan seorang pemuda tampan yang sedang mempersiapkan pembangunan sebuah gedung. Ia tampak memberikan perintah kepada tukang-tukangnya untuk mengerjakan ini dan itu. Malik bin Dinar berkata kepada Abu Sulaiman, “Lihatlah pemuda itu, alangkah tampan wajahnya, betapa rajinnya ia mengatur pembangunan itu. Aku ingin berdoa semoga Allah menyelamatkan pemuda itu, dan menjadikannya pemuda ahli surga!!”
Kemudian mereka berdua menghampiri pemuda itu, dan mereka mengucap salam. Walau pemuda itu tidak mengenalnya secara khusus sebagai seorang ulama tasauf, tetapi ia bisa merasakan ‘aura’ kewibawaannya. Pemuda itu menjawab salamnya dan menyambutnya dengan ramah dan santun sambil menanyakan maksud kedatangannya. Malik bin Dinar berkata, “Berapakah perkiraan biaya yang engkau keluarkan untuk membangun gedung ini?”
Pemuda itu berkata, “Seratus ribu dirham!!”
Malik bin Dinar berkata, “Aku ingin memberikan penawaran kepadamu, serahkanlah seratus ribu dirham itu kepadaku, dan aku akan menempatkannya pada tempat yang seharusnya. Sebagai gantinya, aku akan menjamin bagimu di sisi Allah, sebuah gedung yang lebih indah daripada ini, lengkap dengan pelayan-pelayannya, kubah-kubahnya, kemah-kemahnya dari yaqut merah bertaburkan permata, tanahnya za’faran, semen (perekat)-nya misik, jauh lebih besar dan lebih luas dari rencana gedungmu itu, dan tidak akan rusak selamanya. Karena gedung itu terbangun dengan kalimat Allah ‘Kun’, maka terjadilah gedung itu!!”
Sebuah penawaran yang sangat tidak masuk akal, tetapi tampaknya merasuk dalam pikiran pemuda itu. Apalagi ada ‘hawa’ kesalehan dan ketulusan dalam ucapan Malik bin Dinar itu. Pemuda itu tampak tercenung sebentar, kemudian ia berkata, “Berilah aku waktu semalam untuk memikirkannya, dan esok pagi sekali hendaknya tuan datang kembali ke sini!!”
“Baiklah!!” Kata Malik bin Dinar.
Semalaman itu Malik bin Dinar memikirkan pemuda itu, dan ketika waktu sahar (sebelum subuh, waktu yang afdhol untuk sahur) tiba, ia lebih banyak berdoa untuk pemuda tampan tersebut. Ketika matahari telah terbit, mereka berdua mendatangi pemuda tersebut, yang ternyata telah siap-siap menunggu kedatangannya. Setelah saling mengucap salam, pemuda itu berkata, “Apakah yang tuan katakan kemarin??”
Malik bin Dinar mengulangi lagi ucapannya pada hari sebelumnya, setelah itu ia berkata, “Apakah kamu sanggup melaksanakannya??”
Pemuda itu menyahut dengan cepat, “Ya!!”
Kemudian ia menyerahkan beberapa kantong uang berisi seratus ribu dirham yang telah dipersiapkannya. Ia juga telah menyiapkan selembar kertas dan dawat (tinta) beserta penanya. Malik bin Dinar langsung menulis pada kertas tersebut, “Bismillaahirrahmaanirrahiim. Ini surat jaminan dari Malik bin Dinar untuk Fulan bin Fulan. Sungguh saya (Malik bin Dinar) menjamin untukmu di sisi Allah, sebuah gedung sebagai ganti gedungmu itu, menurut sifat dan bentuk yang telah aku sebutkan sebelumnya, dan selebihnya dari itu terserah kepada Allah. Saya membeli untukmu dengan uangmu ini, sebuah gedung di surga yang lebih luas dan lebih indah daripada gedungmu itu, di bawah naungan yang sejuk, di sisi Tuhan Yang Maha Agung..!!”
Surat itu dilipat dan diserahkan kepada pemuda itu, kemudian Malik bin Dinar dan Abu Sulaiman memikul uang itu, berjalan berkeliling Kota Bashrah membagi-bagikan uang itu kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkannya. Sore harinya, ketika tidak ada lagi dari mereka yang memerlukan uang itu, tersisa beberapa dirham yang hanya cukup untuk membeli makan malam sederhana bagi mereka berdua.
Empatpuluh hari kemudian, usai shalat subuh di mihrabnya, Malik bin Dinar menemukan sebuah kertas terlipat. Setelah ia membukanya, terdapat tulisan yang tidak ditulis dengan dawat (tinta), “Ini bukti kekebasan dari Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana kepada Malik bin Dinar, dan Kami akan menepati jaminannya kepada pemuda itu, dengan gedung yang tujuhpuluh kali lipatnya dari apa yang ia sifatkan!!”
Malik bin Dinar tercenung beberapa saat setelah membacanya, kemudian ia bergegas pergi ke rumah pemuda itu. Tampak pintunya tertutup dan terdengar tangisan di dalamnya. Salah seorang tetangga pemuda itu berkata kepada Malik, “Pemuda itu telah meninggal kemarin, dan kami telah memanggil seorang tukang memandikan ketika ia naza’ (sekarat)!!”
Malik berkata, “Dimanakah rumah tukang memandikan itu?”
Mereka mengantar Malik bin Dinar ke tempat tinggalnya. Setelah bertemu, Malik berkata kepadanya, “Coba engkau ceritakan kepadaku bagaimana keadaannya?”
Tukang memandikan itu menceritakan kalau ia datang ketika pemuda itu sedang sekarat atau naza’. Sebelum kematiannya, ia sempat berkata kepadanya, “Jika aku telah mati dan engkau telah mengkafaninya, letakkanlah surat ini di dalam kafanku!!”
Pemuda itu memberikan sebuah surat atau kertas terlipat, dan ia meletakkannya di antara tubuh dan kain kafan yang membungkusnya, kemudian ia menguburkannya. Sambil menunjukkan surat atau kertas terlipat yang ditemukan di mihrabnya subuh hari itu, Malik bin Dinar berkata, “Apakah surat ini!!”
“Benar!!” Kata tukang memandikan itu sambil terheran-heran. Ia sangat yakin dan pasti kalau telah melaksanakan wasiat pemuda itu, dan menguburkan surat itu bersama jenazahnya. Tetapi mengapa surat itu ternyata ada di tangan Malik bin Dinar? Ia berkata, “Demi Allah yang telah mematikan pemuda itu, saya telah meletakkan surat itu di antara tubuh dan kafannya, kemudian menguburkannya!!”
Malik bin Dinar tampak sangat terharu dengan cerita itu, begitu juga dengan orang-orang di sekitarnya yang memang telah mengetahui kisah ‘pertukaran’ tersebut. Salah seorang pemuda mendekati Malik bin Dinar dan berkata, “Wahai Malik, terimalah dari aku duaratus ribu dinar, dan berikan jaminan untukku seperti pemuda itu!!”
Penawaran yang diberikan pemuda ini jauh lebih banyak, daripada yang diminta pada pemuda yang telah meninggal itu. Dirham adalah uang perak, dan itupun hanya seratus ribu dirham, sedang dinar adalah uang emas, dan itu sebanyak duaratus ribu dinar. Tetapi Malik menyadari bahwa kemuliaan dan ketinggian derajad yang diterima pemuda yang telah meninggal itu bukanlah karena perannya dalam menyedekahkan uang yang sedianya akan dibuat membangun gedung itu. Tetapi lebih kepada sikap dan amalan pemuda itu sendiri dan juga kasih sayang dan kehendak Allah
Menyadari hal itu, Malik bin Dinar berkata, “Jauh, jauh sekali yang seperti itu (maksudnya tidak mungkin akan terulang lagi), terjadilah apa yang telah terjadi, yang tertinggal juga telah tertinggal, dan Allah memberikan keputusan sesuka-Nya, sesuai kehendak-Nya sendiri!!”

Seorang Pendosa yang ‘Memprotes’ Allah

Pada masa Nabi Musa AS, ada seorang lelaki dari umat beliau yang seringkali melakukan maksiat, tetapi tidak lama setelah itu ia bertaubat kepada Allah. Sayangnya lelaki ini masih ‘terkalahkan’ dengan hawa nafsu dan angan-angannya sehingga ia selalu mengulangi maksiat-maksiatnya. Namun demikian kesadarannya selalu muncul dan ia kembali bertaubat kepada Allah. Hal seperti itu terus berulang-ulang dilakukannya hingga duapuluh tahun lamanya.
Suatu ketika Allah berfirman kepada Nabi Musa tentang lelaki itu, “Wahai Musa, katakanlah kepada hamba-Ku si fulan bahwa Aku murka kepadanya!!”
Nabi Musa menyampaikan firman Allah tersebut kepadanya, dan ia jadi sangat bersedih. Dalam kekalutannya karena dimurkai Allah, ia lari ke tengah padang yang luas. Di sana ia berseru, “Ya Allah, sudah habiskah rahmat-Mu, ataukah maksiatku membahayakan diri-Mu? Ya Allah, sudah habiskah simpanan maghfirah (ampunan)-Mu, ataukah Engkau telah kikir dengan hamba-hamba-Mu yang berdosa, dosa manakah yang lebih besar daripada ampunan-Mu? Ya Allah, kemuliaan ada di antara sifat-sifat-Mu yang qadim (telah ada sejak awal dan selalu ada, tidak akan pernah berakhir), sedangkan kehinaan ada di antara sifat-sifatku yang hadist (baru, diadakan/diciptakan dan akan berakhir), bagaimana bisa sifatku mengalahkan sifat-sifat-Mu? Ya Allah, apabila telah Engkau halangi hamba-Mu dari rahmat kasih-Mu, maka kepada siapa lagi mereka akan mengharapkan? Apabila Engkau telah menolak mereka, maka kepada siapa lagi mereka akan mengadu? Ya Allah, kalau memang rahmat-Mu telah habis, dan tidak ada jalan lagi kecuali dengan menyiksa aku, maka pikulkanlah kepadaku semua siksaan yang akan Engkau timpakan kepada semua hamba-hamba-Mu, aku ingin menebus mereka dengan diriku!!”
Tidak ada yang diucapkannya dalam pelarian dan penyendiriannya di padang luas itu, kecuali kalimat-kalimat dalam seruan/munajatnya tersebut. Ia diliputi dengan penyesalan sehingga terlupa, tidak pernah lagi, atau tidak sempat lagi berbuat maksiat. Setelah berlalu beberapa waktu lamanya, Allah berfirman kepada Nabi Musa, “Hai Musa, pergilah engkau kepada hamba-Ku si fulan di padang sana, dan katakan kepadanya : Seandainya dosamu memenuhi bumi, Aku akan tetap melimpahkan ampunan kepadamu, setelah engkau mengenali-Ku dengan kekuasaan-Ku yang sempurna, ampunan dan rahmat-Ku yang tiada batasnya!!”
Memang, semua pertanyaan atau pernyataan dalam munajatnya tersebut, jawabannya adalah tidak atau tidak ada, dan itu benar-benar diketahuinya, dan ia sangat meyakini kebenaran itu. Inilah suatu tingkat ma’rifat (pengenalan) kepada Allah yang dicapainya ketika ia ‘tenggelam’ dalam penyesalan atas dosa-dosanya, yang sedikit atau banyak berperan juga dalam mengundang ampunan Allah.
Dalam suatu kesempatan, Nabi SAW pernah menyabdakan, bahwa tidak ada suatu suara yang lebih dicintai Allah daripada suara seorang hamba yang berdosa, kemudian bertaubat, dan ia sangat sering menyeru atau menyebut nama-Nya, “Ya Allah, ya Allah,…ya Tuhanku, ya Tuhanku (ya Rabbii, ya Rabbii)!!”
Maka Allah akan menjawab seruannya, walau hamba itu sendiri tidak mendengar-Nya, “Ya, ya, (labbaik, labbaik) wahai hamba-Ku, mintalah yang engkau kehendaki, engkau di sisi-Ku seperti sebagian malaikat-malaikat-Ku, Aku berada di sisi kananmu, di sisi kirimu, di atasmu dan sangat dekat dengan isi harimu!! Wahai para malaikat-Ku, saksikanlah, sesungguhnya Aku telah mengampuninya!!”
Dalam kesempatan lainnya, Nabi SAW juga bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang melakukan suatu dosa, kemudian ia masuk surga dengan sebab dosa itu!!”
Para sahabat yang berkumpul di sekitar beliau tampak keheranan, dan salah satunya berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana itu bisa terjadi??”
Dengan tersenyum Nabi SAW bersabda, “Karena yang terpampang di depan matanya hanyalah bertaubat dari dosa itu, dan ia terus saja berlari darinya (dari dosa itu) hingga akhirnya ia sampai di surga!!”

Jumat, 01 Juni 2012

Hasudnya Mencelakakan Dirinya Sendiri

Ada seorang saleh yang mempunyai kedekatan dengan seorang raja. Hampir setiap hari ia datang ke istana untuk memberikan nasehat-nasehat kepada sang Raja, yang tidak pernah bosan mendengarkan walau terkadang ia mengulang beberapa kali nasehatnya tersebut. Hal ini bisa terjadi karena ia memang sangat tulus ikhlas, tidak ada pretensi (pamrih) apapun, khususnya keduniaan. Salah satu nasehat yang sering diulang-ulangnya adalah, “Berbuatlah kebaikan kepada orang yang berakhlak baik, karena orang yang berbuat dan berakhlak jahat akan binasa oleh kejahatannya sendiri!!”
Ternyata ada orang yang tidak suka, bahkan hasud dengan kedekatannya dengan sang raja. Ia selalu mencari jalan bagaimana bisa memisahkan orang saleh tersebut dengan raja, bahkan kalau mungkin membinasakannya. Setelah menyusun rencana yang matang, ia datang menghadap raja dan berkata, “Wahai sang raja, sesungguhnya orang saleh yang selalu mendatangi engkau itu mengatakan kepada orang-orang di sekitarnya bahwa bau mulutmu sangat busuk!!”
“Apa benar seperti itu?” Tanya sang raja, setengah tidak percaya.
Lelaki penghasud itu berkata lagi, “Kalau tuan raja tidak percaya, jika besok ia menghadap kesini, perintahkanlah ia untuk mendekat, niscaya ia akan menutup hidung dan mulutnya!!”
Sepertinya sang raja termakan oleh hasudannya, dan berkata, “Pulanglah engkau, aku akan mengecek kebenaran ucapanmu itu!!”
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum berangkat ke istana raja, orang saleh tersebut diundang ke rumah si lelaki penghasud. Setelah memberikan nasehat-nasehat yang diminta, orang saleh itu disuguhi hidangan dan dipersilahkan memakannya. Ternyata si penghasud telah membubuhkan banyak sekali bawang putih dalam masakan tersebut, sehingga mulut si orang saleh itu berbau tidak sedap, bau bawang putih yang menyengat.
Orang saleh itu segera berpamitan karena ia mempunyai janji untuk menemui raja setiap harinya. Ia tidak punya waktu untuk bisa menghilangkan bau mulutnya itu, dan menghadap raja dalam keadaan seperti itu. Ketika ia bersiap menyampaikan nasehat-nasehat, tidak seperti biasanya tiba-tiba sang raja memanggilnya mendekat untuk duduk berhadapan, tetapi hal itu telah diperhitungkan dengan matang oleh sang penghasud. Karena takut bau mulutnya akan mengganggu sang raja, ia menutup mulutnya, bahkan sambil memberikan nasehatnya, ia tetap menutup mulutnya dengan tangannya.
Melihat sikap orang saleh tersebut, raja jadi membenarkan ‘laporan’ dari lelaki penghasud. Sebelum pulang, sang raja menulis surat pada salah seorang pembesarnya yang juga salah seorang algojonya. Raja berkata dalam suratnya itu, “Jika surat ini telah engkau terima, hendaklah engkau membunuh dan menguliti pembawa surat ini!! Setelah itu hendaknya engkau kirimkan lagi kepadaku, kepala dan kulitnya sebagai bukti engkau telah melaksanakan tugas!!”
Setelah diberi amplop tertutup dan disegel dengan cap kerajaan, surat itu diserahkan kepada orang saleh itu dan diperintahkan untuk membawanya kepada pembesarnya di suatu tempat. Orang saleh itu menerima surat itu tanpa curiga sama sekali, dan segera berangkat menuju tempat yang diperintahkan. Lelaki penghasud yang masih terus mengikuti dan mengawasinya terkejut ketika melihat ia masih hidup, bahkan membawa surat dengan amplop khusus dari sang raja. Orang yang memperoleh amplop seperti itu biasanya memperoleh hadiah dan pemberian yang sangat berharga dari raja. Karena memang mempunyai sifat dan watak hasud (sifat iri dan tidak senang jika orang lain mendapat kenikmatan, dan menginginkan hilangnya kenikmatan tersebut), ia menghampiri orang saleh itu dan berkata, “Apakah surat itu?”
Orang saleh itu berkata, “Surat ini ditulis sendiri oleh raja, dan aku diperintahkan untuk mengantarkannya!!”
“Berikanlah kepadaku!!” Kata si penghasud itu.
Orang saleh itu mencoba bertahan bahwa itu adalah tugasnya, tetapi si penghasud memaksa, sehingga ia menyerahkan surat itu kepadanya. Si penghasud segera berlalu menuju tempat tinggal pembesar yang ditunjukkan. Setelah menyerahkan surat tersebut, ia menunggu dengan gembira dan menebak-nebak, hadiah apa yang akan diterimanya. Tetapi tanpa disangka-sangka, pembesar itu memerintahkan para prajurit untuk menangkap dan mengikatnya, sambil berkata, “Dalam surat ini, raja memerintahkan untuk membunuh orang yang membawa surat ini, kemudian memenggal dan mengulitinya!!”
Seketika pucat pasi wajah si penghasud itu, ia berusaha berontak dan berkata, “Sesungguhnya surat itu bukan untukku. Ijinkanlah aku untuk menghadap dan menyampaikan hal ini pada raja!!”
Sang pembesar tidak menghiraukan ucapannya, pemberontakannya hanya sia-sia belaka karena para prajurit itu begitu kuat memeganginya. Sang pembesar berkata, “Surat raja tidak bisa dibantah, dan perintah raja harus segera dilaksanakan!!”
Ia segera disembelih, dipancung kepalanya dan dikuliti kemudian dikirimkan ke raja. Ketika raja menerimanya, ia terkejut karena bukan kepala orang saleh itu. Ia memerintahkan prajurit untuk mendatangkan orang saleh itu ke hadapannya. Ketika telah ia tiba dan ia sama sekali tidak tahu bahwa si penghasud telah mati dipancung, sang raja berkata, “Mengapa engkau tidak mengantarkan sendiri surat itu seperti perintahku??
Orang saleh itu menceritakan semua yang dialaminya, dan meminta maaf atas keteledorannya sehingga menyerahkan surat itu pada orang lain. Raja berkata lagi, “Benarkah engkau berkata kepada orang-orang bahwa bau mulutku sangat busuk??” 
“Astaghfirullah, tidak benar seperti itu, wahai raja!!”
“Tetapi mengapa engkau menutup mulutmu ketika engkau kuperintahkan mendekat kepadaku!!”
Orang saleh itu menceritakan peristiwa yang dialaminya sebelum ia menghadap raja pagi hari itu. Raja mengangguk-anggukan kepalanya mulai mengerti duduk perkaranya, kemudian ia berkata, “Benar sekali ajaran dan nasehatmu, orang jahat itu akan binasa karena kejahatannya sendiri!!”

Berkah Istiqomah di Bulan Rajab

            Ada seorang wanita yang tinggal di sekitar Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis), ia mempunyai kebiasaan (amalan) unik. Jika datang Bulan Rajab, salah satu dari bulan yang dimuliakan Allah seperti disitir dalam QS At Taubah ayat 36, ia i’tikaf di Masjidil Aqsha dengan memakai pakaian (selimut) bulu, pakaian paling sederhana saat itu, dan ia membaca dzikr surat al Ikhlas (Qul huwallahu ahad, dst…) sebanyak 12.000 kali. Ia tidak pernah meninggalkan kebiasaan amalannya itu setiap kali Bulan Rajab datang, hingga kematian menjemputnya.
            Bulan Rajab memang bulan yang penuh keberkahan. Nabi SAW pernah bersabda, bahwa Bulan Rajab adalah Bulan Allah, Bulan Sya’ban adalah Bulanku (Bulan Nabi SAW), dan Bulan Ramadhan adalah Bulan Umatku (Umat Nabi SAW, umat Islam). Setiap memasuki Bulan Rajab, beliau juga mengajarkan doa kepada para sahabat, yaitu : “Allahumma baariklanaa fii rajaaba, wa sya’baana, wa ballighnaa romadhoon.”
            Makna dari doa tersebut adalah : Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami pada bulan Rajab ini, juga pada Bulan Sya’ban, dan sampaikanlah (panjangkanlah umur) kami kepada Bulan Romadhon. Mungkin karena ingin menghormati, sekaligus ‘memancing’ barakah dari Bulan Rajab itu, wanita tersebut menjalankan amalan dzikrnya tersebut secara istiqomah, walaupun tidak ada tuntunan khusus dari Rasulullah SAW atau para sahabat lainnya.
Soal ibadah yang bernama dzikr ini, menurut pendapat mayoritas ulama, memang tidak ada tuntunan khusus seperti halnya ibadah shalat, puasa, wudhu dan lain-lainnya. Setiap orang bisa mengamalkan dzikr kapan saja, dimana saja dan sebanyak apa, sesuai dengan keadaan dan kemampuannya, tidak ada batasan khusus. Perintah Al Qur’an dalam berdzikr hanya bersifat global : Yaa ayyuhal ladziina aamanudzkurullaaha dzikran katsiiran, wa sabbikhuuhu bukratan wa ashiilaa. Hanya saja para ulama menggaris-bawahi, bacaan yang dibaca dalam dzikr itu sebaiknya adalah ayat-ayat (surat) Al Qur’an, kalimat-kalimat thayyibah yang diajarkan Rasulullah SAW, shalawat, dan doa-doa. Nabi SAW memang mengajarkan dzikr khusus pada beberapa momen tertentu, seperti misalnya setelah shalat lima waktu, pada waktu pagi dan sore, dan lain-lainnya, tetapi tidak bersifat wajib, tetapi hanya sunnah saja.
Tidak ada penjelasan pasti bagaimana wanita di Masjidil Aqsha itu menjalankan dzikrnya yang 12.000 surat al Ikhlas itu. Kelihatannya cukup berat, tetapi sebenarnya tidak seperti itu, karena surat al Ikhlas sangat pendek dan mudah dihafalkan. Kalau dijalankan selama sebulan (asumsi sebanyak 30 hari), sebenarnya tidaklah terlalu berat. Duabelas ribu kali, berarti 400 kali per harinya, kalau dibaca setelah shalat lima waktu, berarti 80 kali, dan itu tidak sampai sepuluh menit jika dibaca tartil (tidak terlalu cepat atau lambat).
Ketika usianya makin tua dan ia merasa ajalnya makin dekat, wanita itu berwasiat kepada anak lelakinya, agar nantinya ia dikafani dengan selimut bulu yang biasa dipergunakannya untuk i’tikaf di Baitul Maqdis dan berdzikr dengan surat al Ikhlas pada Bulan Rajab itu. Atau paling tidak, selimut bulu itu disertakan (ikut dikuburkan) ketika ia dimakamkan. Ketika wanita itu meninggal, anak lelakinya itu malu untuk mengkafaninya dengan selimut (pakaian) bulu itu, yang keadaannya sudah tua dan kumal, apalagi ia termasuk orang yang berkecukupan. Ia membeli kain yang berkualitas bagus dan berharga mahal untuk mengkafani jenazah ibunya.
Pada malam harinya, anak lelaki itu bermimpi bertemu ibunya dalam keadaan marah. Ibunya itu berkata, “Aku tidak senang kepadamu karena kamu tidak mau melaksanakan wasiatku!!”
Anaknya itu terbangun dalam keadaan ketakutan. Ia segera mengambil selimut bulu milik ibunya dan segera berangkat ke pemakaman dengan membawa cangkul (atau alat penggali). Ia terus menggali sampai kedalaman tertentu, tetapi ternyata ia tidak menemukan jenazah ibunya. Ia kebingungan sekaligus ketakutan, jangan-jangan ini akibat kesalahannya juga karena tidak melaksanakan wasiat ibunya. Tiba-tiba terdengar hatib (suara tanpa wujud) bergema di sekitarnya, “Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya orang yang berbakti kepada Kami dalam Bulan Rajab, tidak akan Kami biarkan sendirian!!”