Minggu, 14 Oktober 2012

Ketika Malaikat Membantu Manusia

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib baru saja pulang dan berkata kepada istrinya, Fathimah az Zahra, “Wahai wanita yang mulia, apakah kamu mempunyai makanan untuk suamimu ini??”
            Fathimah berkata, “Demi Allah aku tidak mempunyai sesuatu (makanan apapun), tetapi ini ada enam dirham (uang perak), hasil kerjaku dan Salman (al Farisi) memintal bulu-bulu domba milik orang Yahudi. Rencananya akan kubelikan makanan untuk Hasan dan Husain!!”
            Begitulah memang keadaan Fathimah az Zahra, putri kesayangan Rasulullah SAW itu dan keluarganya. Sebenarnya kalau saja mereka mau, mudah saja bagi mereka untuk mengumpulkan harta dan hidup bergelimang kemewahan dunia. Tetapi seperti halnya Rasulullah SAW, mereka memilih untuk zuhud dalam kehidupan dunia ini. Tidak jarang Fathimah dan Ali bekerja menimba air untuk menyiram kebun kurma milik orang-orang Yahudi, memintal bulu-bulu domba, memilah-milah kurma dan lain-lainnya. Inilah gambaran kehidupan seorang wanita, yang Nabi SAW pernah bersabda, “Penghulu kaum wanita di surga adalah Fathimah az Zahra!!”
            Mendengar jawaban istrinya itu, Ali berkata, “Biar aku saja yang membeli makanan itu!!”
            Maka Fathimah menyerahkan uang enam dirham itu kepada suaminya, yang segera saja pergi meninggalkan rumah. Tetapi dalam perjalanan untuk membeli makanan itu, Ali bertemu seorang lelaki yang berkata, “Siapakah orang yang mau meminjami Tuhan Yang Maha Pengasih, Dzat yang selalu menepati janji??”
            Tanpa berfikir panjang, Ali menyerahkan uang enam dirham hasil kerja istrinya itu kepada lelaki itu. Ia bukannya tidak ingat kalau keluarganya sedang kelaparan, terutama kedua anaknya yang masih kecil, tetapi demikianlah memang didikan dan contoh yang diberikan Rasulullah SAW. Bagi umumnya orang mungkin tidak mengapa jika ‘mengurangi kadar’ atau kualitas dari yang dicontohkan Nabi SAW, sebatas kemampuan masing-masing, tetapi tidak bagi Ali. Sejak balita ia diasuh Nabi SAW, bahkan kemudian dinikahkan dengan putri kesayangan beliau, kalau ia ‘bergeser’ terlalu jauh dari didikan Nabi SAW, tentulah telah menjadi kesalahan besar baginya.
            Setelah itu Ali segera kembali ke rumah, dan Fathimah menyambutnya dengan menangis ketika melihatnya tidak membawa apa-apa. Ali berkata, “Wahai wanita mulia, mengapa engkau menangis??”
            Fathimah berkata, “Wahai Ali, engkau pulang tanpa membawa sesuatu??”
            Ali berkata, “Wahai wanita mulia, aku meminjamkan uang itu kepada Allah!!”
            Tanpa penjelasan lebih banyak, maklumlah Fathimah apa yang terjadi, maka ia berkata, “Sungguh, aku mendukung sikapmu itu!!”
            Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, Ali segera keluar rumah dengan maksud menemui Nabi SAW. Tetapi di tengah perjalanan ia bertemu seorang badui yang sedang menuntun seekor unta. Si Badui yang tidak dikenalnya itu berkata, “Wahai Abul Hasan, belilah unta ini!!”
            Ali berkata, “Aku tidak mempunyai uang!!”
            Si Badui itu berkata lagi, “Belilah dengan tempo (pembayaran di belakang)!!”
            Ali berkata, ‘Berapa??”
            “Seratus dirham!!” Kata si Badui itu.
            “Baiklah,“ Kata Ali, “Kubeli seharga seratus dirham dengan tempo!!”
            Si Badui menyerahkan unta tersebut kepadanya dan berlalu pergi. Ali tidak tahu apa yang harus dilakukannya dengan unta itu, tetapi ia menuntunnya begitu saja. Tetapi belum jauh berjalan tiba-tiba muncul seorang badui lain menghampirinya, dan berkata, “Wahai Abul Hasan, apakah engkau ingin menjual unta ini?”
            Tanpa berfikir panjang, Ali berkata, “Ya!!”
            “Berapa??”
            “Tigaratus dirham!!” Kata Ali.
            “Baiklah, kubeli seharga tigaratus dirham!!”
            Kemudian si Badui yang juga tidak dikenalinya itu membayar kontan tigaratus dirham, dan membawa pergi unta tersebut. Ali sangat gembira, segera ia membeli beberapa bahan makanan untuk keluarganya kemudian pulang. Kali ini Fathimah menyambutnya dengan tersenyun, dan berkata, “Wahai Abul Hasan, apa yang terjadi kali ini??”
            Dengan gembira Ali berkata, “Wahai putri Rasulullah, kubeli unta seharga seratus dirham dengan tempo, dan kujual lagi dengan kontan seharga tigaratus dirham!!”
            Fathimah berkata, “Aku mendukung sikapmu itu!!”
            Beberapa lama kemudian, Ali pergi menemui Nabi SAW sesuai dengan niat sebelumnya. Begitu ia masuk masjid, Nabi SAW tersenyum kepadanya dan bersabda, “Wahai Abul Hasan, engkau yang bercerita, atau aku saja yang bercerita??”
            Tanpa tahu maksudnya, Ali berkata, “Wahai Rasulullah, engkau saja yang bercerita!!”
            Nabi SAW bersabda, “Berbahagialah engkau, Abul Hasan, engkau telah meminjamkan enam dirham kepada Allah, maka Allah memberimu tigaratus dirham. Setiap dirhamnya dibalas dengan limapuluh kali lipatnya. Orang Badui yang pertama menjumpaimu adalah Malaikat Jibril, sedang yang kedua adalah Malaikat Mikail!!”
            Malaikat-malaikat yang membantu manusia, tentunya atas seijin dan perintah Allah SWT, mungkin tidak hanya terjadi pada Rasulullah SAW dan para sahabat beliau seperti kisah di atas, atau juga pada Perang Badar, Hunain dan beberapa peristiwa lainnya. Bisa saja itu terjadi di antara kehidupan kita sehari-hari, bisa dalam bentuk seseorang yang tidak dikenali, yang memberikan bantuan seperti peristiwa yang dialami oleh Ali bin Abi Thalib. Atau mungkin seseorang yang dikenali memberikan bantuan, tetapi sebenarnya ybs. tidak melakukannya. Hanya saja Allah memerintahkan malaikat untuk menyerupakan diri dengan orang tersebut untuk memuliakannya, seperti yang terjadi pada seorang tabi’in bernama Abdullah bin Mubarak. Wallahu A’lam.         

Note:mu51

Berperan Membagikan Rezeki Allah

            Syaqiq bin Ibrahim, nama kunyahnya Abu Ali, adalah seorang guru dan ulama sufi yang tinggal di kota Balkh, termasuk wilayah Khurasan, sehingga lebih dikenal dengan nama Syaqiq al- Balkhi. Ia berasal dari keluarga saudagar yang kaya raya, dan akhirnya mewarisi pekerjaan menjadi pedagang yang sukses juga. Ia wafat pada tahun 194 Hijriah atau 810 Masehi. Hidupnya selalu bergelimang kekayaan dan kemewahan dunia, hingga ia mengalami suatu peristiwa yang mengubah jalan hidupnya menjadi seorang sufi yang zuhud.
            Suatu ketika ia sedang membawa kafilahnya ke Turki, dengan membawa bermacam-macam barang dagangan. Di sana ia melihat sebuah tempat penyembahan berhala, dengan para pelayan atau pekerjanya yang berkepala gundul dan mencukur halus jenggotnya, serta berpakaian serba hijau. Mungkin kalau di Asia (Indonesia, India, Cina, Thailand dan lain-lainnya) seperti para biksu atau pendeta Budha yang berpakaian kuning. Syaqiq tertarik untuk memasuki tempat tersebut sekaligus berdakwah kepada mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala dan memeluk agama Islam..
            Setelah masuk dan bertemu salah seorang pelayan rumah ibadah itu, Syaqiq berkata, “Wahai pelayan, sesungguhnya kamu mempunyai Tuhan Yang Maha Menciptakan, Maha Hidup, Maha Mengetahui  dan Maha Kuasa, maka sembahlah Dia, janganlah engkau menyembah berhala-berhala ini, yang tidak bisa mencelakakan ataupun menguntungkan!!”
            Pelayan itu menatap tajam Syaqiq yang berpakaian bagus, yang menunjukkan kalau ia seorang pedagang yang kaya, kemudian berkata, “Jika yang engkau ucapkan itu memang benar, bahwa Tuhanmu itu Maha Kuasa, tentulah Ia bisa memberikan rezeki kamu di negerimu sendiri, mengapa pula kamu susah-susah datang kemari untuk berdagang??”
            Apa yang disampaikan oleh pelayan itu mungkin hanya berupa argumentasi sederhana untuk membela diri, karena Syaqiq telah ‘menonjok’ aqidah dan keyakinannya, satu hal yang sifatnya pribadi, yang seharusnya disampaikan dengan cara lebih bijaksana. Tetapi justru karena perkataannya yang sederhana itu, seolah-olah Syaqiq diingatkan kalau selama ini ia terlalu sibuk dengan urusan dunianya. Berkelana dengan kafilah dagangnya dari satu negeri ke negeri lainnya hanya untuk menumpuk kekayaan, sementara untuk urusan bekal akhirat, ia melakukan hanya sekedarnya saja. Segera saja ia mengemasi perniagaannya dan kembali ke Khurasan, kemudian menjalani kehidupannya dengan lebih zuhud terhadap dunia.
            Tidak hanya satu itu saja, tetapi ada beberapa peristiwa lagi yang membuat tekad Syaqiq semakin kuat untuk meninggalkan perniagaan dan segala kesibukan dunianya. Misalnya, suatu ketika di masa paceklik dan perekonomian yang sangat sulit, Syaqiq melihat seorang budak yang bermain dan bersenang-senang saja, sementara orang-orang mengerumuni dirinya. Dengan heran Syaqiq berkata kepada budak tersebut, “Apa yang engkau lakukan ini? Tidakkah engkau melihat orang-orang mengalami kesulitan di masa paceklik ini?? Sebaiknya engkau mengerjakan sesuatu yang bisa menghasilkan bagi tuanmu!!”
            Tetapi dengan santainya budak itu berkata, “Saya tidak perlu bersusah payah walau masa paceklik seperti ini. Tuanku seorang yang sangat kaya, ia mempunyai banyak sekali ladang di desa, yang kami semua bebas mengambil hasilnya, apapun yang kami butuhkan!!”
            Lagi-lagi hanya jawaban dengan logika sederhana, tetapi mampu merasuk ke lubuk hatinya yang terdalam, ia menggumam, “Kalau tuannya budak ini hanya seorang kaya di satu atau beberapa desa, yang sebenarnya ia miskin, dan budak ini tidak ambil pusing dengan rezekinya. Maka, bagaimana mungkin seorang muslim akan dipusingkan dengan rezekinya, sedang ‘tuan’-nya adalah Allah Yang Maha Kaya??”
Suatu ketika ia beribadah haji ke Makkah dan di sana ia bertemu dengan Ibrahim bin Adham, yang sebelumnya adalah putra raja di Balkh, daerah tempat tinggalnya. Dalam pertemuan itu, Ibrahim berkata kepada Syaqiq, “Apakah yang menyebabkan kamu memutuskan untuk menempuh jalan ini??”
Yakni, memilih jalan hidup seorang sufi yang zuhud. Sebagai seorang putra raja, sedikit banyak Ibrahim mengenal latar belakang keluarga Syaqiq, sehingga perubahan sikap hidupnya itu, seperti juga yang dialaminya sendiri, adalah sesuatu hal yang luar biasa.
Dari banyak peristiwa yang dialaminya sehingga memantapkan dirinya menempuh jalan hidup seorang sufi, Syaqiq menceritakan salah satunya. Ia berkata, “Aku pernah melewati suatu padang yang sangat luas, dan kulihat seekor burung yang patah kedua sayapnya, tetapi ia masih hidup. Maka aku berkata pada diriku sendiri : Perhatikanlah, dari jalan manakah Allah akan memberikan rezeki pada burung ini….??”
Setelah itu Syaqiq duduk agak jauh sambil memperhatikan burung tersebut. Cukup lama ia bersabar, sampai akhirnya muncul seekor burung lainnya dengan belalang di paruhnya. Belalang itu ditaruh di paruh atau mulut burung yang patah sayapnya itu, yang segera memakannya. Ia berkata dalam hatinya, “Sesungguhnya Allah telah mendatangkan burung ini dengan membawa makanan bagi burung yang patah sayapnya, yang tidak mampu berusaha sendiri untuk memperoleh bagian rezekinya. Karena itu, tentulah Allah sangat mampu (berkuasa) untuk mendatangkan rezeki padaku di manapun aku berada!!”
Mengakhiri ceritanya itu, Syaqiq berkata kepada Ibrahim bin Adham, “Setelah peristiwa itu saya meninggalkan semua aktivitas dunia perniagaan, mengisi waktu hanya dengan beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu…!!”
Mendengar penjelasannya itu, Ibrahim berkata, “Mengapa engkau tidak memilih menjadi burung yang sehat itu, yang menyampaikan rezeki Allah (memberi makan) kepada burung yang sakit?? Tidakkah engkau pernah mendengar sabda Rasulullah SAW : Tangan yang di atas lebih utama daripada tangan yang di bawah? Juga sabda beliau : Dan di antara tanda-tanda seorang mukmin itu ialah mencari yang lebih tinggi tingkatannya (sesuai kemampuannya) dari dua derajad dalam segala urusannya, sehingga ia mencapai derajad orang-orang yang berbuat kebaikan (mukhsinin)….!!”
Syaqiq tersentak kaget dengan perkataan Ibrahim bin Adham tersebut. Disangkanya, kehidupan ‘tajrid’, yakni hanya berpasrah kepada rezeki yang dibagikan Allah tanpa banyak berusaha, kemudian menghabiskan waktu semata-mata untuk beribadah adalah derajad tertinggi, bagi orang-orang yang memutuskan untuk menempuh jalan sufi, jalan hidup yang zuhud terhadap dunia. Tetapi dengan perkataan Ibrahim itu ia tersadarkan, bahwa tidak mesti seperti itu. Masing-masing orang mungkin memiliki amalan berbeda dalam memperoleh derajad tinggi di sisi Allah, sesuai dengan kondisi yang diadakan Allah untuk dirinya.
Syaqiq segera memegang tangan Ibrahim bin Adham dan berkata, “Wahai Abu Ishaq, engkau adalah guru kami, bimbinglah kami di jalan ini!!”
Setelah itu Syaqiq terjun kembali di dunia perniagaan, walaupun hanya sekedarnya saja. Sekedar untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara sederhana, dan membantu orang-orang di sekitarnya yang membutuhkan pertolongan secara finansial. Porsi waktunya masih tetap lebih banyak dihabiskan untuk beribadah kepada Allah dan menuntut ilmu. Inilah derajad dan amalan yang dicontohkan oleh beberapa sahabat Nabi SAW, seperti Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Qais bin Sa’ad dan banyak lagi sahabat lainnya.  

Note:rq586dkmh229