Walaupun setiap zaman selalu saja
ada sosok pemimpin yang mempunyai jiwa pengabdian dan perhatian yang besar
kepada orang-orang kecil, tetapi tidak ada yang bisa menandingi ‘kebesaran’
Umar bin Khaththab RA dalam hal ini, tentunya selain Nabi SAW dan para Rasul
Allah lainnya. Banyak sekali peristiwa luar biasa yang menunjukkan keadilan dan
kerendah-hatian Khulafaur Rasyidin yang kedua ini, salah satunya adalah ketika
kaum muslimin berhasil menaklukan dan menguasai Baitul Maqdis atau Masjidil
Aqsha.
Pada tahun 16 hijriah pasukan
muslim mengepung kota al Quds, kota tempat Baitul Maqdis berada, yang
termasuk wilayah kekuasaan Romawi. Setelah beberapa waktu lamanya dalam
pengepungan, akhirnya gubernur al Quds, Beatrice Sofernius menyerah. Ia
bersedia menyerahkan kota
tersebut, termasuk Baitul Maqdis, tetapi ia mensyaratkan akan menyerahkan langsung
kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab. Karena itu komandan pasukan
mengirim surat untuk meminta kehadiran Umar ke sana .
Umar langsung memenuhi permintaan
tersebut. Tidak seperti umumnya seorang pejabat yang menerima penyerahan kota karena suatu
kemenangan, ia berangkat ke Al Quds hanya dengan seorang pembantunya dan hanya
dengan satu tunggangan (kuda atau onta), karena memang hanya itu yang dimiliki
Umar. Walau sebagai seorang ‘kepala negara’, Umar tidak mau menggunakan
kekayaan negara yang dalam penguasaannya, termasuk kendaraan/tunggangan, karena
ia merasa bahwa ia harus mempertanggung-jawabkan hal itu di akhirat kelak. Ia
meyakini, bahwa akan lebih mudah dan lebih selamat baginya di yaumul hisab,
jika sesedikit mungkin menggunakan ‘fasilitas’ negara (baitul maal).
Ketika memulai perjalanan dan sampai
di luar kota
Madinah, Umar berkata kepada pembantunya, “Wahai Ghulam, kita berdua hanya
memiliki satu tunggangan. Jika saya naik dan engkau berjalan kaki, artinya aku
menzhalimimu. Jika engkau naik dan aku berjalan kaki, engkau yang menzhalimiku.
Jika kita berdua naik, kita menzhalimi tunggangan kita…”
“Kalau begitu bagaimana sebaiknya,
ya Amirul Mukminin?” Kata pembantunya itu.
Umar berkata, “Marilah kita bagi
tiga periode waktu, pertama aku yang menaikinya, kedua engkau yang menaikinya,
dan ketiga, biarlah tunggangan kita melenggang tanpa beban, sekalian untuk
waktu istirahatnya tanpa menunda waktu.”
Pelayannya tersebut menyetujuinya.
Umar memperoleh giliran pertama menaikinya, setelah waktu yang disepakati
habis, ganti sang pelayan yang menaikinya, dan setelah waktunya habis, mereka
berdua membiarkan tunggangannya bebas. Begitulah giliran itu bergulir terus,
ketika telah memasuki pintu kota
al Quds, ternyata bertepatan dengan selesainya giliran Umar, dan ia turun
sambil berkata kepada pembantunya, “Kini giliranmu, naiklah!!”
Sang pembantu berkata, “Wahai
Amirul Mukminin, engkau jangan turun dan saya tidak mungkin naik. Kita telah
sampai di kota tujuan, di sana ada peradaban, kemajuan dan berbagai
pemandangan modern. Jika kita datang dengan keadaan ini, saya naik sedang
engkau menuntun, tentu mereka akan merendahkan dan mentertawakan kita. Dan itu
akan mempengaruhi kemenangan kita!!”
Tetapi dengan tegas Umar berkata,
“Naiklah, ini giliranmu. Demi Allah, kalau memang waktunya giliranku, aku tidak
akan turun dan engkau tidak perlu naik!!”
Inilah memang ciri khas Umar bin
Khaththab ketika menjadi khalifah, ia selalu takut berlaku zhalim dan bersikap
tidak adil, walau terhadap rakyat kecil. Kalau ia harus tetap naik tunggangan
hanya karena telah memasuki kota al Quds , ia
yakin Allah akan ‘mempertanyakan’ dan meminta pertanggung-jawabannya di yaumul
hisab kelak..
Ketika masyarakat kota
yang menyambut mereka di Babul (pintu kota )
Damaskus melihatnya, mereka langsung mengelu-elukan sang pembantu yang
menunggang dan mengabaikan Umar yang menuntun tunggangan. Memang, dalam
penampilan dan baju yang dikenakan, Umar tidaklah jauh berbeda dengan
pembantunya tersebut. Bahkan ada beberapa orang yang melakukan penghormatan
dengan sujud, sehingga pembantu itu memukulnya dengan tongkatnya, sambil
berkata, “Celaka kalian, angkatlah muka kalian, sungguh tidak boleh bersujud
kecuali kepada Allah semata..!!”
Ketika tiba di hadapan gubernur
Beatrice Sofernicus dan pasukan muslimin, mereka baru mengetahui kalau Amirul
Mukminin Umar bin Khaththab itu adalah yang berjalan menuntun tunggangan,
karena mereka menyapa dan menyalaminya.
Setelah melakukan serah terima kota al Quds, Beatrice
mengajak Umar untuk meninjau Gereja Kiamah, dan Umar memenuhi permintaannya
itu. Di tengah peninjuan itu tiba waktu shalat, maka Umar berkata, “Di mana
saya bisa shalat?”
Beatrice menunjuk salah satu
ruangan di dekatnya berdiri, maka Umar-pun berkata, “Umar tidak mungkin shalat
di gereja Kiamah ini. Nanti di kemudian, kaum muslimin akan berkata : Di sini
Umar pernah menjalankan shalat. Maka mereka akan menghancurkan gereja ini dan
membangun masjid di reruntuhannya…!!”
Kemudian Umar keluar dari gereja dan mendirikan shalat
di tempat terbuka, sejauh jarak lemparan batu, diikuti oleh pasukan muslimin
yang hadir. Di kemudian hari, kaum muslimin mendirikan masjid di tempat itu, yang
diberi nama Masjid Umar bin Khaththab, berdiri megah tidak jauh dari gereja
Kiamah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar