Minggu, 02 November 2014

Perjalanan Umar RA ke Baitul Maqdis

Walaupun setiap zaman selalu saja ada sosok pemimpin yang mempunyai jiwa pengabdian dan perhatian yang besar kepada orang-orang kecil, tetapi tidak ada yang bisa menandingi ‘kebesaran’ Umar bin Khaththab RA dalam hal ini, tentunya selain Nabi SAW dan para Rasul Allah lainnya. Banyak sekali peristiwa luar biasa yang menunjukkan keadilan dan kerendah-hatian Khulafaur Rasyidin yang kedua ini, salah satunya adalah ketika kaum muslimin berhasil menaklukan dan menguasai Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsha.   
Pada tahun 16 hijriah pasukan muslim mengepung kota al Quds, kota tempat Baitul Maqdis berada, yang termasuk wilayah kekuasaan Romawi. Setelah beberapa waktu lamanya dalam pengepungan, akhirnya gubernur al Quds, Beatrice Sofernius menyerah. Ia bersedia menyerahkan kota tersebut, termasuk Baitul Maqdis, tetapi ia mensyaratkan akan menyerahkan langsung kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab. Karena itu komandan pasukan mengirim surat untuk meminta kehadiran Umar ke sana.
Umar langsung memenuhi permintaan tersebut. Tidak seperti umumnya seorang pejabat yang menerima penyerahan kota karena suatu kemenangan, ia berangkat ke Al Quds hanya dengan seorang pembantunya dan hanya dengan satu tunggangan (kuda atau onta), karena memang hanya itu yang dimiliki Umar. Walau sebagai seorang ‘kepala negara’, Umar tidak mau menggunakan kekayaan negara yang dalam penguasaannya, termasuk kendaraan/tunggangan, karena ia merasa bahwa ia harus mempertanggung-jawabkan hal itu di akhirat kelak. Ia meyakini, bahwa akan lebih mudah dan lebih selamat baginya di yaumul hisab, jika sesedikit mungkin menggunakan ‘fasilitas’ negara (baitul maal).
Ketika memulai perjalanan dan sampai di luar kota Madinah, Umar berkata kepada pembantunya, “Wahai Ghulam, kita berdua hanya memiliki satu tunggangan. Jika saya naik dan engkau berjalan kaki, artinya aku menzhalimimu. Jika engkau naik dan aku berjalan kaki, engkau yang menzhalimiku. Jika kita berdua naik, kita menzhalimi tunggangan kita…”
“Kalau begitu bagaimana sebaiknya, ya Amirul Mukminin?” Kata pembantunya itu.
Umar berkata, “Marilah kita bagi tiga periode waktu, pertama aku yang menaikinya, kedua engkau yang menaikinya, dan ketiga, biarlah tunggangan kita melenggang tanpa beban, sekalian untuk waktu istirahatnya tanpa menunda waktu.”
Pelayannya tersebut menyetujuinya. Umar memperoleh giliran pertama menaikinya, setelah waktu yang disepakati habis, ganti sang pelayan yang menaikinya, dan setelah waktunya habis, mereka berdua membiarkan tunggangannya bebas. Begitulah giliran itu bergulir terus, ketika telah memasuki pintu kota al Quds, ternyata bertepatan dengan selesainya giliran Umar, dan ia turun sambil berkata kepada pembantunya, “Kini giliranmu, naiklah!!”
Sang pembantu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, engkau jangan turun dan saya tidak mungkin naik. Kita telah sampai di kota tujuan, di sana ada peradaban, kemajuan dan berbagai pemandangan modern. Jika kita datang dengan keadaan ini, saya naik sedang engkau menuntun, tentu mereka akan merendahkan dan mentertawakan kita. Dan itu akan mempengaruhi kemenangan kita!!”
Tetapi dengan tegas Umar berkata, “Naiklah, ini giliranmu. Demi Allah, kalau memang waktunya giliranku, aku tidak akan turun dan engkau tidak perlu naik!!”
Inilah memang ciri khas Umar bin Khaththab ketika menjadi khalifah, ia selalu takut berlaku zhalim dan bersikap tidak adil, walau terhadap rakyat kecil. Kalau ia harus tetap naik tunggangan hanya karena telah memasuki kota al Quds, ia yakin Allah akan ‘mempertanyakan’ dan meminta pertanggung-jawabannya di yaumul hisab kelak..
Ketika masyarakat kota yang menyambut mereka di Babul (pintu kota) Damaskus melihatnya, mereka langsung mengelu-elukan sang pembantu yang menunggang dan mengabaikan Umar yang menuntun tunggangan. Memang, dalam penampilan dan baju yang dikenakan, Umar tidaklah jauh berbeda dengan pembantunya tersebut. Bahkan ada beberapa orang yang melakukan penghormatan dengan sujud, sehingga pembantu itu memukulnya dengan tongkatnya, sambil berkata, “Celaka kalian, angkatlah muka kalian, sungguh tidak boleh bersujud kecuali kepada Allah semata..!!”
Ketika tiba di hadapan gubernur Beatrice Sofernicus dan pasukan muslimin, mereka baru mengetahui kalau Amirul Mukminin Umar bin Khaththab itu adalah yang berjalan menuntun tunggangan, karena mereka menyapa dan menyalaminya.
Setelah melakukan serah terima kota al Quds, Beatrice mengajak Umar untuk meninjau Gereja Kiamah, dan Umar memenuhi permintaannya itu. Di tengah peninjuan itu tiba waktu shalat, maka Umar berkata, “Di mana saya bisa shalat?”
Beatrice menunjuk salah satu ruangan di dekatnya berdiri, maka Umar-pun berkata, “Umar tidak mungkin shalat di gereja Kiamah ini. Nanti di kemudian, kaum muslimin akan berkata : Di sini Umar pernah menjalankan shalat. Maka mereka akan menghancurkan gereja ini dan membangun masjid di reruntuhannya…!!”
            Kemudian Umar keluar dari gereja dan mendirikan shalat di tempat terbuka, sejauh jarak lemparan batu, diikuti oleh pasukan muslimin yang hadir. Di kemudian hari, kaum muslimin mendirikan masjid di tempat itu, yang diberi nama Masjid Umar bin Khaththab, berdiri megah tidak jauh dari gereja Kiamah tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar