Rabu, 29 Februari 2012

Tawakalnya Seekor Semut

           Allah SWT menganugerahi Nabi Sulaiman AS sebuah mu’jizat bisa berbicara dengan binatang, suatu ketika beliau bertemu seekor semut dan bertanya, “Berapakah rezeki yang engkau perlukan untuk hidupmu setahun?”
            Sang semut berkata, “Sebutir gandum!”
            “Hanya sebutir gandum?” Kata Nabi Sulaiman, hampir tidak percaya.
            “Ya, hanya sebutir gandum!!” Kata sang semut menegaskan.
            Nabi Sulaiman menempatkan semut tersebut dalam suatu wadah tertutup, dan memberikan sebutir gandum untuk keperluan hidupnya.
            Setahun kemudian Nabi Sulaiman membuka wadah tertutup itu, dan beliau melihat gandum tersebut masih ada separuh, dan semut tersebut dalam keadaan sehat-sehat saja. Beliau berkata kepada sang semut, “Engkau bilang jatahmu satu butir gandum setahun, mengapa masih ada separuhnya setelah setahun ini?”
            Sang semut berkata, “Kalau aku di luar sana, Allah yang menjamin rezekiku, dan aku bertawakkal kepada-Nya. Allah tidak akan pernah lupa dan lalai dengan rezeki yang menjadi bagianku. Karena engkau menempatkanku di tempat tertutup, dan engkau memaksa aku ‘tawakal’ kepada engkau, maka aku hanya memakan separuh jatahku. Aku tidak yakin apa engkau akan ingat kepadaku setelah setahun ini, karena itu aku mencadangkan separuhnya, kalau-kalau engkau lupa dengan jatahku!!”
            Nabi Sulaiman bersujud dan mengucapkan kalimat-kalimat pujian akan Kebesaran dan Keadilan Allah. 

Karena Taat Kepada Ibunya

           Di masa Nabi Musa AS, ada seorang lelaki yang saleh dari kalangan Bani Israil. Ia mempunyai seorang istri dan anak yang masih kecil. Ketika ia sakit dan merasa waktu ajalnya telah dekat, ia membawa satu-satunya ternak yang dimilikinya, yakni seekor anak lembu (sapi) ke hutan, dan berdoa, “Ya Allah, aku titipkan anak lembu ini kepada-Mu untuk keperluan anakku jika ia telah dewasa!!”
            Setelah itu ia melepaskan anak lembu tersebut, yang segera saja lari ke dalam hutan. Lelaki itu menceritakan kepada istrinya tentang lembu tersebut, dan tidak lama berselang ia meninggal dunia. Anak lembu itu sendiri hidup secara liar di dalam hutan tanpa penggembala. Jika ada orang yang melihat dan menemukannya, lembu itu segera lari ke dalam hutan dan tidak pernah bisa ditemukan.
            Setelah menginjak remaja, anak itu menjadi seorang yang saleh seperti ayahnya dan sangat taat kepada ibunya. Waktu siang harinya digunakan untuk bekerja mencari kayu di hutan dan menjualnya di pasar. Uang hasil penjualannya itu dibagi tiga, sepertiga untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari, sepertiga diberikan kepada ibunya, dan sepertiga sisanya disedekahkan di jalan Allah. Waktu malam juga dibaginya menjadi tiga, sepertiga malam pertama untuk menjaga ibunya, sepertiga pertengahan untuk tidur (istirahat), dan sepertiga terakhir untuk beribadah kepada Allah hingga pagi menjelang.
            Suatu ketika Sang Ibu memanggil putranya tersebut dan berkata, “Wahai anakku, ayahmu meninggalkan warisan seekor anak lembu yang “dititipkan” kepada Allah di hutan. Pergilah engkau ke dalam hutan, dan berdoalah kepada Allah, Tuhannya Nabi Ibrahim, Ismail, Ishaq dan Ya’kub, agar Dia “mengembalikan” titipan ayahmu tersebut kepadamu. Tandanya, anak lembu itu berwarna kuning, jika tertimpa cahaya matahari akan berkilau laksana emas.”
            Anak itu segera pergi ke hutan memenuhi perintah ibunya. Ketika ia melihat seekor lembu berwarna kuning, yang tentunya telah menjadi lembu dewasa yang besar sedang makan rumput,  ia segera berdoa kepada Allah seperti diajarkan ibunya. Usai berdoa, ia berkata kepada lembu itu, “Wahai lembu, aku panggil engkau demi Tuhannya Nabi Ibrahim, Ismail, Ishaq dan Ya’kub, segeralah engkau datang kemari!!”
            Lembu itu segera berlari mendekatinya dan berdiri tegak di hadapannya. Pemuda itu memegang lehernya dan menuntunnya pulang. Tanpa disangka-sangka, dengan ijin Allah, sang lembu berbicara kepadanya, “Wahai anak muda yang taat kepada ibumu, naiklah engkau ke atas punggungku agar meringankan beban perjalananmu!!”
            Walau sempat terkejut dengan berbicaranya lembu itu, ia berkata, “Ibuku tidak menyuruhku untuk mengendaraimu, tetapi beliau menyuruhku untuk memegang lehermu menuntun pulang ke rumah ibuku!!”
            Sang lembu berkata lagi, “Demi Tuhannya Bani Israil, jika engkau bermaksud mengendaraiku, tentu engkau takkan bisa melakukannya (karena ibumu tidak memerintahkan seperti itu). Wahai anak muda, seandainya engkau memerintahkan bukit itu untuk berpindah, tentulah bukit itu akan pindah, semua itu karena taat dan baktimu kepada ibumu!!”
            Pemuda itu tidak menanggapi pujian sang lembu tersebut, dan terus menuntunnya pulang dan menyerahkan kepada ibunya. Sang ibu berkata, “Hai anakku, engkau miskin, dan tidak memiliki harta apapun. Berat bagimu untuk mencari kayu di hutan setiap harinya, dan tetap menjalankan shalat di malam harinya. Karena itu juallah lembu ini di pasar…!!”
            “Berapa harus saya jual lembu ini, wahai ibu?” Tanya sang pemuda.
            “Tiga dinar, dan jika tidak sejumlah itu, janganlah dijual sebelum bermusyawarah denganku!!” Kata ibunya.
            Tiga dinar adalah harga yang wajar untuk seekor lembu pada saat itu. Pemuda itu menuntun lembunya ke pasar, tetapi sebelum sampai di sana, ada seeorang yang mencegat langkahnya dan berkata, “Berapakah engkau akan menjual lembu ini!”
            “Tiga dinar!!”
            Lelaki itu berkata, “Lembu ini sangat bagus, biarlah aku membelinya seharga enam dinar!!” 
            “Ibuku memerintahkan menjualnya seharga tiga dinar, jika engkau ingin membayarnya enam dinar, aku harus meminta ridha ibuku dahulu!!” Kata pemuda itu.
            “Tidak usahlah meminta ridha ibumu, bukankah itu sudah melebihi harga yang diinginkannya?”
            “Andaikata engkau membeli dengan uang emas seberat lembu ini, aku tidak bisa menerimanya jika ibuku belum meridhainya. Biarlah aku pulang dahulu untuk meminta ridha beliau!!” Kata sang pemuda.
            Ia pulang lagi dan menceritakan kepada ibunya apa yang dialaminya dengan orang yang ingin membeli lembu tersebut. Sang ibu berkata, “Baiklah kalau begitu, juallah lembu ini seharga enam dinar.”
            Sang pemuda kembali menuntun lembunya ke pasar. Sebelum ia sampai di sana, lelaki yang tadi itu telah menunggunya, dan berkata, “Lembu milikmu itu semakin menarik saja, biarlah aku membayarnya seharga duabelas dinar, dan engkau tidak perlu pulang-balik lagi kepada ibumu!!”
            Pemuda itu berkata, “Ibuku telah ridha dengan harga enam dinar, jadi bayarlah dengan seharga itu!!”
            “Tidak bisa,” Kata lelaki itu, “Tidak sepantasnya jika kubayar seharga enam dinar, aku berbuat dholim jika tidak membayar seharga duabelas dinar…!!”
            Pemuda itu berkata, “Kalau begitu, biarlah aku pulang dahulu untuk meminta ridha ibuku!!”
          Pemuda itu kembali lagi kepada ibunya dan menceritakan apa yang dialaminya dengan lelaki tersebut. Mendengar penjelasan anaknya itu, sang ibu berkata, “Yang datang kepadamu itu adalah malaikat yang ingin mengujimu. Jika engkau bertemu lagi dengannya, tanyakan kepadanya, apakah lembu ini boleh dijual?”
            Ketika sang pemuda kembali ke pasar dan bertemu dengan lelaki itu, yang tak lain adalah malaikat, sang pemuda menyampaikan pertanyaan ibunya. Sang malaikat berkata, “Sungguh aku diperintahkan Allah untuk memberitahukan, agar kalian mempertahankan lembu itu. Suatu saat nanti akan terjadi pembunuhan di kalangan Bani Israil, dan Nabi Musa bin Imran akan membutuhkan lembu ini. Jika mereka datang untuk membelinya, janganlah dilepaskan (dijual) kecuali dengan harga emas seberat timbangan lembu itu…!!”
            Begitulah, ketika terjadi peristiwa pembunuhan misterius di kalangan Bani Israil, dan Nabi Musa AS, atas perintah dari Allah SWT, mensyaratkan menyembelih seekor lembu dengan spesifikasi tertentu, sebagaimana diabadikan dalam QS Al Baqarah 67-73, lembu tersebut dibeli Bani Israil dengan harga yang dipesankan malaikat tersebut.

Yang Terakhir Masuk Surga

            Pada hari kiamat kelak, ketika semua manusia telah selesai dihisab dan memasuki tempatnya masing-masing, di surga atau di neraka, Allah berkehendak untuk menyelamatkan para penghuni neraka yang “pernah” menyembah Allah, walau hanya sesaat. Allah memerintahkan beberapa malaikat “menjelajah” neraka untuk menemukan mereka itu, yakni mereka yang masih tampak tersisa bekas-bekas sujud yang tidak terbakar api neraka. Dari bekas sujud yang tampak cukup besar dan sangat jelas, atau yang terlihat sangat kecil dan samar-samar. 
            Ketika mereka semua itu ditemukan dan diangkat dari neraka, keadaan tubuhnya hitam terbakar seperti arang. Kemudian dituangkan kepada mereka ma’ul khayaah (air kehidupan), dan mereka tumbuh bagaikan tumbuhnya bibit tumbuhan di tanah bekas banjir, dalam keadaan segar dan sebaik-baiknya penampilan. Sekali lagi Allah “memasang” mizan (timbangan amal), dan sebagian besar dari mereka dipersilahkan memasuki surga karena keburukan dan kejahatannya telah habis setelah “dicuci” di neraka. Tetapi tertinggal  satu orang di antara surga dan neraka, walaupun keburukannya telah habis terbakar di neraka, tetapi sisa kebaikannya tidak cukup memberatkan mizan untuk bisa mengantarkannya ke surga.
Dia itulah orang terakhir yang akan masuk surga, karena kasih sayang dan rahmat Allah. Tetapi tampaknya Allah tidak akan membiarkannya begitu saja memasuki surga tanpa “mencandainya” terlebih dahulu, sebagai bentuk kasih sayang-Nya. Sekaligus memaksimalkan kegembiraannya ketika nantinya masuk surga.
Allah menghadapkan wajahnya ke arah neraka. Setelah beberapa waktu lamanya, ia berdoa, “Wahai Tuhanku, palingkanlah wajahku dari neraka ini, baunya amat menyakitkan diriku, dan panasnya bisa membakarku!!”
Allah berfirman kepadanya, “Apabila permintaanmu itu Aku kabulkan, apakah engkau akan meminta lagi kepada-Ku?”
Orang itu berkata, “Tidak, ya Allah, demi kemuliaan-Mu!!”
Kemudian Allah membuat “semacam” perjanjian dengannya untuk tidak meminta lagi, dan Allah memalingkan wajahnya dari neraka ke arah surga. Ia bersyukur telah dihindarkan dari pemandangan neraka dan melihat pemandangan surga. Tetapi namanya manusia yang masih memiliki nafsu, walau saat itu telah menjadi nafsu yang diridhoi Allah dan nafsu yang ridho kepada Allah (rodhiyallahu ‘anhum wa rodhuu ‘anhu / an-nafsul muthma-innah…roodhiyatan mardhiyyah), melihat pemandangan yang begitu indah hanya dari kejauhan, bangkit keinginannya untuk melihat lebih dekat. Tetapi ia “terhalang” dengan perjanjian yang telanjur disetujuinya dengan Allah, karena itu ia hanya diam.
Beberapa saatnya ia diam, tetapi pergolakan hati dan nafsunya untuk lebih dekat kepada surga tidak pernah “diam”. Tampaknya ia tidak tahan lagi untuk meminta (berdoa) walau telah berjanji untuk tidak meminta. Ia menyadari, tidak Dzat yang paling sabar, paling memaafkan, yang tidak pernah jemu untuk mengabulkan walau tidak pernah mematuhi dan selalu melanggar larangan-Nya, kecuali Allah SWT. Bahkan keberadaannya saat itu tidak lepas sifat-sifat Rahman dan Rahim Allah itu. Kalau bukan Allah yang mengadilinya saat itu, pantasnya ia tetap berada di neraka selama-lamanya.
Ia memberanikan diri untuk berdoa (meminta) lagi, “Wahai Tuhanku, bawalah aku ke dekat pintu surga!!”
Allah berfirman, “Bukankah engkau telah berjanji untuk tidak meminta lagi, selain yang telah engkau minta sebelumnya?”
Ia berkata memelas, “Wahai Tuhanku, jangan hendaknya Engkau jadikan aku mahluk-Mu yang paling malang!!”
Allah berfirman kepadanya, “Apabila permintaanmu itu Aku kabulkan, apakah engkau akan meminta lagi kepada-Ku?”
Orang itu berkata, “Tidak, ya Allah, demi kemuliaan-Mu, aku tidak akan meminta yang lain lagi!!”
Kemudian Allah membuat “semacam” perjanjian lagi dengannya untuk tidak meminta yang lainnya lagi dan Allah mendekatkannya ke pintu surga.  Ia sangat gembira dengan tempatnya tersebut. Keindahan surga, bunga-bunganya, kemewahan-kemewahannya, gemerlap-gemerlapnya, kesenangan-kesenangannya, bidadari-bidadarinya dan berbagai macam kenikmatan yang tidak pernah terbayangkan olehnya terpampang di depan matanya tanpa halangan.
Setelah beberapa waktu lamanya menikmati pemandangan surga yang penuh kenikmatan itu, lagi-lagi nafsu manusianya tergerak untuk bisa memasuki surga, tidak sekedar berdiri di pintunya seperti saat itu. Tetapi teringat akan janji yang telah diberikannya kepada Allah ia jadi terdiam. Pergolakan nafsu dan hatinya makin menggelora, dan hal itu memang digerakkan oleh Allah, karena itu ia “nekad” untuk melanggar janjinya dan berkata, “Wahai Tuhanku, masukkanlah aku ke dalam surga!!”
Allah berfirman kepadanya, “Sayang sekali, wahai anak Adam,  alangkah khianatnya dirimu! Bukankah engkau telah berjanji untuk tidak meminta sesuatu lagi selain permintaanmu sebelumnya!!”
Lagi-lagi ia berkata memelas, “Wahai Tuhanku, jangan hendaknya Engkau jadikan aku mahluk-Mu yang paling celaka!!”
Allah tertawa mendengar pernyataannya tersebut dan mengijinkannya memasuki surga. Baru beberapa langkah di surga, Allah berfirman, “Mintalah segala apa yang kamu inginkan!!”
Tentu saja orang tersebut sangat gembira mendengar perintah Allah tersebut. Ia menyebutkan daftar permintaan dari semua apa yang dilihatnya tersebut, termasuk beberapa hal yang terlintas di pikirannya. Setelah ia kehabisan “data” permintaannya dan berhenti berbicara, Allah berfirman kepadanya, “Mintalah tambahannya ini dan itu…!!”
Allah menyebutkan sesuatu yang belum masuk dalam permintaannya, dan ia segera memohon untuk diberikan tambahan seperti itu. Beberapa kali Allah mengingatkan beberapa hal dan kenikmatan kepadanya, dan ia memohon untuk bisa diberikan tambahan seperti itu. Akhirnya Allah berfirman kepadanya, “Apakah engkau telah puas?”
“Saya telah puas, ya Allah!!” Katanya.
Dan Allah SWT menetapkan untuknya, “Bagimu, apa yang telah engkau minta itu semuanya, dan tambahannya sebanyak itu pula (artinya dilipatkan dua kali dari daftar permintaannya).”
Dalam riwayat lainnya disebutkan, Allah berfirman kepadanya, “Bagimu, apa yang telah engkau minta itu semuanya, dan dilipat-gandakan sepuluh kalinya!!”

Sabtu, 25 Februari 2012

Khidr AS Muncul karena Ketulusan (2)

            Seorang lelaki berniat untuk terjun ke dunia rohani (dunia sufi). Ia mendatangi banyak tempat dimana diadakan pengajian tentang kesufian, membaca banyak kitab-kitab yang berkaitan itu. Telah banyak ucapan-ucapan para guru sufi yang telah didengarnya, banyak pula sikap dan perbuatan yang dilihat dan dipraktekkannya dengan bimbingan para guru itu. Dengan senang hati pula ia melakukan berbagai latihan spiritual dan perintah-perintah peribadatan yang ketat dan keras. 
            Entah berapa tahun, atau berapa belas tahun yang telah dilaluinya, berkecipung di dunia tasauf. Ia merasa telah banyak memperoleh kemajuan dalam beribadah, tidak sekedar praktek lahiriahnya, tetapi juga rahasia-rahasia rohaniahnya. Namun demikian ia masih bingung, tingkatan apa yang telah dicapainya? Sejauh dan sedalam apa ia telah menempuh dunia rohaniah itu? Kapankah dan dimanakah pencariannya akan berakhir?
            Suatu ketika ia berjalan sambil merenungi (muhasabah) dirinya sendiri, segala perbuatan dan tingkah lakunya, mana yang sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya dan mana yang hanya kepura-puraannya semata? Mana yang ia tulus melakukannya, mana pula yang hanya ambisi egonya? Tanpa disadarinya, langkahnya sampai di depan rumah seorang manusia arif (tokoh sufi) yang telah terkenal kebijaksanaannya. Dan, tanpa disadarinya pula, ia berdiri di samping seorang tua, yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Khidr AS. Tentu saja ia gembira tidak terkira karena Khidr telah terkenal di kalangan kaum sufi sebagai “Penunjuk jalan rahasia ke arah jalan kebenaran”
            Nabi Khidr membawanya ke suatu tempat, di mana ia menyaksikan orang-orang yang tampak sangat berduka dan sengsara. Kepada mereka ini, lelaki itu berkata, “Siapakah kalian ini sebenarnya?”
            Salah seorang dari mereka berkata, “Kami adalah orang-orang yang tidak mengikuti ajaran-ajaran yang sejati, kami tidak setia (tidak istiqomah) dengan tugas yang dibebankan kepada kami. Dan kami hanya memuliakan guru-guru yang kami angkat sendiri!!”
            Kemudian Nabi Khidr membawanya ke tempat lainnya, di mana ia menyaksikan orang-orang yang wajahnya berseri-seri dan tampak berbahagia. Kepada mereka ini, lelaki itu berkata, “Siapakah kalian ini?”
            Salah seorang dari mereka berkata, “Kami adalah manusia-manusia yang tidak menuruti petunjuk-petunjuk jalan kebenaran yang sebenarnya!!”
            Tentu saja lelaki itu heran dengan jawaban tersebut, ia berkata, “Kalau memang kalian tidak mengikuti petunjuk-petunjuk itu, bagaimana kalian bisa tampak sangat berbahagia?”
            Mereka berkata, “Karena kami lebih memilih kebahagiaan daripada kebenaran. Seperti halnya orang-orang yang memilih guru-guru mereka sendiri, sebenarnya kami memilih jalan kesengsaraan (penyesalan) pula!!”
            “Bukankah kebahagiaan itu adalah cita-cita tertinggi dari umat manusia?” Lelaki itu masih tampak tak percaya yang yang dilihatnya, tentunya didasari dengan yang telah diyakininya selama ini.
            “Tujuan utama dari umat manusia adalah kebenaran, dan kebenaran itu bukanlah kebahagiaan, ia jauh lebih utama dari kebahagiaan. Seseorang yang telah mencapai kebenaran, dapat memiliki perasaan-perasaan apapun yang diinginkannya, atau membuang semua perasaan-perasaan itu tanpa beban…!!”
            Lelaki itu tampak mulai memahami, dan mereka melanjutkan penjelasannya, “Kami telah berpura-pura bahwa kebenaran itu adalah kebahagiaan, dan kebahagiaan itu adalah kebenaran. Banyak sekali orang yang percaya kepada kami, termasuk engkau sendiri mungkin beranggapan demikian. Tetapi percayalah, kebahagiaan itu akan memenjarakan dirimu sebagaimana yang dilakukan oleh kesengsaraan!!”
            Setelah pemahaman itu makin meresap ke dalam hatinya, tiba-tiba saja ia telah ada di depan rumah manusia arif seperti sebelumnya, dan Khidr masih berada di sisinya. Khidr berkata, “Aku akan mengabulkan sebuah permintaanmu!!”
            Lelaki itu berkata, “Aku ingin tahu mengapa aku telah gagal dalam pencarianku, dan bagaimana aku dapat berhasil?”
            Khidr berkata, “Engkau telah menyia-nyiakan hidupmu, karena engkau manusia pembohong. Engkau hanya mencari kepuasan pribadi (ego dan prestise), walau sebenarnya engkau bisa mencari kebenaran!!”
            “Namun aku sedang mencari kebenaran itu ketika aku bertemu denganmu, dan hal itu tidak terjadi pada setiap orang!!” Katanya, masih mnecoba membela diri.
            “Benar,” Kata Khidr, “Ketulusan hatimu yang cukup besar untuk mencari kebenaran demi kebenran itu sendiri, walau hanya sesaat saja, yang menyebabkan aku datang untuk menemuimu!!”
            Mendengar penuturan Khidr itu, ia merasakan kegairahan yang menggelora untuk masuk ke dalam kebenaran dengan segenap ketulusan hatinya. Ia tampak tak perduli walau ia akan tenggelam dalam samudra kebenaran yang tidak berujung itu.
Ketika Khidr beranjak pergi, ia berusaha mengejarnya tetapi Khidr berkata, “Jangan ikuti aku! Aku akan kembali ke dunia yang penuh tipuan, karena di sanalah seharusnya aku berada untuk melaksanakan tugasku!!”
Begitu Khidr lenyap dari pandangan, ia tidak lagi berada di halaman rumah manusia arif seperti sebelumnya, tetapi ia telah berada di negeri kebenaran.

Pahala dari Setiap yang Bernyawa

           Seseorang sedang berjalan-jalan, dan ketika ia merasa kehausan, ia turun ke suatu sumur yang tidak jauh dari situ. Setelah hausnya hilang, ia segera naik lagi dan ia melihat seekor anjing yang lidahnya terjulur ke tanah karena hausnya. Ia berkata dalam hati, “Anjing ini kehausan seperti aku tadi!!”
            Ia turun lagi ke dalam sumur, ia menciduk air dengan sepatunya dan membawanya ke atas dengan menggigitnya. Sampai di atas, ia memberi minum anjing tersebut dengan air di dalam sepatunya itu.
            Rasulullah SAW yang menceritakan kisah tersebut bersabda, “Allah SWT berterima kasih kepada lelaki itu dan mengampuni dosa-dosanya!!”
            Salah seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, memangnya kita bisa memperoleh pahala sehubungan dengan binatang?”
            Beliau bersabda, “Pada setiap yang berjantung lagi hidup ada pahala!!”
            Pada riwayat lain yang hampir senada, Nabi SAW menceritakan bahwa seorang wanita pelacur melihat seekor anjing yang terengah-engah dan lidahnya terjulur, tampaknya ia hampir mati kehausan. Pelacur itu melepas sepatunya dan diikatkan pada kain kerudungnya untuk menimba air dari sumur yang tidak jauh dari situ. Setelah itu ia memberi minum anjing itu sehingga ia segar kembali.
            Nabi SAW menyatakan bahwa Allah mengampuni dosa-dosa wanita pelacur itu karena keperdulian dan sikap kasih sayangnya memberi minum pada anjing yang kehausan. Dan ia juga memperoleh hidayah sehingga meninggalkan perbuatan maksiatnya dan bertaubat kepada Allah.    

Empat Malaikat ketika Sakit

        Ketika Allah SWT telah menetapkan seorang hamba-Nya yang beriman, baik itu laki-laki atau perempuan, akan mengalami sakit, maka Dia akan mengirimkan empat malaikat kepada orang itu. Malaikat pertama diperintahkan untuk mengambil kekuatannya, maka orang itu menjadi lemah tidak seperti biasanya. Malaikat kedua diperintahkan untuk mengambil selera makannya dari mulutnya, maka ia jadi enggan makan walau terkadang merasa lapar. Malaikat ketiga diperintahkan untuk mengambil kecerahan wajahnya, maka orang-orang di sekitarnya akan melihat bahwa ia sangat pucat. Dan malaikat keempat diperintahkan untuk mengambil dosa-dosanya, maka ia terbebas dari dosa, kecuali dosa yang berhubungan dengan hak-hak manusia. 
Ketika Allah SWT menghendaki hamba beriman itu sehat kembali, maka Allah memerintahkan malaikat pertama untuk mengembalikan kekuatannya, dan ia akan berangsur kuat kembali. Malaikat kedua diperintahkan untuk mengembalikan selera makannya, maka ia akan senang makan dan itu membantu memulihkan kesehatannya. Malaikat ketiga diperintahkan untuk mengembalikan kecerahan wajahnya, maka kepucatan wajahnya berangsur menghilang dan kembali cerah seperti sediakala.
Tiga malaikat itu telah selesai melaksanakan tugasnya dan tidak lagi “membawa” beban apapun, tinggal malaikat keempat yang menunggu perintah Allah turun kepadanya sehingga ia tidak harus “membawa” seperti ketiga malaikat temannya itu. Tetapi perintah itu tidak datang-datang juga, karena itu ia memberanikan diri bertanya kepada Allah, “Wahai Allah, kami berempat adalah hamba-hamba-Mu yang patuh kepada perintah-Mu. Mereka bertiga telah Engkau perintahkan untuk mengembalikan apa yang mereka ambil, mengapa tidak engkau perintahkan aku untuk mengembalikan apa yang aku ambil dari hamba-Mu itu?”
Allah SWT berfirman, “Kemuliaan yang Aku miliki tak pantas membuat-Ku menyuruhmu untuk mengembalikan dosa-dosanya, setelah aku membuatnya kepayahan karena sakit yang dialaminya!!”
Malaikat keempat berkata, “Lalu apa yang harus aku lakukan dengan dosa-dosanya ini, Ya Allah??”
Allah berfirman, “Pergilah engkau ke laut dan buanglah dosa-dosanya di sana!!”
Malaikat keempat segera turun ke laut dan membuangnya di sana, dan ia terbebas dari beban sebagaimana ketiga malaikat temannya. Kemudian dari dosa-dosa yang dibuang tersebut Allah menciptakan buaya laut, Wallahu A’lam.
Kalau dalam sakitnya itu sang hamba mukmin meninggal, maka ia akan pergi menuju akhirat dalam keadaan suci, tanpa membawa dosa-dosanya. Tentulah dikecualikan dosa-dosa yang berhubungan dengan hak-hak anak Adam lainnya. Hal ini mungkin salah satu penjabaran dari sabda Nabi SAW, “Sakit panas sehari semalam adalah pelebur dosa setahun!!”
Dalam riwayat lainnya Nabi SAW menjelaskan, bahwa ketika seorang hamba mukmin sakit dan ia tidak bisa mengerjakan amalan-amalan istiqomah yang biasa dilakukan waktu sehat, maka Allah SWT memerintahkan malaikat mencatat pahala dari amal-amal kebaikan tersebut untuknya, walau ia tidak bisa mengerjakannya karena sakit yang dideritanya itu.
Tentulah semua itu bisa terjadi jika sang hamba mukmin tersebut sabar dan ridho dengan kehendak Allah kepadanya. Bukan justru “mengadukan/memprotes” Allah (yang menghendakinya sakit) kepada pengunjung-pengunjung yang menjenguknya.
Dalam keadaan sakit tersebut, seharusnyalah seorang hamba melakukan ikhtiar untuk berobat atau ke dokter, tetapi tidak boleh meyakini bahwa obat atau dokter tersebut yang menyembuhkan penyakitnya. Kalau keyakinan seperti itu tertanam, bisa-bisa ia terjatuh pada kesyirikan yang samar (syiri’ khofi), karena sesungguhnyalah hanya Allah yang berkehendak menyembuhkan, sebagaimana hanya Dia pula yang menghendakinya menjadi sakit.
            Maka ikhtiar itu ada batasnya, setelah itu harus tawakal kepada Allah tentang hasilnya, yang mana tawakal tersebut tidak ada batasnya. Jangan sampai kita “terjebak” dengan pameo “berusaha/ikhtiar tanpa batas” dan tidak pernah sempat untuk tawakal. Apa jadinya kalau kita meninggal dalam keadaan ikhtiar, sementara kita belum pernah atau belum sempat tawakal kepada Allah? 

Kamis, 23 Februari 2012

Karena Melawan Nasehat Ibunya

           Seorang lelaki bernama Awwam bin Husyaib baru saja pindah ke rumah di dekat suatu pemakaman. Pada waktu ashar, tiba-tiba dilihatnya dari salah kuburan muncul asap berwujud seorang lelaki berkepala keledai, dan mengeluarkan suara dengkingan (suara keledai) sebanyak tiga kali. Kemudian wujud asap itu masuk kembali ke dalam kubur. Tidak jauh dari kuburan tersebut, ada seorang wanita yang sedang memintal benang bulu.
            Ibnu Husyaib begitu keheranan melihat pemandangan itu. Seorang wanita tetangganya yang melihat ekspresi keheranannya berkata, “Tahukah engkau wanita tua yang memintal benang bulu itu?”
            Tetangganya itu menunjukkan tempatnya. Ibnu Husyaib berkata, “Siapakah dia?”
            “Dia adalah ibu dari lelaki yang kuburannya berasap dan mengeluarkan suara itu!!”
            “Bagaimana ceritanya hingga bisa seperti itu?” Tanya Ibnu Husyaib.
            Wanita itu kemudian bercerita, bahwa anak lelakinya itu sangat suka minum khamr. Suatu ketika sang ibu berkata kepadanya, “Wahai anakku, takutlah kamu kepada Allah. Sampai kapankah engkau akan minum khamr??”
            Anak yang memang sedang dirasuki khamr sehingga akalnya tidak genap itu berkata kepada ibunya, “Engkau medengking saja seperti keledai!!”
            Ternyata setelah ashar di hari itu, anak lelakinya itu meninggal. Dan setiap ashar kuburannya mengeluarkan asap berwujud dirinya yang berkepala keledai, dan mendengking tiga kali layaknya seekor keledai. 

Sungguh Allah Lebih Gembira

        Ada seseorang akan bepergian melewati padang pasir yang luas. Ia telah mempersiapkan perbekalannya, baik makanan ataupun minuman selama perjalanan itu pada onta, yang juga jadi kendaraannya. Di tengah padang pasir yang begitu panasnya, ia ingin beristirahat di bawah suatu pohon. Tetapi begitu ia turun, ontanya tersebut lepas dan melarikan diri entah kemana. Tidak bisa dibayangkan bagaimana kesedihannya, apalagi semua perbekalannya ikut hilang.
            Orang itu mencoba mengikuti jejak-jejak ontanya dengan harapan akan menemukannya kembali. Tetapi tidak begitu lama mengarungi padang pasir yang seolah tanpa batas itu, ia jatuh terduduk, lelah, lapar dan haus segera saja menyergapnya sehingga ia tidak mampu meneruskan langkahnya. Ia berteduh di bawah sebuah pohon dan tertidur di sana.
            Entah berapa lama ia tertidur, ketika terbangun tiba-tiba dilihatnya ontanya tersebut duduk menderum di bawah pohon itu juga, masih lengkap dengan perbekalannya, tidak berkurang sedikitpun. Tidak terkira kegembiraannya melihat ontanya itu, begitu gembiranya sehingga ia salah dalam mengucap rasa syukurnya, “Allahumma anta ‘abdii, wa ana rabbuka” (Wahai Allah, Engkaulah hambaku, dan saya adalah rabb-Mu).
            Padahal maksudnya ia ingin berkata : Allahumma anta rabbi wa ana ‘abduka. Kegembiraan yang begitu memuncak membuat ia salah tanpa menyadarinya dan lisannya “keseleo” mengucapkan perkataan itu.
Ia segera memeluk ontanya dan segera mengambil makanan dan minuman untuk mengobati perutnya yang telah sangat perih minta diisi.
            Nabi SAW yang menceritakan kisah perumpamaan tersebut, bersabda kepada para sahabat, “Sungguh Allah lebih gembira untuk menerima taubat hamba-Nya, daripada kegembiraan orang tersebut yang menemukan kembali ontanya yang telah hilang di tengah-tengah padang sahara…!!”

Karena Doa Seorang Peminta-minta

           Dalf bin Jahdar Asy-Syibli, nama kunyahnya Abu Bakar, sehingga lebih dikenal dengan nama Abu Bakar Asy-Syibli, adalah seorang ulama sufi yang lahir dan dibesarkan di Baghdad. Ia bersahabat dengan ulama sufi lainnya yang sangat terkenal, Junaid al Baghdadi. Suatu ketika ia sedang berjalan ke suatu desa, dan ia melihat seorang pemuda kurus dengan rambut terurai dan bajunya sangat kumal. Pemuda itu sedang duduk di antara kubur dan meletakkan pipinya di tanah, air matanya mengalir membasahi wajahnya, mulutnya terus bergerak mengucap dzikr. Tasbih, tahmid, tahlil dan istighfar tak henti-hentinya keluar dari mulutnya. Sesekali ia memandang ke langit. 
            Syibli sangat tertarik dengan pemuda tersebut karena itu ia menghampirinya, tetapi melihat kedatangannya, sang pemuda lari menghindar. Syibli berusaha mengejarnya, tetapi karena tertinggal terus, ia berkata, “Perlahan-lahan, wahai waliyullah!!”
            Sang pemuda hanya berkata, “Allah”
            Syibli berkata lagi, “Demi Allah, sabarlah engkau menantiku!!”
            Sang pemuda hanya mengisyarakan penolakan dengan tangannya, sambil berkata, “Allah”
            Putus asa untuk menghentikan pemuda itu, Asy-Syibli berkata, “Jika benar apa yang engkau katakan, maka tunjukkan kepadaku kesungguhanmu kepada Allah!!”
            Mendengar ucapan Syibli itu, sang pemuda berteriak keras, “Allah!!”
            Kemudian ia jatuh tersungkur. Ketika Syibli sampai di tempatnya, ia memeriksa pemuda tersebut dan ternyata ia telah meninggal. Syibli menjadi bingung sekaligus heran, begitu besar tekadnya kepada Allah, sehingga untuk membuktikan sebagaimana permintaannya, Allah harus mengambil nyawanya. Ada sedikit perasaan bersalah, sekaligus kekaguman, karena itu ia berkata, “Yakhtahshu bi rahmatihii man yasyaa’u, walaa haula walaa  quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim…”
            Syibli pergi sebentar untuk mencari kafan dan segala keperluan untuk memakamkan pemuda tersebut. Setelah kembali ia tidak menemukan jenazahnya, bahkan tidak ada bekas-bekasnya. Sekali lagi ia bingung dan bertanya-tanya, siapakah yang mendahuluinya mengurus jenazahnya, padahal ia tidak lama meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba ia mendengar hatif (suara tanpa wujud), “Ya Syibli, telah ada yang menyelesaikan urusannya. Jenazahnya telah dirawat malaikat. Hendaklah engkau banyak beribadah kepada Allah dan bersedekah. Pemuda itu tidak sampai kepada kedudukannya seperti itu, kecuali karena suatu sedekahnya di suatu hari…”
            “Beritahukanlah kepadaku, apakah sedekahnya itu?” Kata Syibli.
            “Ya Syibli, pemuda itu sebelumnya seorang yang fasik, suka berzina, durhaka dan gemar bermaksiat kepada Allah. Suatu malam ia bermimpi kemaluannya menjadi ular dan mengeluarkan api dari mulutnya. Ia disembur dengan api itu sehingga tubuhnya menjadi hitam seperti arang. Setelah terbangun, ia gelisah dan ketakutan, kemudian menyingkir dari orang-orang sekitarnya untuk bertobat dan khusyu’ beribadah. Ia tetap dalam keadaannya itu selama duabelas tahun, hingga kemarin ia kedatangan seorang peminta-minta yang meminta makanan. Karena tidak memiliki apa-apa lagi, ia melepas baju yang dipakainya, dan memberikannya kepada sang peminta-minta. Karena begitu gembiranya, ia mendoakan sang pemuda agar dosa-dosanya diampuni oleh Allah, dan Allah mengabulkannya. Karena itulah pemuda itu memperoleh kemuliaan (karamah) seperti yang engkau lihat…!!”

Minggu, 19 Februari 2012

Kesusahan yang Bukan Kesusahan

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib, yang saat itu menjabat sebagai khalifah, bertemu dengan sahabat Salman al Farisi. Ali menyapanya, “Apa kabar dirimu, wahai Salman?”
Salman berkata, “Wahai Amirul Mukminin, saya sedang dilanda empat kesusahan!!”
“Kesusahan apa?” Tanya Ali.
Salman menjelaskan, “Kesusahan keluarga karena membutuhkan roti (makanan pokok), kesusahan karena perintah Allah untuk menjalankan taat, kesusahan karena godaan syetan yang selalu mengajak maksiat, dan kesusahan karena akan datangnya malaikat maut untuk mencabut nyawaku!!”       
Reaksi yang diberikan Ali sungguh mengejutkan, “Bergembiralah wahai Abu Abdillah, pada setiap keadaan itu, engkau memiliki derajad (kedudukan utama) di sisi Allah”
Tentu saja Salman kebingungan melihat reaksi sahabat dan menantu Rasulullah SAW itu. Kemudian Ali menceritakan, bahwa ketika Nabi SAW masih hidup, suatu pagi ia bertemu dengan beliau dan beliau bersabda, “Bagaimana pagimu, ya Ali?”
“Wahai Rasulullah,” Kata Ali, “Saya berada dalam kesedihan karena empat hal. Saya tidak memiliki apapun (untuk makan) kecuali hanya air, saya sedih dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah (apakah akan diterima?), saya sedih tentang balasan amal (apakah lebih banyak kebaikannya?), dan saya sedih akan datangnya malaikat maut (apakah akan khusnul khotimah?).”
Mendengar jawaban Ali tersebut, dengan tersenyum Nabi SAW bersabda, “Bergembiralah wahai Ali, sesungguhnya kesedihan atas keluarga adalah tabir dari neraka, dan kesedihan dalam taat kepada Allah al Khaliq adalah (kunci) keamananmu dari azab, kesedihan atas balasan amal adalah jihad, yang hal itu lebih baik daripada ibadah selama 60 tahun, dan kesedihanmu atas malaikat maut adalah kafarat (pelebur, penebus) dari dosa-dosamu. Ketahuilah, wahai Ali, rezeki Allah kepada hamba-Nya itu tidak karena kesedihan itu. Kesedihan tidak berpengaruh apa-apa (atas pembagian rezeki dari Allah) kecuali semakin menambah pahala. Jadilah orang yang bersyukur dan tawakal, niscaya engkau akan menjadi kekasih Allah!!”
Ali bertanya, “Dengan apa (atas apa)  saya bersyukur kepada Allah?
“Dengan Islam!!”
“Dengan apa saya taat?” Tanya Ali lagi.
“Ucapkanlah : Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim…!!”
Ali bertanya lagi, “Apa yang harus saya tinggalkan?”
Nabi SAW bersabda lagi, “Tinggalkanlah kemarahan, karena hal itu akan menghilangkan amarah Tuhanmu, memberatkan timbangan amal (kebaikan) dan membawamu ke surga!!”
Mendengar penjelasan Ali tersebut, Salman berkata, “Sungguh saya benar-benar susah memikirkan hal itu, terutama tentang keluarga!!”
Tentu, maksud Salman bukanlah perasaan sedih atau susah karena menyesali keadaannya. Tetapi kesedihan dalam rangka mengharap berbagai kebaikan seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW tersebut. Menjalani hidup dalam kesedihan/kesusahan dengan ikhlas untuk menggapai kegembiraan di akhirat kelak.
Menanggapi ucapan Salman tersebut, Ali berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah bersabda : Barang siapa yang tidak pernah bersedih atas keluarganya, ia tidak berhak mendapat surga!!”
Salman menyahuti, “Bukankah Rasulullah SAW juga bersabda : Orang yang memiliki keluarga tidak akan bahagia selamanya??”
“Bukan seperti itu (maksudnya), Salman,” Kata Ali, “Jika pekerjaanmu halal, maka surga akan selalu merindukan orang-orang yang bersedih dan nestapa dalam mencari rezeki yang halal, demi untuk menghidupi keluarganya!!”

Kuda yang Bertaubat

Abdullah bin Mubarak, seorang ulama di masa Tabi’in (pengikut atau murid para sahabat Nabi SAW), suatu ketika berjalan-jalan di pasar dan melihat seekor kuda yang dijual seharga 40 dirham. Maka ia berkata, “Murah sekali harga kuda ini!!”
Ia bermaksud membelinya, tetapi sang penjual yang memang jujur berkata, “Wahai Syech, kuda ini ada kelemahannya!!”
“Apakah kelemahannya?”
“Kuda ini tidak bisa dipacu, ia berhenti saat dikejar musuh sehingga terkejar (tertangkap), dan ia selalu meringkik ketika disuruh diam!!”
“Kalau begitu harganya terlalu mahal,“ Kata Ibnu Mubarak, dan ia batal membelinya.
Suatu ketika Abdullah bin Mubarak melihat salah satu muridnya mengendarai kuda itu. Bahkan ia melihatnya terjun pada salah satu pertempuran dengan mengendarainya. Tentu saja hal itu membuatnya bertanya-tanya atas kebenaran informasi yang diberikan sang penjual tentang kelemahan kuda tersebut.
Pada suatu kesempatan, Ibnu Mubarak memanggil muridnya tersebut dan menanyakan tentang kuda yang ternyata telah dibelinya itu. Ia berkata, “Apakah engkau telah membuktikan kelemahan kuda itu?”
Sang Murid menceritakan kalau ia memang telah membuktikannya. Tetapi setelah itu ia berbisik ke telinga kudanya, “Wahai kuda, telah kutinggalkan semua dosa-dosa, aku telah bertobat dan kembali kepada Allah. Karena itu hendaklah engkau juga bertobat dan meninggalkan tabiat burukmu itu. Aku berjanji tidak akan membawamu kepada jalan maksiat kepada Allah.”
 Mendengar bisikan tersebut, tampak sang kuda menggerakkan kepalanya tiga kali, seolah-olah sangat gembira, dan setelah itu ia menjadi kuda yang penurut seperti yang dilihat Abdullah bin Mubarak. Kemudian sang murid mengetahui bahwa pemilik kuda itu sebelumnya adalah seorang kafir yang lalim, karena itu sang kuda sering mengutuknya dan sering menjatuhkannya dari punggungnya. tabiat buruk itulah yang terbawa pada kuda itu saat ia dijual.

Khidr AS Muncul karena Ketulusan (1)

            Sosok Nabi Khidr AS yang terkenal karena kisah pertemuannya dengan Nabi Musa AS diabadikan dalam Al Qur’an Surat Al Kahfi ayat 60-82 memang fenomenal. Nabi SAW juga mengulang kisah tersebut dalam beberapa hadist beliau dengan beberapa penjabaran. Dalam surat Al Kahfi tersebut tidak disebutkan nama Khidr dan juga statusnya sebagai salah satu nabi, hal ini saja sudah menimbulkan perbedaan pendapat, apakah beliau seorang nabi atau hanya seorang ulama atau salah satu auliyah Allah. Begitu juga terjadi perbedaan pendapat, apakah beliau masih hidup sampai sekarang atau sudah meninggal?  
            Bukan di sini tempatnya untuk membahas perbedaan pendapat tersebut karena masing-masing ulama mempunyai hujjah (argumentasi) yang kuat untuk mendukung pendapatnya. Bagi kita yang awam, cukuplah mengikuti pendapat yang kita mantap dengannya tanpa “menghujat” pendapat lain yang berbeda. Hanya saja, bagi yang percaya Nabi Khidr AS masih hidup sampai sekarang, terkadang ada yang terlalu “mendewa-dewakan” beliau, bahkan membuat cara-cara yang menyeleweng dari syariat hanya untuk bisa bertemu dengan beliau.
Sesungguhnya Nabi Khidr AS tidak bisa “dipaksa” hadir dengan cara apapun, kecuali jika Allah SWT mengijinkan beliau hadir seperti yang terjadi kepada Nabi Musa AS, atau beliau “ditugaskan” Allah SWT hadir sebagai jalan untuk menolong hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Kalau “ritual-ritual” yang diadakan untuk bertemu Nabi Khidr didasari hawa nafsu dan tujuan duniawiah semata-mata, bisa jadi yang hadir malahan syaitan terkutuk yang akan makin menjerumuskan manusia ke dalam jurang kesesatan. Naudzubillahi min dzaalik!! Semoga kisah berikut ini memberikan hikmah dan menambah pemahaman bagi kita.
Al kisah, di negeri Turkestan tinggal seorang lelaki tua bernama Bakhtiar. Ia sangat miskin, dan dengan usianya yang telah renta, ia kesulitan untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia sendiri “cukup malu” untuk meminta-minta walau warga di sekitarnya cukup banyak yang hidup berkelimpahan, karena itu ia tetap berusaha sebatas kemampuannya.
Suatu ketika raja yang berkuasa di Turkestan tersebut sedang didatangi seorang ulama sufi. Setelah menyampaikan beberapa nasehat, tiba-tiba Sang Raja menanyakan tentang Nabi Khidr yang misterius tersebut. Sang Sufi menceritakan tentang Nabi Khidr secara sekilas, kemudian berkata, “Khidr hanya datang jika diperlukan, tangkaplah jubahnya kalau ia muncul, maka segala pengetahuan akan menjadi milik Baginda!!”
Tentu saja apa yang dikatakan Sang Sufi tersebut tidak bisa diterjemahkan secara harfiah begitu saja. Sang Raja bertanya, “Apakah itu bisa terjadi pada siapapun?”
“Ya, siapapun bisa!!”
Setelah Sang Sufi pergi, keinginan Sang Raja untuk bertemu Nabi Khidr sangat kuat. Ia ingin melengkapi kekuasaannya dengan pengetahuan, dan itu akan bisa diwujudkan dengan mudah kalau ia bertemu Nabi Khidr dan ‘menangkap jubahnya’. Ia berfikir, “Kalau hal itu bisa terjadi pada siapapun, apalagi aku, bukankah aku seorang raja??”
Untuk memujudkan keinginannya tersebut, Sang Raja membuat sayembara yang disebarkan ke seluruh pelosok negeri, “Barangsiapa yang bisa menghadirkan Khidr yang misterius di hadapanku, maka ia akan kujadikan orang yang kaya…!!”
Ternyata tidak banyak yang merespon sayembara tersebut karena hal itu suatu hal yang tidak mudah, walau mungkin saja terjadi. Ketika Bakhtiar mendengarnya, muncul suatu rencana di benaknya. Ia berkata kepada istrinya, “Wahai istriku, aku punya rencana dan kita akan segera kaya. Tetapi tak lama setelah itu aku akan mati, dan itu tidak mengapa, karena engkau telah mempunyai simpanan untuk bisa membiayai kehidupanmu seterusnya…!!”
Bakhtiar menceritakan rencananya. Istrinya hanya bisa setuju dan mendoakan saja. Bagi orang-orang seperti mereka, memang tidak banyak pilihan untuk bertahan hidup. Setelah itu ia pergi menghadap kepada Sang Raja.
Setelah memberi penghormatan seperlunya, Bakhtiar berkata kepada Sang Raja, “Hamba dapat menghadirkan Khidr, tetapi ada syaratnya!!”
“Apa syarat yang kamu minta itu?” Tanya Sang Raja.
“Baginda harus memberi hamba seribu keping uang emas!!”
Sang Raja setuju dengan persyaratan tersebut, dan memerintahkan salah satu abdinya untuk memberikan seribu keping uang emas kepada Bakhtiar. Lalu ia berkata, “Berapa lama waktu yang engkau perlukan untuk menemukan Khidr?
“Hamba akan mencarinya dalam waktu empatpuluh hari!!” Kata Bakhtiar lagi.
“Baiklah,” Kata Sang Raja, “Kalau engkau berhasil menemukan Khidr dan membawanya kemari, engkau akan mendapat tambahan sepuluh ribu keping uang emas. Tetapi jika engkau gagal, engkau akan mati dipancung di sini, sebagai peringatan bagi orang-orang yang mencoba mempermainkan rajanya!!”
Bakhtiar sudah tidak perduli lagi dengan ancaman tersebut, yang sebenarnya ia sudah menduga sebelumnya. Ia segera pulang dan menyerahkan seribu keping uang emas tersebut kepada istrinya. Ia sudah hampir yakin bahwa ajalnya akan tiba di tangan Sang Raja, empatpuluh hari kemudian. Karena itu sisa waktunya digunakannya untuk merenung, beribadah dan bertobat, mempersiapkan diri dengan amal-amal kebaikan sebagai bekal memasuki alam barzah. Ia telah banyak mendengar tentang Nabi Khidr yang memang tidak bisa dipaksakan kehadirannya, jadi untuk apa sibuk menghabiskan waktu mencarinya. Lebih baik ia terus beribadah dan bertobat, termasuk karena telah “menipu” Sang Raja.
Pada hari yang ditentukan Bakhtiar menghadap Sang Raja. Hatinya telah sangat mantap, empatpuluh hari hanya berkhidmat untuk beribadah kepada Allah, membuatnya tidak ada ketakutan kepada siapapun dan kepada apapun, kecuali kepada Allah saja. Maka kepada Sang Raja ia berkata tegas, “Wahai Raja, kerakusanmu telah menyebabkan engkau berfikir bahwa uang akan bisa mendatangkan Khidr. Tetapi Khidr tidak akan datang karena panggilan yang berdasarkan kerakusanmu itu!!”
Tentu saja Sang Raja amat marah dengan perkataannya tersebut. Bukannya datang untuk memenuhi janjinya, tetapi malah menasehatinya. Ia berkata, “Celaka kau ini, kau telah menyia-nyiakan nyawamu. Siapa pula kau ini beraninya mencampuri urusan seorang raja?”
Sekali lagi Bakhtiar berkata, “Menurut cerita, semua orang mungkin saja bertemu dengan Khidr. Tetapi pertemuan itu hanya ada manfaatnya jika ia mempunyai niat yang tulus dan benar. Seringkali sebenarnya Khidr telah datang di antara kita, tetapi kita tidak bisa memanfaatkan kunjungannya tersebut, dan itulah yang kita tidak bisa menguasainya!!”
Sang Raja makin marah dengan nasehatnya tersebut, ia memerintahkan para pengawal menangkapnya dan menghardik, “Cukup ucapanmu itu. Bualanmu itu tidak akan memperpanjang hidupmu. Engkau hanya tinggal menunggu bagaimana caranya engkau mati saat ini!!”
Sang Raja meminta pendapat para menterinya tentang cara mengeksekusi mati Bakhtiar. Menteri pertama berkata, “Wahai Raja, bakarlah dia hidup-hidup sebagai peringatan bagi yang lainnya!!”
Menteri kedua berkata, “Wahai Raja, potong-potong saja tubuhnya, dan pisah-pisahkan anggota tubuhnya (dimutilasi)…!!”
Menteri ketiga berkata, “Wahai Raja, sediakan saja kebutuhan hidupnya sehingga ia tidak akan pernah menipu lagi demi kelangsungan hidup keluarganya.”
Tengah Sang Raja mendiskusikan masalah tersebut, masuklah seorang tua yang tampak bijaksana. Setelah orang tua itu memberi salam, Sang Raja berkata, “Wahai orang tua, apa maksud kedatanganmu ke sini?”
“Saya hanya ingin mengulas pendapat para menteri anda itu!!”
“Apa maksudmu?” Tanya Sang Raja.
“Menterimu yang pertama itu dahulunya adalah tukang roti, karena itu ia berbicara tentang membakar (memanggang). Menterimu yang kedua dahulunya adalah tukang daging, karena itu ia berbicara tentang memotong. Dan menterimu yang ketiga inilah yang benar-benar mengerti masalah kenegaraan, karena itu ia melihat kepada sumber masalahnya…!!”
Selagi raja dan para hadirin terkejut dengan hakikat para menteri tersebut, orang tua itu berkata lagi, “Hendaklah kalian mencatat dua hal, pertama : Khidr akan datang untuk melayani setiap orang sesuai dengan kemampuan orang itu memanfaatkan kedatangannya. Dan kedua : Bakhtiar ini, ia kuberi (tambahan) nama ‘Baba’ karena pengorbanan yang dilakukannya atas dasar terdesak dan putus asa (dari manusia). Keadaannya yang makin terdesak (yakni, akan dihukum mati) sehingga aku muncul di hadapan kalian semua!!”
Sekali lagi raja dan para hadirin terkejut dengan perkataan orang tua tersebut, yang tak lain adalah Nabi Khidr itu sendiri. Dan sebelum sempat mereka berbuat apa-apa, termasuk keinginan Sang Raja untuk “menangkap jubahnya”, Khidr telah lenyap dari pandangan. Sang Raja sangat menyesal, sebaliknya Bakhtiar merasa sangat gembira karena mendapat nama baru “Baba” langsung dari Khidr sendiri, tanpa ia mengharapkannya. Semacam sebuah “pengesahan” dari apa yang telah dilakukannya sebelumnya.

Jumat, 17 Februari 2012

Tidak Menyembah jika Tidak Melihat

             Imam Ja’far ash Shadiq, salah seorang ulama sekaligus auliyah dari keturunan Nabi SAW, yakni dari pernikahan putri beliau Fathimah az Zahrah dan Ali bin Abi Thalib, suatu ketika sedang berjalan-jalan di tepi sungai Tigris, tiba-tiba muncul seseorang yang terkenal sangat kaya, pintar  dan terkemuka menghadang jalan Sang Imam. Orang ini seorang muslim, tetapi sangat materialis dan sangat mengagungkan otaknya semata. Ia berkata, “Wahai Imam, engkau adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dan pemimpin para auliyah. Aku ingin melihat Allah dengan kedua mataku ini, dapatkah engkau mengaturnya untukku?”
            “Wahai sahabatku,” Kata Imam Ja’far Shadiq, “Allah tidak bisa dilihat dengan mata lahirian ini, Dia hanya bisa dirasakan (kehadiran-Nya) dengan mata hati!!”
            Lelaki materialis (mengukur segalanya hanya dengan yang tampak nyata) ini berkata, “Terserah apa yang engkau katakan, tetapi aku tidak bisa menyembah Tuhan yang tidak bisa disentuh dan dilihat!!”
            Imam Ja’far Shadiq memandangnya dengan tajam, kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Angkatlah lelaki ini dan lemparkan ke sungai!!”
            Mereka segera melaksanakan perintah sang imam, dan lelaki tersebut dilemparkan ke sungai. Dalam keadaan timbul tenggelam berjuang untuk selamat, lelaki materialis itu berseru, “ Wahai Imam, selamatkanlah aku! Aku mohon dengan sangat, selamatkanlah aku!!”
            Imam Ja’far Shadiq memerintahkan para sahabat untuk mengangkatnya dari sungai. Lelaki tersebut masih terengah-engah nafasnya ketika beliau berkata lagi, “Ikat kedua tangannya dan lemparkan ke sungai, dan jangan diselamatkan lagi!!”
            Lelaki materialis itu tampak ketakutan, tetapi para sahabat Sang Imam tetap patuh melaksanakan perintah beliau. Setelah dilemparkan ke sungai, ia megap-megap hampir tenggelam. Ia telah putus asa untuk meminta tolong pada sang imam, bisa-bisa keadaannya lebih parah. Dalam keadaan sangat kritis tersebut, ia berteriak, “Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, selamatkanlah hamba! Tidak ada yang bisa menyelamatkan hamba dari bahaya ini kecuali Engkau, Ya Allah!!”
            Mendengar teriakan lelaki tersebut, Imam Ja’far Shadiq tersenyum dan memerintahkan para sahabatnya untuk menyelamatkan dia. Dalam keadaan gemetar ketakutan, lelaki itu dihadapkan kepada sang imam, dan beliau berkata, “Kamu memanggil-manggil : Tuhan Yang Maha Pengasih, Tuhan Yang Maha Pengasih…!! Apa benar kamu telah melihat-Nya??”
            Lelaki itu berkata, “Benar, ya imam, ketika harapan kepada semua manusia telah lenyap, aku mencari perlindungan-Nya, dan mata hatiku terbuka sehingga aku bisa melihat (merasakan) kehadiran-Nya…!!”
            Lelaki tersebut akhirnya bertobat dan tidak materialis lagi, bahkan menjadi pengikut sang imam yang setia.

Yang Pertama Dibakar Api Neraka

           Pada hari kiamat nanti, Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi akan mengadili mahluk-mahluknya pada yaumul hisab (Hari Perhitungan). Tidak ada perkara, yang sangat kecil atau remeh sekalipun, apalagi yang besar, pasti akan didatangkan ke sidang pengadilan yang benar-benar adil tersebut. Tentunya ada pengecualian bagi orang-orang yang Allah memberikan Rahmat dan Kasih-Nya, yang Allah menutupi keburukan-keburukannya dan memaafkannya, sehingga Allah memasukkannya ke surga tanpa hisab.
            Yang pertama kali didatangkan untuk diadili adalah tiga kelompok manusia, yang waktu di dunia mempunyai kemuliaan dan keutamaan dalam pandangan manusia. Mereka adalah orang-orang yang membaca dan memahami Al Qur’an, orang-orang yang kaya (berharta), dan orang-orang yang berjuang di jalan Allah
            Allah mendatangkan salah seorang yang ahli membaca dan mengajarkan Al Qur’an dan berfirman, “Bukankah Aku telah mengajarkan kepadamu apa yang Aku turunkan melalui utusan-Ku?”
            “Benar, wahai Tuhanku!!” Kata orang tersebut.
            “Kemudian, apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat-Ku itu?”
            “Saya mempelajari ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an karena Engkau, ya Allah!!”
            Allah berfirman, “Kamu bohong!!”
            Para malaikat ikut berkata, “Kamu bohong!!”
            Dan Allah berfirman lagi, “Kamu mengerjakan semua itu hanya karena ingin dikatakan bahwa engkau adalah orang pandai membaca Al Qur’an, seorang Qari’ yang hebat, dan semua itu telah dikatakan orang-orang kepadamu seperti yang kau inginkan!!”
            Setelah itu Allah memerintahkan malaikat untuk menariknya dan melemparkannya ke neraka.
            Kemudian Allah menghadirkan orang yang kaya (hartawan) yang banyak bersedekah di jalan Allah, dan berfirman, “Bukankah Aku telah memberi kelapangan kepadamu (yakni, berlimpah kekayaan) sehingga Aku tidak membiarkan dirimu membutuhkan seseorang?”
            “Benar, wahai Tuhanku!!” Kata orang tersebut.
            “Kemudian, apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat-nikmat harta yang Aku berikan kepadamu itu?”
            “Saya menyambung silaturahmi dan bersedekah. Tidak ada jalan atau tempat dimana Engkau senang jika diinfakkan harta, kecuali saya menginfakkannya semata-mata karena Engkau!!”
            Allah berfirman, “Kamu bohong!!”
            Para malaikat ikut berkata, “Kamu bohong!!”
            Dan Allah berfirman lagi kepadanya, “Kamu melakukan semua itu agar engkau dikatakan sebagai dermawan, dan itu telah dikatakan orang-orang kepadamu seperti yang engkau inginkan!!”
            Setelah itu Allah memerintahkan malaikat untuk menariknya dan melemparkannya ke neraka.
            Selanjutnya Allah menghadirkan seseorang yang terbunuh ketika berjuang di jalan Allah. Setelah Allah mengingatkan berbagai nikmat yang dianugerahkan kepadanya dan ia mengakui, Allah berfirman kepadanya, “Apakah yang kamu amalkan di dunia?”
Orang tersebut berkata, “Saya diperintahkan untuk berjuang dan berperang di jalan-Mu, dan saya memenuhinya dengan terjun di medan jihad hingga saya terbunuh di jalan-Mu!!”
            Allah berfirman, “Kamu bohong!!”
            Para malaikat ikut berkata, “Kamu bohong!!”
            Dan Allah berfirman lagi kepadanya, “Sesungguhnya kamu berjuang di medan jihad agar dikatakan bahwa engkau seorang pemberani, dan itu telah dikatakan orang-orang kepadamu sebagaimana engkau inginkan!!”
            Setelah itu Allah memerintahkan malaikat untuk menariknya dan melemparkannya ke neraka.
            Nabi Muhammad SAW yang menceritakan kisah ini, menepuk dua lutut Abu Hurairah dan bersabda, “Wahai Abu Hurairah, tiga orang (semacam) itulah mahluk Allah yang pertama kali dibakar oleh api neraka pada hari kianat nanti!!”

Utusan Izrail kepada Nabi Ya’kub AS

            Sebagaimana kebanyakan nabi-nabi lainnya, Nabi Ya’kub AS bersahabat dengan Malaikat Izrail atau malaikat maut yang bertugas mencabut nyawa. Suatu ketika Malaikat Izrail mengunjungi Nabi Ya’kub, dan beliau berkata, “Wahai malaikat maut, engkau datang hanya sekedar mengunjungi aku atau akan mencabut nyawaku?”
            Malaikat Izrail berkata, “Aku hanya sekedar berkunjung!!”
            “Bolehkan aku meminta agar engkau memenuhi satu keinginanku?’ Tanya Nabi Ya’kub.
            “Apa itu?”
            “ Kuminta agar engkau memberitahukan kepadaku jika saat ajalku telah dekat dan engkau akan mencabut nyawaku!!”
            “Baiklah,“ Kata Malaikat Izrail, “Aku akan mengirimkan kepadamu dua atau tiga utusan jika saat ajalmu telah dekat!!”
            Beberapa tahun kemudian, ketika saat ajal Nabi Ya’kub telah tiba, Malaikat Izrail datang kepada beliau, dan seperti biasanya beliau berkata, “Wahai malaikat maut, engkau datang hanya sekedar mengunjungi aku atau akan mencabut nyawaku?”
            Malaikat Izrail berkata, “Aku datang untuk mencabut nyawamu!!”
            Tentu saja Nabi Ya’kub kaget dengan jawaban tersebut, beliau berkata, “Bukankah engkau telah berjanji akan mengirimkan dua atau tiga utusan jika saat ajalku telah dekat?”
            Malaikat Izrail berkata, “Wahai Ya’kub, aku telah melakukannya. Putihnya rambutmu setelah sebelumnya hitam, kelemahan tubuhmu setelah sebelumnya kuat, dan kebongkokan tubuhmu setelah sebelumnya tegak, semua itu adalah utusanku kepadamu dan juga kepada anak Adam lainnya, sebelum saat ajalnya tiba!!”

Selasa, 14 Februari 2012

Lebih Jahat Daripada yang Berzina

         Seorang wanita dari Bani Israil datang menghadap kepada Nabi Musa AS dan berkata, “Ya Nabiyallah, saya telah berbuat dosa besar, dan kini saya bertaubat kepada Allah. Karena itu tolong doakanlah saya kepada Allah agar Dia mengampuni dosa saya dan menerima taubat saya!!”
             Nabi Musa berkata, “Apakah dosamu itu?”
            Wanita itu berkata, “Wahai Nabiyallah, saya telah berzina hingga mengandung dan punya anak, kemudian saya membunuh anak saya tersebut!!”
            Mendengar penjelasan tersebut, Nabi Musa langsung berkata keras, “Enyahlah engkau dari sini, wahai pelacur, jangan membakar kami dengan apimu!! Jangan sampai ada api turun dari langit dan membakar kami karena kesialanmu itu!!”
            Wanita tersebut keluar dengan hati hancur, tetapi ia tidak mau berputus asa dari rahmat Allah.
         Tidak lama berselang, turun Malaikat Jibril mendatangi Nabi Musa dan berkata, “Wahai Musa, Tuhanmu berkata kepadamu, mengapakah engkau menolak orang yang datang untuk bertaubat? Tidak adakah orang yang lebih jahat daripada dirinya?”
            Nabi Musa bertanya, “Siapakah orang yang lebih jahat daripada wanita itu?”
            Malaikat Jibril berkata, “Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja!!”

Malaikat Jibril Menggambarkan Neraka

           Suatu ketika Malaikat Jibril datang mengunjungi Nabi SAW, dan beliau bersabda, “Tolong engkau gambarkan kepadaku keadaan neraka!!”
            Malaikat Jibril berkata, “Wahai Muhammad, api neraka itu hitam kelam, seandainya satu lubang jarum dari api neraka dijatuhkan, maka terbakarlah semua yang ada di muka bumi…!!”
            Malaikat Jibril menjelaskan lagi, seandainya satu potong baju dari baju-baju yang ada di neraka digantungkan antara langit dan bumi, niscaya penghuni bumi akan mati karena terciumnya baunya yang sangat busuk.
            Seandainya setetes zaqqum (makanan penduduk neraka dari pohon berduri) dilemparkan ke bumi, maka makanan penduduk bumi akan musnah.
            Seandainya satu saja dari sembilanbelas malaikat yang disebutkan Allah SWT dalam Al Qur’an (Malaikat Zabaniah yang ditugaskan menyiksa penduduk neraka) muncul di tengah-tengah penduduk bumi, niscaya mereka semua akan mati karena buruknya dari bentuk, penampilan dan rupanya.
            Seandainya satu lingkaran dari rantai belenggu neraka seperti yang disebutkan Allah SWT dalam Al Qur’an dibuang ke bumi, niscaya bumi itu hancur hingga lapisan yang paling bawah, dan bumi tidak bisa ditempati lagi. 
            Mendengar penjelasan-penjelasan tersebut, tiba-tiba Nabi SAW memotong ucapan Jibril, “Cukup, wahai Jibril!!”
            Kemudian beliau menangis. Malaikat Jibril ikut menangis melihat beliau menangis, maka Nabi SAW bersabda, “Wahai Jibril, mengapa engkau menangis, sedangkan kedudukan engkau begitu dekat dengan Allah…!!”
            Jibril berkata, “Wahai Rasulullah, tidak ada kedudukanku di sisi Allah, kecuali posisiku saat ini. Dan aku (takut) diuji dengan apa yang diujikan kepada Malaikat Harut dan Marut, serta iblis yang terkutuk tersebut!!”
            Maka dua mahluk termulia dari golongan manusia dan malaikat itu kembali menangis karena takutnya kepada “makar’ Allah SWT, yang mungkin saja akan menimpa mereka.

Minggu, 12 Februari 2012

Iblis Bertamu kepada Nabi Musa AS

            Suatu ketika Nabi Musa AS sedang duduk sendiri, tiba-tiba datang seorang lelaki dengan penampilan menarik dan memakai topi yang berwarna-warni. Tiba di hadapan Nabi Musa, lelaki itu membuka topinya dan mengucap salam, tetapi beliau tidak serta merta menjawab salamnya. Ada firasat tertentu sehingga beliau tidak menjawab salamnya, dan justru bertanya, “Siapakah engkau ini?”
            Lelaki itu berkata, “Saya iblis!!”
            Benarlah apa yang dirasakan Nabi Musa, beliau berkata, “Kenapa kamu datang kemari??”
            Iblis menjawab, “Untuk memberi selamat kepadamu atas kedudukanmu di sisi Allah!!”
            Nabi Musa tidak mau terjebak dengan perangkap iblis yang bernada pujian tersebut, dan mengalihkan pada hal lainnya, beliau berkata, “Untuk apa topi yang kamu bawa itu?”
            “Untuk mengelabuhi manusia!!” Kata Iblis.
            “Beritahukanlah kepadaku, dosa apa yang bila dilakukan manusia, yang membuat engkau akan mudah menguasainya?” Kata Nabi Musa.
            Maka iblis berkata, “Apabila manusia itu merasa bangga bercampur sombong atas dirinya sendiri. Merasa amalnya telah banyak dan melupakan dosa-dosanya. Maka di saat itulah saya dengan mudah apat menguasainya!!”

Kedermawanan Seorang Majusi

            Seorang wanita dari kalangan Alawiyah (keturunan dari Ali bin Abi Thalib, termasuk dalam Ahlul Bait Nabi SAW) hidup dalam keadaan fakir setelah ditinggal wafat suaminya. Ia mempunyai beberapa orang anak perempuan yang masih kecil. Karena khawatir orang-orang di sekitarnya akan gembira karena penderitaannya, wanita janda dan anak-anak yatimnya itu meninggalkan tanah kelahirannya, pindah ke suatu tempat, yang ia sendiri belum tahu ke mana? 
            Dalam perjalanannya, wanita tersebut memasuki suatu desa dan tinggal di masjid yang kosong. Karena anak-anaknya dalam keadaan lapar, wanita tersebut mencoba mencari (meminta) makanan dari warga sekitar masjid, yang tentunya tidak mengenal kalau dia seorang Alawiyah. Ia memasuki suatu rumah dari seorang muslim yang tampak berkecukupan, yang ternyata adalah salah seorang pembesar di desa tersebut. Ia berkata, “Saya ini seorang perempuan asing….”
            Dan wanita tersebut menyebutkan keadaannya dan anak-anaknya yang dalam kelaparan, tetapi lelaki tersebut mengabaikannya begitu saja. Maka wanita itu meninggalkan rumah tersebut, dan berjalan lagi sampai di suatu rumah lainnya. Permilik rumah tersebut yang ternyata beragama Majusi, menyambut kehadirannya dengan gembira. Setelah ia menceritakan keadaannya, lelaki Majusi itu memenuhi kebutuhannya, bahkan ia mengirim salah seorang istrinya menjemput anak-anak wanita tersebut di masjid dan membawanya untuk tinggal di rumahnya. Ia begitu memuliakan Wanita Alawiyah dan anak-anak yatimnya itu, layaknya terhadap kaum kerabatnya sendiri.
            Pada malam harinya, lelaki muslim yang didatangi Wanita Alawiyah itu bermimpi, seolah-olah hari kiamat telah tiba. Ia melihat Rasulullah SAW berdiri di samping sebuah gedung yang amat megah dan indah, maka ia mengucap salam kepada beliau dan berkata, “Ya Rasulullah, untuk siapakah gedung itu?”
            “Untuk orang-orang Islam!!” Kata Nabi SAW
            Lelaki itu berkata penuh harap, “Saya adalah orang Islam, saya juga bertauhid!!”
            Tetapi tanpa diduga, Nabi SAW bersabda dengan nada kurang ramah, “Tunjukkan buktinya di hadapanku!!”
            Lelaki tersebut tampak bingung mendengar sabda beliau dengan nada seperti itu, bahkan ketakutan. Kemudian Nabi SAW menceritakan tentang wanita yang telah mendatanginya meminta sesuatu dan ia mengabaikannya itu, dan ia terbangun dari mimpinya. Tampak tergambar kesedihan dan penyesalan tak terkira di wajahnya karena sikapnya terhadap Wanita Alawiyah tersebut.
            Keesokan harinya ia berjalan berkeliling untuk mencari wanita tersebut, dan akhirnya ditunjukkan ke tempat orang Majusi. Setelah bertemu, ia meminta dengan sangat agar lelaki Majusi itu menyerahkan wanita dan anak-anak yatimnya tersebut kepadanya. Lelaki Majusi itu menolak dengan keras permintaannya, dan berkata, “Kami benar-benar merasakan berkah dari kehadiran wanita tersebut dan anak-anaknya!!”
            Lelaki Muslim itu mengeluarkan sekantong uang sambil berkata, “Ambillah uang seribu dinar ini, dan serahkanlah mereka kepadaku!!”
            Lelaki Majusi tetap bertahan menolak permintaan tersebut walaupun “disuap” dengan seribu dinar. Lelaki Muslim yang juga pembesar desa itu tampaknya ingin memaksakan kehendaknya, dengan memanfaatkan kekuasaannya. Segala cara, dari yang halus hingga yang kasar dilakukannya untuk bisa membawa wanita Alawiyah itu beserta anak-anaknya.  
Karena lelaki Muslim itu begitu memaksa, maka lelaki Majusi itu berkata, “Apa yang engkau inginkan itu, akulah yang lebih berhak dengannya. Mungkin engkau bermimpi sebagaimana aku memimpikannya, dan gedung yang engkau lihat dalam mimpi itu diciptakan untukku. Apakah engkau ingin membanggakan keislamanmu padaku?” Demi Allah, aku dan seluruh keluargaku tidaklah tidur tadi malam kecuali telah memeluk Islam di tangan wanita tersebut…”
Kemudian lelaki Majusi yang sebenarnya telah memeluk Islam itu menceritakan, bahwa dalam mimpinya tersebut ia bertemu Rasulullah SAW berdiri di sisi gedung yang megah dan indah, sebagaimana dimimpikan si lelaki muslim, dan beliau bersabda, “Apakah wanita Alawiyah dan anak-anak perempuannya itu ada di sisimu?”
“Benar, ya Rasulullah!!” Katanya.
“Gedung ini milikmu dan selutuh anggota keluargamu!!” Kata Nabi SAW, dan setelah itu lelaki Majusi tersebut terbangun.
Riwayat lain menyebutkan, lelaki tersebut tetap dalam agama Majusi ketika tidur dan bermimpi itu. Setelah tersentak bangun dari impiannya, ia segera menemui wanita Alawiyah tersebut dan berikrar memeluk Islam beserta seluruh anggota keluarganya.
Lelaki Muslim itu akhirnya pulang dengan kesedihan dan penyesalan yang tidak terkira. Kalau saja ia bisa membalikkan (memundurkan) waktu, tentu ia akan mengambil sikap yang berbeda. Tetapi seperti kata pepatah, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Tidak ada jalan untuk “mengambil” keutamaan yang telah hilang, kecuali dengan taubat dan terus bertaubat.

Sabtu, 11 Februari 2012

Jenazah yang Meninggalkan Hutang

            Suatu ketika Nabi SAW sedang berada di masjid bersama beberapa orang sahabat. Tiba-tiba datang serombongan orang membawa jenazah ke masjid, maka Nabi SAW bersabda, “Apakah ia (jenazah tersebut) meninggalkan hutang?”
            Salah seorang dari mereka berkata, “Tidak, ya Rasulullah!!”
            Maka Nabi SAW mengimami shalat jenazah tersebut
            Pada kesempatan lain ketika beliau sedang berada di masjid juga, beberapa orang membawa jenazah untuk dishalatkan, maka Nabi SAW bersabda, “Apakah ia (jenazah tersebut) meninggalkan hutang?”
            Salah seorang dari mereka berkata, “Benar, ya Rasulullah!!”
            Beliau bersabda lagi, “Apakah ia meninggalkan sesuatu (untuk membayar hutangnya) ?”
            Ada, ya Rasulullah, tiga dinar!!” Kata salah seorang dari mereka.
            Maka Nabi SAW mengimami shalat jenazah tersebut.
            Pada kesempatan lain lagi ketika beliau sedang berada di masjid juga, beberapa orang membawa jenazah untuk dishalatkan, maka Nabi SAW bersabda, “Apakah ia (jenazah tersebut) meninggalkan hutang?”
            “Benar, ya Rasulullah!!” Kata salah seorang dari mereka.
            Beliau bersabda lagi, “Apakah ia meninggalkan sesuatu (untuk membayar hutangnya) ?”
            “Tidak, ya Rasulullah!!”
            Maka Nabi SAW bersabda kepada para sahabat, “Shalatkanlah kawanmu ini!!”
            Tetapi beliau sendiri tidak ikut shalat jenazahnya.
            Dalam riwayat lainnya disebutkan, ketika Nabi SAW memerintahkan para sahabat menyalatkan tanpa beliau mengikutinya, Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai Rasulullah, biarlah hutang jenazah tersebut saya yang menanggungnya!!”
            Maka Nabi SAW mengimami shalat jenazahnya.