Rabu, 15 Agustus 2012

Takut yang Menyelamatkan

           Ada seorang lelaki di masa yang lalu (masa sebelum Nabi SAW), ia diberi kelimpahan harta dan anak-anak. Tetapi ia sama sekali tidak pernah berbuat kebaikan walau tidak sampai kehilangan keimanannya kepada Allah. Ketika kematian hampir menjemputnya, ia baru menyadari betapa buruknya apa yang telah dilakukannya selama ini. Hampir tidak ada sedikitpun bekal kebaikan yang dimilikinya untuk memasuki alam barzah (kubur) dan alam akhirat.
            Didorong oleh rasa kekhawatirannya menghadap Allah tanpa sedikitpun amal kebaikan, ia memanggil anak-anaknya dan berkata, “Wahai anak-anakku, ayah macam apakah aku ini bagi kalian??”
            Mereka berkata, “Sebaik-baiknya ayah bagi kami!!”
            Ia berkata, “Sesungguhnya aku ini tidak sedikitpun menyimpan atau menanam kebaikan di sisi Allah. Kalau Allah menghendaki, pastilah Dia akan menimpakan suatu siksaan kepadaku, dengan siksaan yang tidak akan pernah ditimpakan kepada orang lain….”
            Sesaat lelaki itu terdiam, kemudian melanjutkan, “Aku ingin mengikat perjanjian dengan kalian, kalau aku telah meninggal, hendaklah kalian melaksanakan wasiatku, bagaimanapun juga keadaannya!!”
            Kemudian ia menjabat tangan anak-anaknya satu persatu dan meminta dengan tegas untuk melaksanakan pesan (wasiat)-nya.
            Ia berkata lagi, sebagai wasiat terakhir yang harus dilaksanakan anak-anaknya, “Perhatikanlah wasiatku ini, apabila aku telah mati, kumpulkanlah kayu bakar yang banyak, dan bakarlah jenazahku. Dan jika telah tinggal tulang-tulangnya, ambillah dan tumbuklah sampai halus seperti debu, dan tebarkanlah di atas sungai pada hari yang sangat panas dan berangin!!”
            Pada beberapa riwayat lainnya, “…tebarkanlah pada hari yang berangin di lautan!!”
            Wasiat yang sungguh ‘mengerikan’, dan tidak pantas untuk dilaksanakan, Tetapi karena mereka telah diikat dengan kuat oleh ayahnya dengan suatu perjanjian, maka mereka melaksanakan wasiat tersebut dengan sebaik-baiknya.
            Maka Allah memerintahkan bumi untuk mengumpulkan debu dari jenazah lelaki itu, dan dengan kalimat ‘kun’ Dia menghidupkan dan mendatangkan lelaki itu di hadirat-Nya, dan berfirman, “Wahai hamba-Ku, apakah yang mendorongmu berbuat seperti itu?”
            Lelaki itu berkata, “Wahai Tuhanku, aku melakukan semua itu karena aku takut kepada-Mu, takut Engkau akan memisahkanku dari-Mu!!”
            Dengan jawaban seperti itu, Allah melimpahkan rahmat kepadanya dan mengampuni semua dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya.
            Tentu saja ‘konsep’ penebusan diri, atau penistaan diri sendiri seperti itu sebagai ‘kaffarat’ atas dosa dan berbagai amal kejelekan yang dilakukan seseorang, tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Allah telah membukakan pintu taubat dan ampunan seluas-luasnya bagi kita, umat Rasulullah SAW. Bahkan seandainya telah meninggal dunia belum juga bertaubat, masih ada ‘kemungkinan’ dosa-dosa itu diampuni, asalkan bukan dosa syirik. Inilah salah satu bentuk kemurahan dan kasih sayang Allah kepada Nabi SAW, yang berimbas kepada kita umat beliau.
Tentu saja idealnya, kita harus segera bertaubat jika melakukan suatu dosa atau kesalahan, dan jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah, walau mungkin kita masih akan terjatuh juga pada dosa yang sama. Allah tidak akan pernah ‘bosan’ menerima taubat seorang hamba, kecuali jika hamba itu sendiri yang ‘bosan’ bertaubat dan putus asa dari rahmat Allah. Dan rasa takut kepada Allah, baik karena dosa-dosa yang dilakukannya, atau karena mengetahui dan melihat keagungan Allah, atau kegentaran menghadapi yaumul hisab, akan sangat mungkin mengundang kasih sayang dan maghfirah Allah, sebagaimana kisah di atas. Walahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar