Rabu, 16 Mei 2012

Kisah Nabi Musa AS dan Fir’aun (2) Berdakwah dan Menyelamatkan Bani Israil

Sekitar sepuluh tahun lamanya Musa tinggal di Madyan, menjadi menantu Nabi Syu’aib, dan selama itu pula Musa menggembalakan ternak-ternak Nabi Syu’aib sebagai ‘mahar’ dari pernikahannya dengan putri beliau. Nabi Syu’aib memberi Musa sebuah tongkat untuk melaksanakan tugas penggembalaannya. Sebagian riwayat menyebutkan, tongkat tersebut berasal dari kayu surga, dan milik para Nabi secara turun temurun, yakni sejak Nabi Adam hingga kepada Nabi Syu’aib. Setelah selesai masa sepuluh tahun itu, Musa meminta ijin kepada mertuanya untuk kembali ke Mesir, menemui dan berkumpul kembali dengan orang tua dan keluarganya yang lain. Nabi Syu’aib mengijinkannya.
Musa bersama keluarganya meninggalkan Madyan menuju Mesir, tanah kelahiran dan tempat tinggal kaumnya Bani Israil. Al Qur’an menyebutkan ‘bi-ahlihii’, yang bisa diartikan hanya bersama istrinya, berdua saja sebagai musafir. Atau bisa juga bersama anggota keluarganya yang lain, yang salah satunya adalah Harun. Tetapi riwayat lain menyebutkan Harun adalah saudaranya yang masih tinggal di Mesir. Ketika melarikan diri dari Mesir, Musa memerlukan waktu delapan hari perjalanan terus-menerus sebelum sampai di Madyan. Tentunya saat kembali itu akan memerlukan waktu lebih lama lagi, karena beliau bersama keluarga dan situasinya tidak sedang dikejar-kejar seperti sebelumnya.
Suatu malam, rombongan tersebut berada di lereng bukit Thursina. Musa melihat suatu nyala api dari kejauhan, dan ia berkata kepada keluarganya, sebagaimana disitir dalam QS al Qashash 29, “Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan."
Kemudian Musa berjalan mendaki bukit Thursina, hingga tiba di tempat di mana tampak api menyala dari sebuah semak-semak. Tiba-tiba terdengar suatu suara dari balik semak terbakar tersebut, yang adalah Firman Allah (wahyu) pertama yang diterimanya, sebagaimana disitir dalam QS Thaha ayat 11–16, "Hai Musa, sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu!! Maka tanggalkanlah kedua terompahmu (sepatu atau alas kakimu), sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). (Yakni,) sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang. Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya (hari kiamat itu), dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa."
Musa dibesarkan oleh Fir’aun, dengan lingkungan yang jelas-jelas musyrik kepada Allah, sejak masih bayi hingga menjelang masa dewasanya, tetapi ia terjaga dari pengaruh semua itu. Bahkan dengan kondisi itu, bibit-bibit kenabian tumbuh subur dalam dirinya untuk melakukan ‘perlawanan’ terhadap semua kemusyrikan tersebut. Apalagi setelah selama sepuluh tahun lamanya Musa menjadi ‘santri’ sekaligus menantu Nabi Syu’aib, jiwa kenabian itu makin mengental pada dirinya. Karena itu, walau munculnya suara dari balik semak terbakar itu tampak mengejutkan, ia dengan segera dapat menguasai diri. Di dalam hati ia menyadari, bahwa inilah pengangkatan dirinya sebagai Nabi sebagaimana Nabi-nabi yang telah diutus sebelumnya, seperti yang pernah diceritakan oleh Nabi Syu’aib, mertuanya.
Musa segera melepas kedua terompahnya sesuai perintah Allah tersebut, dan tunduk tawadhu. Allah berfirman lagi, “Wahai Musa, apa yang ada di tangan kananmu itu?”
Ia berkata, “Ini adalah tongkat saya, saya pergunakan untuk bertelekan (berpegangan) jika sedang berjalan, untuk menggembalakan kambing dan berbagai keperluan lain!!”
Allah berfirman lagi, “Lemparkanlah tongkatmu, ya Musa!!”
Musa melemparkan tongkat itu, yang segera saja menjadi seekor ular besar yang bergerak sangat cepat dan gesit. Secara reflek, ia berlari menjauh dari ular tersebut, tetapi Allah berfirman, “Wahai Musa, janganlah takut!! Datanglah kepada-Ku, dan peganglah ular itu, maka Aku akan mengembalikannya seperti semula!!”
Ia memasukkan tangannya ke mulut ular tersebut, yang segera saja kembali menjadi tongkat. Allah berfirman lagi, “Masukkanlah (kepitkanlah) telapak tangan kananmu di antara ketiak kirimu, kemudian keluarkanlah lagi!!”
Musa melaksanakan perintah tersebut, dan telapak tangan kanannya tampak putih cemerlang, bersinar menyilaukan pandangan mata. Ketika ia mengempitnya kembali, tangannya kembali seperti sediakala. Allah berfirman lagi, “Itulah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Ku yang Aku tunjukkan kepadamu, sekaligus sebagai tanda kerasulanmu. Pergilah engkau (berdakwah) kepada Fir’aun dan orang-orang yang mengikutinya, karena sungguh ia telah melampaui batas, sehingga berani mengaku sebagai tuhan!!”
Nabi Musa menerima tugas tersebut dengan senang hati. Tetapi kemudian ia menyadari berbagai kekurangan dan kelemahannya, karena itu ia berdoa, sebagaimana disitir dalam QS Thaha ayat 25-35 : “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Melihat (keadaan) kami."
Allah mengabulkan permintaan Nabi Musa tersebut, bahkan menjadikan saudaranya, Harun sebagai Nabi seperti dirinya juga, tidak sekedar sebagai pembantu seperti yang diminta Nabi Musa.
Doa Nabi Musa tersebut banyak sekali manfaatnya bagi kita umat Nabi Muhammad SAW, khususnya pada ayat 25-29 yang berbunyi : “Rabbisy-rakhlii shodrii, wa yassirlii amrii, wakhlul ‘uqdatan min lisaanii, yafqohuu qoulii.” Doa ini bisa dibaca ketika akan berpidato, berdakwah, mengajar atau membawakan suatu acara (sebagai MC). Ketika akan menghadap seorang pimpinan dan pejabat/penguasa atau siapapun, yang kita cenderung takut kepadanya. Ketika menghadapi pemerintah atau penguasa yang lalim/kejam. Ketika akan mengerjakan test atau ujian, baik untuk sekolah atau pekerjaan. Dan beberapa keperluan lainnya.
Untuk lebih memantapkan hati Nabi Musa, Allah menceritakan kembali ‘kenikmatan’ yang telah diberikan-Nya sejak ia dilahirkan. Ketika Allah menyelamatkan dirinya dari rencana jahat Fir’aun membunuh semua bayi laki-laki Bani Israil, dengan jalan mengilhamkan (mewahyukan) kepada ibunya, untuk menghanyutkannya ke sungai Nil. Ketika ditemukan, dipelihara, dan dibesarkan oleh Fir’aun, tetapi tetap dalam kasih sayang ibu dan saudaranya, Maryam. Ketika ia membunuh seorang Qibti, dan hampir dibunuh (diqishash) oleh pasukan Fir’aun, dan Allah menyelamatkannya. Dan akhirnya ia ‘dipertemukan’ dengan Nabi Syu’aib, diambil menantu, tinggal dan belajar bersama beliau selama sepuluh tahun.
Nabi Musa menjadi semakin mantap dan yakin bahwa ‘suara-suara’ itu adalah benar-benar firman Allah, dan pengangkatan dirinya sebagai Nabi dan Rasul adalah suatu kebenaran. Bagaimanapun Nabi Musa pernah tinggal di Mesir selama puluhan tahun, yang hal-hal ghaib adalah sesuatu yang cukup biasa ditemui dan didengarnya. Tukang sihir, tukang tenung dan berbagai macam ahli ‘klenik’ lainnya adalah tokoh-tokoh yang biasa ditemuinya selama ia dalam pemeliharaan bapak angkatnya, Fir’aun. Karena itu sedikit banyak ada juga kekhawatirannya kalau ‘suara-suara’ itu, yakni Firman Allah dari balik semak terbakar, tidak berbeda dengan praktek-praktek klenik yang diketahuinya. Tetapi dengan ‘penjabaran’ Allah tentang jalan kehidupannya yang begitu lengkap, termasuk ketika ia berada di Madyan, kekhawatirannya itu lenyap sama sekali.
Di antara sekian banyak nabi-nabi, hanya beberapa saja yang mempunyai gelar khusus yang ‘disandarkan’ pada nama Allah, yakni Nabi Ibrahim adalah Kholilullah, Nabi Isa adalah Ruhullah, Nabi Muhammad adalah Habibullah, dan tentunya Nabi Musa adalah Kalamullah, karena beliau diajak ‘berbicara’ langsung oleh Allah SWT 
Untuk menegaskan kenabian dan tugas risalah yang diberikan kepada Nabi Musa, sekali lagi Allah berfirman kepadanya, seperti disitir dalam QS Thaha 41-44, “(Sesungguhnya) Aku telah memilihmu untuk diri-Ku, pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku!! Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut."
Bagaimanapun juga Nabi Musa masih manusia biasa, yang sedikit banyak masih memiliki rasa takut. Apalagi menghadapi raja besar dan lalim (kejam) semacam Fir’aun dengan kekuatan bala tentaranya yang begitu banyak, ditambah lagi ia mempunyai kesalahan membunuh salah seorang Qibti. Ia mengungkapkan ketakutan dan kekhawatirannya itu, maka Allah berfirman, “Janganlah kalian berdua takut (menghadapi Fir’aun), sesungguhnya Aku bersama kalian berdua, Aku Mendengar dan Melihat!!”
Allah mengajarkan kepada Nabi Musa, bagaimana ia harus menghadapi Fir’aun, dan Allah juga menjanjikan akan menunjukkan tanda-tanda Kebesaran dan Kekuasaan-Nya yang lain kepada Fir’aun, hingga nantinya berjumlah sembilan (QS Al Isra ayat 101), termasuk tongkat dan telapak tangan kanannya yang bersinar. Musa turun dari bukit Thursina dengan tekad dan semangat baru untuk mengemban risalah Allah. Ia memberitahukan secara lengkap kepada keluarganya tentang apa yang telah dialaminya, termasuk pengangkatan Harun sebagai nabi mendampingi dirinya. Setelah itu mereka meneruskan perjalanan ke Mesir.
Tiba di Mesir, Nabi Musa dan Nabi Harun langsung menemui Fir’aun, mereka memperkenalkan diri sebagai utusan Allah Tuhan semesta Alam, dan menyeru atau mendakwahi Fir’aun untuk menghentikan tindak kemusyrikannya kepada Allah dan penyiksaan kepada kaum Bani Israil. Fir’aun menanggapinya dengan berkata, “Siapakah Tuhan kalian berdua itu?”
Nabi Musa dan Nabi Harun menjelaskan risalah islamiah yang diembannya. Sempat terjadi perdebatan antara Musa dan Fir’aun, sebagaimana disitir dalam QS Thaha 50-55. Setelah itu Fir’aun berkata, “Jika memang benar engkau membawa bukti yang memperkuat pengakuan (kenabian)mu, tunjukkanlah kepadaku!!”
Musa menunjukkan tongkatnya yang bisa menjelma menjadi ular besar, dan juga tangan kanannya yang bisa bercahaya cemerlang. Fir’aun dan para punggawanya berkata, “Sungguh Musa ini seorang ahli sihir yang ulung (sangat pandai)!!”
Tentu saja mereka melakukan penilaian dan mengambil kesimpulan sebatas dengan apa yang mereka ketahui, dan mu’jizat yang ditunjukkan Nabi Musa mereka anggap tidak banyak berbeda dengan ‘kegaiban-kegaiban’ yang ditunjukkan oleh para ahli sihir yang tersebar luas di bumi Mesir. Mereka bermusyawarah sebentar, kemudian memutuskan untuk mengadakan ‘perang-tanding’ antara Musa dengan ahli-ahli sihir yang tersohor Mesir, pada waktu yang ditentukan.
Nabi Musa menerima tantangan tersebut, bahkan menentukan waktunya, yakni pada hari raya penduduk Mesir, dan sekaligus mengundang kehadiran mereka semua. Fir’aun menyetujui permintaan Nabi Musa itu. Tentu saja itu adalah strategi Nabi Musa untuk lebih mudah memperkenalkan dan menunjukkan dakwah Islamiah kepada masyarakat Mesir, khususnya Bani Israil yang tinggal di sana.
Dalam masa menunggu ‘perang tanding’ itu, Fir’aun berkata kepada pembesar-pembesarnya, sebagaimana disitir dalam QS al Qashash 38, “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah (buatlah) hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhannya Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta."
Haman melaksanakan perintah Fir’aun tersebut, dan ketika bangunan tinggi telah selesai dan Fir’aun naik hingga puncaknya. Ia memandang berkeliling untuk mencari dan menemukan ‘tuhan’ yang dimaksudkannya sebagai Tuhannya Musa, dan tentu saja ia tidak menemukan apa-apa. Hal itu makin membuatnya sombong dan berteguh bahwa ia adalah tuhan yang sebenarnya bagi masyarakat Mesir.
Ketika tiba pada waktunya hari raya tersebut, masyarakat Mesir berkumpul di suatu lapangan luas. Ratusan atau mungkin ribuan ahli sihir telah siap dengan peralatan sihir mereka, berhadapan langsung dengan Nabi Musa dan Nabi Harun. Fir’aun bersama para pembesarnya duduk di atas tribun yang telah dipersiapkan untuk mereka. Para ahli sihir itu berkata, “Hai Musa, kamukah yang akan melemparkan terlebih dahulu, atau kami yang akan melemparkan??”
Nabi Musa mempersilahkan mereka melakukan terlebih dahulu, dan begitu mereka melepaskan tali-tali, tongkat-tongkat, dan semua peralatan sihir mereka, muncullah ribuan ular yang menjalar dan bergerak cepat menuju Nabi Musa dan Nabi Harun. Masyarakat Mesir sempat ketakutan melihat pemandangan tersebut, tetapi Nabi Musa berdiri dengan tenang, kemudian beliau melemparkan tongkat beliau, yang seketika menjadi ular yang jauh lebih besar. Seketika ular mu’jizat tersebut mencaplok habis semua ular penjelmaan sihir yang berjumlah ribuan itu, hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Para ahli sihir itu, yang mereka sangat ‘profesional dan pakar’ di bidangnya, segera saja mengetahui bahwa apa yang ditunjukkan Nabi Musa itu bukanlah sihir seperti yang mereka lakukan, tetapi benar-benar tanda-tanda kekuasaan Allah yang Maha Besar. Hampir semua dari mereka tunduk bersujud dan berkata, “Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, yaitu Tuhannya Musa dan Harun!!”
Fir’aun sangat marah dengan perkembangan yang sungguh tidak diduganya itu. Apalagi sebagian masyarakat Mesir, khususnya kaum Bani Israil yang tertindas, segera mengikuti jejak para ahli sihir tersebut mempercayai Nabi Musa, walau mungkin mereka tidak berani secara ekstrim bersujud atau menunjukkan keimanannya pada pemerintahan lalim Fir’aun.
Sebelumnya Fir’aun telah menjanjikan akan memberi hadiah besar dan menjadikan para ahli sihir itu sebagai orang-orang terdekatnya jika berhasil mengalahkan Nabi Musa. Tetapi melihat perkembangan situasi yang seperti itu, ia berkata, “Apakah kamu beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya ini adalah suatu muslihat yang telah kamu rencanakan di dalam kota ini, untuk mengeluarkan penduduknya dari sini.  Sungguh aku akan memotong tangan dan kakimu dengan bersilang secara bertimbal balik, kemudian sungguh-sungguh aku akan menyalib kamu semuanya."
Ketika keimanan telah merasuk begitu dalam, ancaman seberat apapun, bahkan kematian dengan cara yang paling keji, tidak akan mampu melunturkannya. Begitu pula yang terjadi pada para ‘mantan’ ahli sihir yang telah menjadi muslim tersebut. Dengan tegas mereka berkata, ”Sesungguhnya kepada Tuhanlah kami kembali. Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami."
Setelah itu mereka mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)."
Walaupun telah mengancam seperti itu, ternyata Fir’aun tidak berani mewujudkan ancamannya begitu saja. Sedikit banyak mereka merasa ngeri dengan kemampuan sihir mereka, apalagi ditambah dengan ‘sihir’ Nabi Musa. Kaum musyrik itu tidak sempat berfikir dan menganalisa, bahwa begitu (mantan) ahli-ahli sihir itu beriman kepada Allah, tentulah mereka akan segera meninggalkan praktek-praktek kesyirikan yang pernah mereka lakukan. Begitulah memang ‘cara’ Allah menyelamatkan hamba-hamba-Nya, terkadang melalui jalan yang tidak terduga-duga.
Fir’aun bermusyawarah lagi dengan pembesar-pembesarnya menyikapi situasi terbaru itu. Dan mereka memutuskan untuk mengulangi cara yang terdahulu, yakni membunuh anak lelaki kaum Bani Israil dan orang-orang yang beriman kepada Musa, dan hanya membiarkan hidup anak-anak perempuannya. Mendengar rencana tersebut, mereka mendatangi Nabi Musa dan beliau berdoa kepada Allah untuk memohon pertolongan dan perlindungan, sekaligus meminta Allah membinasakan Fir’aun dan bala tentaranya.
Allah SWT mengabulkan doa Nabi Musa tersebut. Sebelum Fir’aun sempat merealisasikan rencananya, Mesir dilanda kemarau panjang dan paceklik yang sangat menyengsarakan rakyat dan merepotkan pemerintahan Fir’aun. Inilah tanda-tanda Kekuasaan Allah dan kebenaran kenabian Nabi Musa ke tiga, yang ditunjukkan kepada Fir’aun. Belum lagi masalah itu dapat ditanggulangi, buah-buahan yang biasanya ‘membanjiri’ bumi Mesir, baik dari produksi lokal, atau kiriman dari daerah-daerah lain di sekitar Mesir, tiba-tiba berkurang dan akhirnya menghilang. Inilah tanda yang ke empat. Negeri Fir’aun yang terkenal makmur jadi terpuruk dan merana.
Ketika mereka gagal melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi masalah tersebut, Fir’aun mengirim utusan kepada Musa. Mereka meminta agar Nabi Musa berdoa kepada Allah agar paceklik yang sedang melanda segera berhenti. Dengan senang hati Nabi Musa memenuhi permintaan mereka, dan tidak lama kemudian hujan turun. Rakyat Mesir sangat gembira, dan hanya dalam beberapa bulan saja mereka memperoleh kemakmuran mereka kembali. Tetapi ketika Nabi Musa mendakwahi mereka kepada jalan kebenaran Islam, dan mengingatkan ‘hukuman’ Allah yang menimpa mereka (yakni paceklik dan kekurangan buah-buahan), mereka mengingkari hal itu. Mereka berkata, “Ini adalah hasil usaha kami sendiri!!”
Nabi Musa tidak pernah putus asa untuk berdakwah. Setidaknya sebagian besar kaum Bani Israil telah beriman kepada Allah dan Nabi Musa, begitu juga dengan ‘mantan’ para tukang sihir tersebut. Hari demi hari pengikut beliau makin banyak, dan akhirnya mengerucut menjadi poros kekuatan selain pasukan Fir’aun, walaupun tanpa senjata. Dan Nabi Musa belum akan berhenti berdakwah sebelum Allah memerintahkan berhenti. Ketika Fir’aun dan pengikutnya makin ‘bosan’ dengan Nabi Musa dan apa yang beliau sampaikan, mereka berkata, “Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu."
Mendengar jawaban tersebut, Nabi Musa berdoa kepada Allah agar sekali lagi menurunkan hukuman sekaligus tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada masyarakat yang ingkar tersebut. Tidak terlalu lama kemudian muncullah angin topan dan air bah yang memporak-porandakan dan menggenangi tempat tinggal mereka selama tujuh hari penuh. Inilah tanda yang ke lima.
Setelah angin topan dan air bah menghilang, Allah mengirimkan ‘pasukan’ belalang yang jumlahnya jutaan ekor. Mereka ‘membabat’ habis areal persawahan dan kebun buah-buahan mereka, sehingga mereka kahabisan persediaan makanan. Keadaannya jauh lebih parah dibanding ketika mereka dilanda musim paceklik. Tidak cukup itu, belalang-belalang itu juga memasuki rumah-rumah dan istana Fir’aun sehingga mereka dalam keadaan yang benar-benar tersiksa. Inilah tanda yang ke enam.
Setelah beberapa hari berlalu, dan belalang-belalang itu telah ‘menyelesaikan’ tugasnya sesuai dengan perintah Allah, tiba-tiba saja mereka pergi menghilang entah kemana? Fir’aun dan masyarakat Mesir yang mendukungnya agak bernafas lega. Tetapi belum beberapa hari berlalu, Allah mengirim ‘pasukan’ yang lain untuk menghukum kaum yang ingkar dan lalim tersebut. Entah darimana datangnya, tiba-tiba Mesir ‘diserang’ oleh jutaan kutu, ulat dan sejenis serangga kecil lainnya, yang memenuhi pelosok dan rumah-rumah tinggal mereka. Mereka jauh lebih menderita dari sebelumnya, karena binatang-binatang ini tampak lebih menjijikkan. Inilah tanda yang ke tujuh.
Ketika kutu-kutu itu menghilang, mereka belum sempat bernafas lega ketika Allah mengirimkan ‘pasukan’-Nya yang lain. Jutaan ekor katak tiba-tiba saja menyerbu bumi Mesir, mereka memenuhi rumah-rumah dan merusak makanan-makanan kaum yang dholim tersebut. Inilah tanda yang ke delapan. Tidak cukup sampai di situ, Allah ‘mengubah’ air-air mereka menjadi darah. Air sumur, air kolam, air sungai, dan berbagai air lainnya, begitu mereka menyimpan atau mau menggunakannya, segera saja berubah menjadi darah. Dan inilah tanda yang ke sembilan.
Ketika ‘musibah-musibah’ sebanyak lima kali (macam) tersebut melanda, pengaruhnya sedikit sekali kepada orang-orang yang beriman. Sepertinya ‘pasukan-pasukan’ Allah tersebut mempunyai sensor yang sangat peka terhadap ‘nilai’ keimanan, sehingga mereka tidak menyerang Nabi Musa dan orang-orang beriman yang mengikutinya.
Ketika Fir’aun dan rakyatnya berada pada tingkat penderitaan yang tidak tertahankan lagi, ia mengirimkan utusan menemui Nabi Musa dan berkata, sebagaimana disitir pada QS al A’raaf 134, “Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab-azab itu daripada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israel pergi bersamamu."
Nabi Musa dengan senang hati memenuhi permintaan mereka, ia memanjatkan doa kepada Allah agar menghentikan siksaan-Nya kepada Fir’aun dan rakyat yang mendukungnya. Allah memenuhi doa Nabi Musa, dalam sekejab katak-katak itu menghilang dan air-air mereka menjadi normal seperti sediakala. Dalam beberapa bulan saja mereka kembali menjalani kehidupan yang lebih baik, dan kemudian menjadi makmur seperti sediakala. Hanya saja Fir’aun dan bala tentaranya agak berhati-hati untuk tidak ‘mengganggu’ Nabi Musa dan Bani Israil. Dua kali mereka menjalani ‘pengalaman’ pahit, dan tidak ingin mengalaminya untuk ke tiga kalinya.
Nabi Musa dan orang-orang yang beriman, khususnya dari kalangan Bani Israil menjalani kehidupan dengan nyaman selama beberapa waktu lamanya. Mereka sempat membeli beberapa rumah untuk dijadikan tempat ibadah (masjid), dan mereka shalat di dalamnya. Dakwah Nabi Musa makin menyebar, tetapi tetap tidak mampu menembus dinding istana ‘pemerintahan lalim’ Fir’aun. Suatu ketika Nabi Musa mendatangi Fir’aun untuk ‘menagih janji’, bahwa ia akan beriman kepada Allah dan dirinya sebagai Nabi, jika berhasil menghilangkan musibah yang menimpa mereka. Tetapi seperti sebelumnya, Fir’aun mengingkari janjinya.
Nabi Musa tidak bisa bersabar lagi, ia ingin memakai doa ‘pamungkas’-nya untuk menghancurkan Fir’aun. Setiap nabi memang mempunyai satu doa mustajab, yang Allah pasti akan memenuhi doa tersebut bagaimanapun keadaannya. Dan hampir semua nabi telah menggunakan doa tersebut ketika masih hidup di dunia, termasuk Nabi Musa dalam keadaan di atas, kecuali Nabi Muhammad SAW. Beliau (Nabi SAW) menggunakan doa mustajab tersebut untuk menyelamatkan (memberi syafaat) kepada manusia, khususnya umat beliau pada yaumul makhsyar kelak.
Nabi Musa mengangkat kedua tangannya dan berdoa, sebagaimana disitir dalam QS Yunus 88, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih."  
Allah mengabulkan doa Nabi Musa tersebut, tetapi Dia tetap memerintahkan untuk tinggal di Mesir, sampai waktu yang diperintahkan (diijinkan) untuk meninggalkan negeri itu. Nabi Musa meneruskan dakwah Islamiah beliau, khususnya kepada kaum Bani Israil, untuk makin memantapkan keimanan mereka. Dan jika sewaktu-waktu datang perintah Allah untuk meninggalkan Mesir, mereka dengan ringan dan senang hati mau mengikuti Nabi Musa.
Setelah beberapa tahun berlalu, tampaknya ‘penyakit’ Fir’aun mulai muncul lagi. Mereka mulai melakukan tekanan dan penyiksaan kepada Bani Israil seperti sebelumnya. Mungkin inilah memang rencana Allah, Bani Israil dikondisikan untuk tidak kerasan lagi di Mesir. Ketika tingkat penyiksaan begitu kerasnya, mereka mendatangi Nabi Musa. Dan pada saat yang bersamaan telah datang perintah Allah agar Nabi Musa dan seluruh Bani Israil segera meninggalkan Mesir, melakukan perjalanan pada malam harinya (isra’) menuju bumi Palestina. Mereka melakukannya dengan diam-diam sehingga tidak seorangpun dari pasukan Fir’aun atau orang Qibti yang mengetahuinya.
Keesokan harinya, ketika pasukan Fir’aun akan melakukan ‘operasi’ penyiksaan seperti biasanya, mereka mendapati pemukiman dan tempat-tempat kerja Bani Israil dalam keadaan kosong melompong. Mereka melaporkan hal itu kepada Fir’aun, yang segera saja ia menyusun pasukan untuk mengejar Musa dan kaum Bani Israil. Fir’aun sendiri yang memimpin pasukannya untuk melakukan pengejaran tersebut, dan berencana akan membantai habis mereka. Walaupun tertinggal semalaman penuh, akhirnya mereka bisa melihat rombongan Nabi Musa dan Bani Israil yang telah mendekat ke pantai. Mereka tampak sangat gembira, karena tidak mungkin ada jalan lari bagi Nabi Musa dan kaum Bani Israil.
Rombongan Bani Israil mengalami ketakutan yang tak terperikan, ketika lautan luas menghadang di depan mereka, yakni Laut Merah, sementara jauh di belakang mereka tampak pasukan Fir’aun terus mendekat. Sebagian dari mereka sempat mencaci-maki Nabi Musa dan Nabi Harun, dan berfikir akan mati dihabisi oleh pasukan Fir’aun. Dalam keadaan seperti itu, Allah berfirman kepada Musa untuk memukulkan tongkatnya ke lautan, yang segera saja terbentuk jalan cukup luas dengan dua dinding air di kanan kirinya. Sungguh suatu mu’jizat yang tidak bisa dijelaskan secara logika atau akal sehat. Segera saja kaum Bani Israil berjalan cepat melalui jalan tersebut untuk menghindari pengejaran Fir’aun yang telah semakin dekat. Sebagian riwayat menyebutkan, jalan pada lautan yang terbelah itu terdiri dari duabelas jalur, dan masing-masing kelompok (kabilah) pada kaum Bani Israil berada pada jalannya masing-masing.
Ketika Fir’aun dan pasukannya tiba di pantai, rombongan Nabi Musa telah separuh jalan di tengah Laut Merah tersebut. Tanpa pikir panjang lagi, Fir’aun menggerakkan pasukannya untuk turun ke jalan yang membelah lautan itu. Jarak keduanya makin dekat saja, tetapi begitu orang terakhir dari rombongan Nabi Musa menginjakkan kaki di pantai seberangnya, dinding air itu ‘roboh’ kembali seperti sediakala, dan menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya.
Al Qur’an menjelaskan, ketika Fir’aun timbul tenggelam di lautan meregang nyawanya (sakaratul maut), ia mengucapkan kalimat keimanan sebagaimana disitir QS Yunus ayat 90, “Aamantu annahuu laa ilaaha illaal ladzii aamanat bihii banuu israa-iila wa ana minal muslimiin.”
Maksudnya adalah, “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah, yakni muslimin)."
Fir’aun mengulang-ulang ucapannya, sehingga menyebabkan malaikat Jibril yang melihat pemandangan itu sangat khawatir kalau Allah menurunkan rahmat-Nya kepada Fir’aun. Ia segera turun ke dasar lautan mengambil segenggam lumpur, dan menyumbatkannya ke mulut Fir’aun sehingga ia tidak bisa mengucapkan lagi kalimat-kalimat itu. Tetapi ternyata Allah menjawab langsung kalimat keimanan Fir’aun tersebut, sebagaimana disitir dalam QS Yunus ayat 91, “Apakah sekarang (kamu baru percaya/beriman?), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan!!”
Sebagian ulama menyebutkan, Allah ‘merealisasikan’ doa Nabi Musa tersebut, yakni menenggelamkan Fir’aun dan pasukannya di laut Merah, setelah berlalu hampir empat puluh tahun sejak Nabi Musa menggunakan doa mustajabnya, dan Allah menyatakan mengabulkan permintaan (doa) Nabi Musa.
            Ada sebagian orang-orang Bani Israil yang tidak percaya begitu saja bahwa Fir’aun telah mati tenggelam. Mereka beralasan bahwa selama ini Fir’aun mengaku sebagai tuhan, sehingga bisa saja ia mempunyai kekuatan ‘super’ untuk menyelamatkan diri. Mendengar pernyataan tersebut, Nabi Musa berdoa kepada Allah, dan tidak lama kemudian, sebuah ombak besar melemparkan jasad Fir’aun yang telah kaku ke pantai, di hadapan semua orang-orang Bani Israil. Tentang hal ini, Al Qur’an menjelaskan dalam Surat Yunus ayat 92, “Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu (Fir’aun), supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar