Minggu, 02 November 2014

Dua Butir kurma yang Menghalangi

Abu Ishaq Ibrahim bin Adham bin Manshur adalah seorang sufi, yang sebelumnya adalah putera seorang penguasa (Raja) di wilayah Balkh, termasuk wilayah Khurasan, Persia. Setelah memutuskan untuk meninggalkan kemewahan hidupnya di Balkh, ia memilih hidup zuhud dan berjalan kaki mengarungi padang sahara menuju Makkah. Ia tinggal di sana beberapa waktu lamanya bersama Sufyan Tsauri dan Fudhail bin Iyadh, dan akhirnya pindah ke Syam (Syria) hingga wafatnya pada tahun 161 H atau 778 M.
Ketika tinggal di Makkah, setiap tahunnya Ibrahim bin Adham mempunyai ‘kebiasaan’ berziarah ke Masjidil Aqsha untuk berkhalwat, dan i’tikaf semalaman di ruangan atau bagian masjid yang disebut Qubbatus Shahra. Menurut riwayat, Qubbatus Shahra ini adalah batu besar yang dijadikan pijakan Nabi SAW dan malaikat Jibril ketika akan naik ke langit melakukan Mi’raj. Batu besar (Shahra=batu karang atau batu besar yang keras) tersebut sempat ikut ‘terbang’ dan naik mengikuti mereka berdua, tetapi kemudian diketahui oleh malaikat Jibril dan diperintahkan turun kembali. Dengan terpaksa sang batu turun kembali, tetapi ia ‘ngambek’ tidak mau menyentuh tanah dan ‘menggantung’ beberapa meter tingginya. Setelah berlalunya waktu, dibangunlah sebuah penyangga sehingga batu besar itu menjadi semacam kubah di Masjidil Aqsha tersebut. Wallahu A’lam.
Suatu ketika ia berangkat ke Masjidil Aqsha seperti kebiasaannya. Saat itu ada peraturan bahwa di malam hari tidak boleh ada yang tinggal atau menginap di dalam masjid, karena malam hari menjadi ‘bagian’ dari para malaikat untuk beribadah di dalamnya. Karena itu Abdullah bin Adham harus sembunyi-sembunyi agar tidak dikeluarkan oleh petugas, dan bisa melakukan amalan istiqomah tahunannya, yakni i’tikaf di Qubbatus Shahra di malam hari.
Malam telah larut dan Ibrahim telah lolos dari pengawasan petugas, ia mulai melaksanakan amalan-amalannya untuk mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah. Para malaikat mulai datang, dan salah satunya berkata, “Ternyata di dalam masjid ini masih ada manusia!!”
Tidak ada penjelasan apakah Ibrahim bin Adham melihat kehadiran para malaikat itu, tetapi ia bisa mendengar pembicaraannya. Malaikat lainnya berkata, “Ya benar, dia adalah Ibrahim bin Adham, seorang ahli ibadah yang berasal dari kota Khurasan…”
Malaikat lainnya berkata, “Ya, dia adalah seorang ahli ibadah yang semua amal ibadahnya langsung naik ke langit dan diterima setiap harinya!!”
Salah malaikat lainnya langsung menyahuti, “Ya, memang benar seperti itu, tetapi dalam setahun ini amal ibadahnya terhenti dan tertahan di langit. Begitu juga dengan doa-doanya, kini tertunda pengabulannya hanya karena dua biji kurma yang pernah dimakannya sekitar satu tahun yang lalu!!”
Ibrahim langsung tersentak kaget dengan perkataan malaikat yang terakhir itu. Konsentrasi dan fokus amalannya langsung buyar, ia berfikir keras dan mencoba mengingat-ingat tentang dua butir kurma itu. Kurma bisa dikatakan sebagai makanan pokok sehari-hari di Makkah dan daerah jazirah Arabia lainnya saat itu, sehingga ia agak kesulitan untuk mengingat dua butir kurma mana yang menjadi ‘penghalang’ diterimanya amal ibadah dan doa-doanya dalam setahun ini.
Setelah lama berfikir ia mulai ingat, suatu kali ia membeli kurma dari seorang lelaki yang sudah sangat tua. Ketika proses berlangsung dan sudah ‘deal’ harganya, akad jual-beli juga sudah diucapkan, ada dua butir kurma jatuh di dekat kakinya. Tanpa berfikir panjang Ibrahim mengambil dan memakannya, karena ia merasa kurma itu bagian dari yang telah dibeli dan kemudian dibayarnya. Ia berkata dalam hatinya, “Tentulah dua butir kurma itu yang dimaksudkan oleh malaikat tersebut!! Aku harus meminta ridho (kerelaan) dari pemiliknya…”
Keesokan harinya Ibrahim bin Adham langsung kembali ke Makkah. Setelah berhari-hari berjalan kaki mengarungi padang pasir, ia sampai di Makkah dan langsung ke tempat penjual kurma yang dimaksudkan. Tetapi lelaki tua yang menjual kurma itu tidak ada, digantikan oleh seorang pemuda. Ibrahim berkata, “Sekitar setahun yang lalu, ada seorang penjual kurma yang sudah tua di sini, tolong beritahu aku dimana dia sekarang berada?”
Sang pemuda berkata, “Dia adalah ayahku, beliau telah meninggal dunia!!”
Tampak kesedihan yang amat dalam di wajah Ibrahim, melihat reaksinya itu, sang pemuda berkata, “Apakah yang telah terjadi antara tuan dengan ayahku sehingga tuan begitu bersedih!!”
Ibrahim menceritakan peristiwa dua butir kurma yang terjadi setahun yang lalu, dan ia meminta kehalalannya karena telah terlanjur dimakannya. Sang pemuda tampaknya juga merasa kaget sekaligus heran dengan sikap Abdullah bin Adham tersebut. Hanya karena dua butir kurma itu, dampaknya begitu ‘luar biasa’, ia berkata, “Baiklah, saya memberi ridha (kehalalan) pada tuan atas dua butir kurma itu. Hanya saja, bukan hanya saya saja ahli waris dari ayah, tetapi ada ibu dan saudara perempuan saya. Mungkin tuan ingin juga meminta kehalalan dari mereka berdua!!”
“Baiklah, “ Kata Ibrahim.
Setelah memperoleh informasi tempat tinggalnya, Ibrahim bin Adham segera menemui mereka, yang tentu saja tidak berkeberatan menghalalkan dua butir kurma yang terlanjur dimakan olehnya. Setelah itu Ibrahim bin Adham kembali mengarungi padang pasir menuju Baitul Maqdis, ia i’tikaf lagi di Qubbatus Shahra, walau dengan sembunyi-sembunyi seperti sebelumnya. Saat malam telah larut dan malaikat mulai berdatangan, ia mendengar percakapan mereka. Salah satunya berkata, “Ternyata di dalam masjid ini masih ada manusia!!”
Malaikat lainnya berkata, “Dia adalah Ibrahim bin Adham, amal ibadahnya yang setahun itu tertahan di langit, dan doa-doanya yang tertunda pengabulannya, kini telah diterima oleh Allah karena ia telah meminta kehalalan dari dua butir kurma yang telah dimakannya dengan cara tidak benar!!”
Mendengar pembicaraan itu Ibrahim langsung sujud syukur, ia sampai menangis karena gembiranya. Sejak saat itu ia sangat berhati-hati ketika akan makan, dan itupun dilakukannya hanya sekali dalam seminggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar